Rumah tanpa Kembang Api | Daan Yahya/Republika

Sastra

Rumah tanpa Kembang Api

Cerpen Irwansyah

Oleh IRWANSYAH

Aku hanya bisa bersembunyi di balik kain gorden usang yang menggantung pasrah pada bingkai jendela kamar. Namun, penglihatanku tidak mau terkungkung, berusaha menyelinap melalui robekan kecil.

Ibu pernah menjahit robekan itu, benang-benang yang dulu telah menyatukan kini terlihat lelah ditingkahi waktu, robekan kembali merenggang.

Bapak tertunduk, menekuri tanah di bawah kakinya. Dia membiarkan sosok di hadapannya menyampaikan kekesalannya akibat perbuatanku.

“Hanif menjatuhkan kembang api milik Toni ke dalam parit, Pak Burhan!”

Aku mendengar kalimat itu dari halaman rumah panggung kami. Aku mengenal pemilik suaranya, seorang laki-laki seumuran dengan Bapak, dia adalah Pak Bahar, tetangga kami.
Kembang api itu pasti sangat mahal. Ukurannya lebih besar dari ibu jari orang dewasa, panjang, dan menyemburkan bunga-bunga api yang berwarna-warni ketika dinyalakan. Aku tidak pernah melihat ada anak-anak lain yang memainkan kembang api seperti itu selain Toni. Mengganti kembang api miliknya sama saja menyuruh keluargaku berpuasa berhari-hari tanpa berbuka.

Tadi malam, aku tidak sengaja menyenggol tangan Toni, lima batang kembang api jatuh ke dalam parit di depan rumah kami.

 
Mengganti kembang api miliknya sama saja menyuruh keluargaku berpuasa berhari-hari tanpa berbuka.
 
 

***

“Ikut Bapak, yuk.”

Bapak sudah berdiri di belakangku dengan sepeda ontel kesayangannya. Topi caping bertengger anggun di kepala Bapak. Pada bagian tepi topi itu terlihat anyaman yang sudah terlepas, memamerkan ujung-ujung yang berserabutan.

Aku sudah mulai hafal dengan kebiasaan baru ini. Sepertinya Bapak ingin mengalihkan perhatianku dari orang-orang yang berlalu-lalang di depan rumah kami dengan membawa berbagai bungkusan menjelang berbuka.

Di atas palang pagar bambu halaman rumah kami, aku menopangkan dagu sembari menduga-duga rasa yang tersembunyi di balik minuman berwarna-warni itu. Bungkus plastik minuman yang bening, dengan butiran-butiran seperti embun pada bagian luar, dan pipet yang terikat karet pada mulut plastik membuatku berkali-kali menelan ludah.

Kue basah dan gorengan juga seperti mengejekku dari sebalik kantong itu. Lagi-lagi plastik pembungkusnya bening sehingga leluasa mempertontonkan isinya.

Mungkin karena alasan itu, Bapak membuat jadwal yang tidak tertulis khusus untukku. Padahal, aku melihat dengan jelas garis-garis keletihan di wajah Bapak, meskipun tidak pernah terucap dari lisannya betapa remuk redam tubuh legamnya.

 
Kue basah dan gorengan juga seperti mengejekku dari sebalik kantong itu.
 
 

Hampir seharian tubuh Bapak terendam air. Menjadi penambang pasir dan kerikil di sungai berarus deras terpaksa harus dikerjakan Bapak. Pekerjaan itu dilakukan semata-mata agar bisa membeli beras untuk dua kali makan keluarga kami dalam satu hari.

Belakangan ini aku melihat Bapak bekerja lebih keras dari hari-hari biasanya. Padahal sebelumnya, Bapak sudah ada di rumah satu jam sebelum salat asar tiba. Namun kini, Bapak selalu melakukan salat itu di tempatnya bekerja. Sementara apa yang terhidang di rumah kami saat makan tidak ada yang berubah: nasi, ikan asin tanpa kepala, dan sayur kangkung yang dipetik dari parit di belakang rumah.

***

“Hanif, jangan lupa antarkan ikan-ikan tadi ke tetangga.” Bapak kembali mengingatkan sebelum berangkat bekerja.

Selepas salat subuh, Bapak kembali mengajakku melihat empat bubu yang telah kami pasang kemarin sore. Kali ini perangkap-perangkap dipenuhi ikan. Kata Bapak, mungkin ini adalah berkah bulan puasa, biasanya ikan sulit didapatkan karena sering diracun atau disetrum.

Pesan yang ditinggalkan Bapak membuatku mematung tidak habis pikir. Seharusnya dengan ikan-ikan ini bisa membuat keluarga kami makan enak untuk beberapa hari. Mamak bisa saja mengolah menjadi ikan kering atau ikan asap.

 
Pesan yang ditinggalkan Bapak membuatku mematung tidak habis pikir.
 
 

“Ikan-ikan ini terlalu banyak buat kita, Nak.” Itulah jawaban Mamak saat aku menanyakan.
“Kita jual aja, Mak, duitnya bisa buat beli baju hari raya.” Aku masih belum bisa mengikhlaskan ikan-ikan ini, terlebih saat harus mengantarkan ke rumah Toni.

Mamak justru terkekeh melihatku. Kata Mamak, ikan-ikan rawa dengan sisiknya yang gelap telah kehilangan daya tarik. Orang-orang lebih memilih membeli ikan-ikan cantik bersisik putih berkilau yang berasal dari laut nan jauh, meskipun sudah mati berhari-hari dan tertimbun es di dalam kotak penyimpanan. Menurut mereka, ikan rawa terlalu amis, bentuknya juga menggelikan.

Ah, entahlah. Namun yang pasti, aku tidak melihat ketidaksukaan mereka saat tadi menerima ikan-ikan rawa pemberianku. Bahkan, senyum mereka lebih lebar daripada buah mangga muda yang merekah karena terpanggang matahari.

Kenapa pula orang seperti kami, yang untuk sekadar makan saja sulit, masih harus berbagi dengan mereka yang tidak peduli.

 
Pekan pertama berpuasa, kami hampir mati kelaparan.
 
 

Pekan pertama berpuasa, kami hampir mati kelaparan. Hujan lebat membuat sungai tempat Bapak menambang pasir meluap, Bapak tidak bisa bekerja. Ember plastik bertutup tempat menyimpan beras hanya menyisakan butiran halus berwarna putih yang menempel pada dindingnya.

Dua hari Mamak hanya bisa menghidangkan semangkuk mi instan tanpa telur, irisan cabai, dan tomat untuk kami bertiga. Makanan itu yang aku temui ketika berbuka dan makan sahur, dan dengan porsi yang sama.

Kenyang?

Rasa itu masih terlalu jauh. Tidak ada sendawa setelah makan. Tidak ada keringat yang bertimbulan dan berlomba-lomba memenuhi kening. Tidak ada kancing celana yang terpaksa dibuka karena perut yang sesak. Rasa kenyang hanya mimpi meski aku sudah berusaha menuangkan mangkuk di atas lidah, berharap masih ada setetes kuah yang jatuh.

“Hanif tak mau puasa lagi!” Tangisku pecah. “Kenapa tak ada yang mau mengantarkan makanan ke rumah kita?!”

Mataku menangkap kenyataan yang berbeda. Dalam ceramah menjelang salat tarawih, berkali-kali para ustaz mangatakan bahwa bulan puasa adalah bulan dimana makanan banyak terbuang. Berbagai makanan dan minuman terhidang untuk berbuka. Sayangnya, perut tidak mampu menampung semua makanan itu. Pada akhirnya, tidak sedikit makanan yang terbuang di tempat sampah.

 
Mataku menangkap kenyataan yang berbeda.
 
 

Di sini, di rumah panggung yang tidak memiliki langit-langit ini, aku bersama kedua orangtuaku hanya menghadapi semangkuk mi instan tanpa nasi. Kenapa mereka tidak mengantarkan makanan-makanan itu kepada kami daripada terbuang?

“Tak boleh gitu, Nak.” Bapak membelai punggungku. “Mungkin orang-orang mengira di rumah kita juga ada banyak makanan, es cendol, atau gorengan.”

Saat itu, tidak ada yang aku harapkan selain tangisan dan air mataku bisa menjadi penghilang rasa lapar yang membelit perut.

Sekarang, saat kami mendapat ikan dalam jumlah yang sangat banyak, Bapak justru menyuruhku berbagi dengan tetangga.

***

Bapak kembali mengajakku, tetapi bukan untuk memasang bubu. Bapak merahasiakan tujuan kami. Kata Bapak, tempat itu belum diketahui oleh banyak orang. Pada setang sepeda menggantung sebuah tas yang terbuat dari kain katun kasar berwarna putih kumal bekas karung tepung terigu, Ibu yang menjahitnya.

Seperti biasa tangan kekar Bapak yang memamerkan urat-urat bertonjolan mengikat kakiku pada batang sepeda dengan sapu tangan usang yang sudah kehilangan warna asli. Bapak tidak ingin kakiku terselip di jari-jari.

Sapu tangan usang dan sepeda ontel, sejak lama mereka menjadi pasangan yang tidak terpisahkan. Jika tidak sedang bersamaku, sapu tangan itu yang akan menghapus keringat di wajah Bapak setelah jerih mengayuh sepeda kesayangannya.

 
Perjalanan kali ini terlihat sangat memberatkan Bapak.
 
 

Perjalanan kali ini terlihat sangat memberatkan Bapak. Dua tanjakan terjal yang membuat urat-urat di kaki seperti akan putus harus kami lewati.

Di atas puncak tanjakan yang pertama, Bapak berhenti. Aku bisa merasakan punggungnya basah oleh keringat. Namun, ada hal yang membuatku kagum, Bapak justru tersenyum bangga karena tidak memintaku turun dari boncengan di tengah tanjakan, lebih-lebih saat ini sedang berpuasa.

Di atas puncak tanjakan ini aku bisa menyaksikan atap rumah kami yang berwarna kecokelatan. Atap itu tampak berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya yang berdinding tembok dan atap berwarna-warni. Ukurannya pun tidak sampai setengah dari rumah milik tetangga.

Rumah itu seperti terimpit oleh kemegahan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Dinding-dinding papannya pun menjadi surga bagi kumbang. Lubang-lubang betebaran seperti berondongan peluru. Dengungnya pun sering mengganggu pendengaran penghuninya.

Ketika matahari meninggi, larik-lariknya terhunus melalui lubang-lubang kecil yang bertebaran di atap rumah. Ketika hujan, Mamak akan berlarian mengambil mangkuk, baskom, ember, atau apa pun untuk menampung tetesan air.

Satu-satunya yang membuat rumah kami tampak meriah hanyalah suara menguing dan kemrosok yang berasal dari radio tua kesayangan Bapak. Kotak bersuara itu lebih terasa manfaatnya saat bulan puasa seperti sekarang. Menjelang berbuka, Bapak tampak khusyuk mendengarkan lekukan suara dari seorang qari.

 
Ketika matahari meninggi, larik-lariknya terhunus melalui lubang-lubang kecil yang bertebaran di atap rumah.
 
 

***

“Kok, kawan-kawannya tak dibagi, Nak?” Dari ujung tangga, tepat di bawah bingkai pintu, Bapak menarik kedua sudut bibirnya.

Aku keberatan untuk melakukan apa yang diucapkan Bapak. Buah karimunting ini sedang aku nikmati di depan tumpukan getah damar yang menyala sebagai pengganti lilin dan kembang api. Buah ini yang aku cari bersama Bapak tadi sore, pun getah damar di hadapanku.

Setelah selesai dengan lilin, petasan, dan kembang api, kini kawan-kawanku berkerumun di sekelilingku. Mereka terlihat seperti orang-orang yang begitu akrab denganku. Padahal sebelumnya, aku hanya bisa menyaksikan keseruan mereka tanpa ada yang berusaha mengajakku.

Tidak ada yang menarik tanganku agar ikut merasakan bermandikan bunga-bunga dari kembang api yang dinyalakan. Tidak ada yang menawarkan kepadaku untuk melemparkan kembang api agar tersangkut di ranting-ranting pohon. Tidak ada seorang pun yang memberikan sebatang lilin warna-warni kepadaku.

Tas dari kain bekas karung tepung terigu yang berisi buah karimunting aku dekap erat. Ada kepuasan yang aku rasakan ketika akhirnya mereka menginginkan apa yang aku miliki. Aku sengaja mengeluarkan satu per satu, perlahan-lahan memasukkan ke dalam mulut, lalu mengunyah. Mereka menatapku dengan leher yang bergerak naik turun.

Untuk pertama kali pula aku melihat Toni mencoba merayuku karena ingin merasakan buah-buah manis berwarna merah ini.

“Hanif ....” Bapak kembali menyebut namaku.

Lagi-lagi aku luluh dan terpaksa memenuhi permintaan Bapak, meskipun tanpa rasa ikhlas.

 
Lagi-lagi aku luluh dan terpaksa memenuhi permintaan Bapak, meskipun tanpa rasa ikhlas.
 
 

***

Hari Minggu pagi, tiga hari menjelang Hari Raya, tidak ada sedikit pun rasa kantuk yang menggayuti mataku selepas salat subuh. Bapak mau mengajakku ke pasar di kota kecamatan. Tidak tanggung-tanggung jaraknya dari rumah kami, 20 kilometer.

Bapak memakai pakaian kebesarannya, baju batik lengan panjang dengan lipatan kerah yang sudah rapuh, celana katun berwarna hitam yang sudah pudar, dan menutup helaian-helaian di puncak kepalanya dengan kopiah beludru yang tidak lagi bisa disebut berwarna hitam karena dimakan waktu.

Bapak tidak memberi tahu tujuannya ke pasar. Aku pun tidak berniat menanyakan. Berdua bersama Bapak menikmati perjalanan sudah membuatku senang.

Sesekali Bapak bergaya bak pembalap di atas motor, tubuhnya dicondongkan ke depan, tidak ketinggalan suara dari mulut serupa raungan mesin yang dipacu, pedal sepeda semakin kencang dikayuh.

Aku terperangah ketika Bapak menghentikan sepeda di depan emperan kios. Mataku dihadapkan dengan berbagai kembang api, lilin, dan petasan berbagai warna dan ukuran yang disusun rapi. Tidak terkira betapa bahagia melihat semua itu.

Bapak mengajakku turun. Aku menduga-duga Bapak akan membelikan kembang api yang seperti apa untukku.

“Hanif, masih ingat kembang api Toni yang jatuh ke dalam parit?”

 
Aspal hitam di bawah kakiku seperti amblas, mengisap sendi-sendi kaki.
 
 

Aspal hitam di bawah kakiku seperti amblas, mengisap sendi-sendi kaki. Bapak tidak seperti sebelum-sebelumnya yang selalu memberikan kejutan yang menyenangkan hatiku.

Kali ini Bapak mengajakku hanya untuk mengganti kembang api Toni, meskipun harganya bisa untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami berhari-hari. Untuk alasan itu pula Bapak mengatakan belakangan ini rela bekerja hingga sore.

Sepanjang perjalanan pulang tidak ada keceriaan yang menyertaiku, hanya kebisuan setiap kali Bapak mengajakku berbicara. Pertama kalinya aku merasakan kekecewaan terhadap Bapak. Sosoknya selama ini aku kagumi, setiap ucapannya aku junjung tinggi-tinggi.

Namun, hari ini ....

Bapak terus melajukan sepedanya hingga melewati rumah kami, kemudian berhenti di halaman rumah yang tidak pernah ingin aku singgahi, yaitu rumah Toni.

Bapak memintaku menyerahkan kembang api yang sudah kami beli jauh-jauh kepada Toni. Satu hal yang tidak kalah menyesakkan, aku harus menyertakan permintaan maaf atas kesalahan yang tidak kusengaja.

Seperti yang aku duga, Toni semringah menerima kembang api. Anak laki-laki seumuranku itu kemudian membalikkan badan ke arah kedua orangtuanya, mereka tersenyum.
“Ini buatmu.” Toni kembali menyerahkan kembang api kepadaku tanpa ragu, lalu menggenggamkan tanganku agar mau menerima.

Aku masih mematung. Aku tidak memahami apa yang sedang terjadi. Sementara Bapak mengembangkan senyum hingga memperlihatkan barisan gigi-giginya.
“Hanif, aku boleh ikut cari buah karimunting?”

Kali ini aku menyambut dengan anggukan tanpa menunggu. Bapak menepuk-nepuk pelan pundakku.

Pada kesempatan yang sama, Pak Bahar menyampaikan permintaan maaf kepada Bapak, tidak seharusnya ia mendatangi rumah kami hanya karena kembang api. Tidak sampai di situ, Pak Bahar juga menyerahkan beras yang ia sebut sebagai zakat fitrah keluarganya kepada Bapak dan sejumlah uang di dalam amplop.

Hari ini juga, aku menarik kembali kekecewaanku kepada Bapak. Betul kata Bapak, aku tidak boleh berhenti berbagi meski tidak banyak yang aku miliki. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Jalan Menuju Wakatobi…

Tak terlalu sulit mengakses transportasi menuju Kabupaten Wakatobi.

SELENGKAPNYA

Jejak Kemasyhuran Kesultanan Buton

Di dalam benteng itu, ada masjid yang dibangun pada abad ke-16.

SELENGKAPNYA

Hijab dan Pemilu Turki

Terik menarik Islam dan sekularisme kembali warnai politik Turki.

SELENGKAPNYA