Ekonomi
Menanti Kehadiran Bursa Karbon
Perdagangan karbon bisa mempercepat target nol emisi.
JAKARTA -- Indonesia menargetkan dapat membentuk bursa perdagangan karbon pada September mendatang. Saat ini, aturan terperinci mengenai bursa karbon sedang disusun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK (POJK).
Pengadaan bursa karbon merupakan salah satu amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) ditetapkan. Bursa karbon merupakan sistem yang mengatur perdagangan dan mencatat kepemilikan unit karbon berdasarkan mekanisme pasar. Tujuannya mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon.
Pembentukan bursa karbon dianggap perlu karena sejalan dengan target pemerintah yang menetapkan target nationally determined contribution (NDC) sebesar 29 hingga 41 persen pada 2030 dan net zero emission (NZE) atau nol emisi pada 2060.
Potensi perdagangan karbon di dalam negeri bisa mencapai Rp 8.000 triliun.
NAMA TOKOH
Sebagai langkah mendukung tata kelola dan ekosistem pengembangan bursa karbon di Tanah Air, OJK perlu menyiapkan berbagai muatan materi peraturan teknis yang sejalan dengan payung hukum yang ada, antara lain Permen LHK Nomor 21 Tahun 2022 maupun Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kehadiran aturan teknis bursa karbon perlu memfasilitasi setiap penyelenggara yang potensial. Indonesia, kata dia, bisa belajar dari studi kasus bursa karbon di berbagai negara, termasuk Swedia.
“Jadi, penyelenggara bursa karbon dapat berasal dari perusahaan berbasis teknologi, bukan berasal dari bursa efek, dan itu sah-sah saja. Khawatir jika aturan teknis memberikan preferensi khusus pada penyelenggara bursa efek akan menghambat inovasi pengembangan bursa karbon,” kata Bhima dalam diskusi yang digelar Celios, di Jakarta, Kamis (11/5/2023).
Ia menuturkan, meski regulasi bursa karbon berburu dengan waktu, kualitas dari regulasi tetap perlu dijaga. Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, peraturan mengenai bursa karbon akan diselesaikan pada Juni, lalu mulai beroperasi pada September tahun ini.
Menurut Bhima, waktu yang ada hingga aturan teknis terbit pada Juni perlu dimanfaatkan oleh OJK dalam merumuskan sebaik mungkin kesiapan pendaftaran hingga mekanisme pengawasan bursa karbon. Dengan begitu, bursa karbon yang hadir di Indonesia dapat digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
"Ini mencegah perusahaan luar negeri yang ingin melakukan greenwashing berlomba-lomba masuk ke bursa karbon Indonesia," ujarnya.
Ia menambahkan, terbukanya penyelenggara bursa karbon di luar entitas Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal memicu inovasi dan pengembangan layanan seperti yang telah terjadi di berbagai negara yang akan memperdalam bursa karbon.
Bhima menilai, sosialisasi terhadap pelaku bursa karbon perlu segera didorong. Berbagai perusahaan yang berkontribusi terhadap emisi karbon juga perlu terlibat aktif dalam perdagangan karbon, sesuai tujuan awal bursa karbon untuk menekan emisi karbon.
Peluang usaha baru itu harus diatur secara jelas. Apalagi, potensi perdagangan karbon di dalam negeri sangat besar, jumlahnya bisa mencapai Rp 8.000 triliun dalam jangka panjang karena memasukkan potensi hutan dan mangrove.
Anggota Komisi XI DPR, Kamrussamad, mengatakan, OJK tidak bisa menunjuk Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai penyelenggara bursa karbon. Sebab, saham dan karbon merupakan hal berbeda. Di beberapa negara, karbon dianggap sebagai komoditas.
"Bursa karbon dapat dipisahkan dari BEI. Itu merujuk beberapa negara, seperti Amerika, Singapura, dan Malaysia," ujarnya.
Ia menyebutkan, potensi ekonomi bursa karbon Indonesia bersumber dari hutan hujan tropis yang seluas 125,8 juta hektare dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton. Negeri ini memiliki hutan hujan terbesar ketiga di dunia.
Sumber berikutnya yakni luas mangrove Indonesia seluas 3,31 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon sebanyak 33 miliar karbon atau 950 hektare ton karbon per hektare. Selain itu, Indonesia memiliki hutan gambut terluas sebesar 7,5 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon sebanyak 55 miliar ton.
"Jika Indonesia menjual kredit karbon dengan harga 5 dolar AS per ton di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia sebesar Rp 8.000 triliun per tahun, lebih dari separuh APBN kita, besar sekali potensinya," tutur dia.
Melihat potensi itu, dia menegaskan, kewenangan yang dimiliki OJK harus dijalankan sesuai amanat UU P2SK, antara lain, harus terbuka bagi pelaku usaha untuk menjadi operator bursa.
Anggota DPR Komisi XI, Misbakhun, mengatakan, dalam Pasal 24 UU PPSK disebutkan, bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang mendapatkan izin usaha dari OJK. Hal itu, kata dia, menunjukkan bahwa penyelenggara bursa karbon idealnya bersifat terbuka asalkan mendapatkan izin dari OJK, tidak eksklusif hanya bagi penyelenggara bursa efek.
“Kehadiran bursa karbon tidak bisa diserahkan ke bursa efek (Bursa Efek Indonesia/BEI, Red). Kegiatan penyelenggaraan bursa efek sangat berbeda dengan bursa karbon," ujarnya.
Ia menegaskan, di seluruh dunia mana pun tidak ada entitas penyelenggara bursa efek yang menjadi bursa karbon. Hal itu karena manajemen risiko dan penilaiannya berbeda.
Mitigasi perubahan lingkungan
Menurut analis Climate Policy Initiative Indonesia, Alke Rabinsa Haesra, bursa karbon sedianya serupa dengan bursa saham. “Kalau karbon ini dokumen berisi surplus emisi (dari entitas saham) yang diperjualbelikan dan monetisasinya berapa? Yang jadi masalah kalau saham bisa naik-bisa turun. Kemudian, jika yang dijual apakah bisa ketengan? Mekanisme ini masih diatur pemerintah dan bursa efek. Siapa yang bisa ber-trading? Valuasinya seperti apa?” kata dia dalam seminar yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Kedubes Denmark di Indonesia, di Jakarta, Rabu (10/5/2023).
Menurut dia, carbon trading sedianya mitigasi atas perubahan lingkungan. "Mengenai karbon ini adalah soal mitigasi, bukan adaptasi. Monetisasi dari mitigasi ini lebih mudah dari adaptasi.”
Menurut dia, ada beberapa hal yang harus disiapkan soal perdagangan karbon di Indonesia. Hal yang utama adalah harga dasar harga karbon. “Satu karbon pembangkit listrik dihargai berapa? Satu karbon dari mesin dihargai berapa? Lain seperti pajak dan laporan akuntansi bisa menyusul. Tapi, yang paling penting, pricing dulu,” kata dia. Alke menekankan, keadilan soal wajar tidaknya harga karbon sejauh ini belum disepakati pemerintah dan swasta.
Menurut dia, perkembangan pasar karbon sejauh ini masih berkutat pada rencana penjualan karbon dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batu bara. “Untuk perdagangan karbon di bursa efek masih dalam pengembangan. Sejauh ini untuk sektor lain belum ada aturannya. Kita masih pada tahap awal carbon trading. Kita sudah di jalan yang benar.”
Perusahaan-perusahaan akan banyak yang beralih lebih cepat ke energi terbarukan.
Ia mengingatkan, Indonesia memiliki target net zero emission pada 2060. Perdagangan karbon bisa mempercepat target itu. “Negara-negara lain yang maju targetnya 2040-2050. Tapi, dengan karbon market, target net zero maju ke 2030,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dengan karbon yang dihargai alias tak bisa lagi keluar secara gratisan dari industri, perusahaan-perusahaan banyak yang beralih lebih cepat ke energi terbarukan. "Indonesia bisa capai NZE pada 2040 dengan dorongan bursa karbon. Indonesia dengan jumlah hutan potensi jadi kredit karbon. Kendalanya adalah menjaga agar lahannya tidak beralih fungsi.”
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.