Mujadid
Sosok dan Perjuangan KH Abdul Wahid Hasyim
KH Abdul Wahid Hasyim berperan penting dalam pendirian negara Republik Indonesia.
KH Abdul Wahid Hasyim merupakan seorang putra perintis Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Ibundanya bernama Nafiqah. Di kemudian hari, ia memiliki seorang putra, Abdurrahman ad-Dakhil alias Abdurrahman Wahid, yang merupakan presiden keempat Republik Indonesia.
KH Abdul Wahid Hasyim lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 1 Juni 1914. Hingga berusia 12 tahun, putra kelima dari 10 bersaudara itu diasuh dalam lingkungan Pondok Pesantren Tebu Ireng.
Menjelang masa remaja, ia mengembara ke berbagai pesantren terkemuka di Jawa, yakni Siwalan Panji dan Lirboyo. Menginjak usia 15 tahun, Abdul Wahid Hasyim pulang ke Tebu Ireng. Di kampung halaman, dirinya tidak hanya mendalami ilmu-ilmu agama lagi, tetapi juga belajar menguasai bahasa Belanda dan Inggris langsung dari ayahnya.
Pada usia 18 tahun, Abdul Wahid Hasyim menunaikan ibadah haji. Di Tanah Suci, ia tidak hanya menimba ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga mengamati perkembangan global dari perspektif pusat dunia Islam. Semangatnya memajukan pola pikir umat, khususnya dimulai dari warga Nahdliyin. Itu kian tampak sejak kepulangannya ke Tanah Air.
Sebagai pengajar, KH Abdul Wahid Hasyim muda memasukkan matapelajaran umum di Tebu Ireng. Para santri tidak hanya diajarkan bahasa Arab, melainkan juga bahasa-bahasa Eropa, semisal Inggris atau Belanda. Meskipun sempat ditolak kalangan kiai yang lebih tua, terobosan itu terus diterapkannya karena terbukti meningkatkan mutu pesantren.
Konsennya bukan hanya pada pendidikan, melainkan juga politik kebangsaan. Sejak Indonesia belum merdeka, NU telah menjadi salah satu wadah perjuangan umat Islam dalam konteks antipenjajahan, baik yang dilakukan Belanda maupun militer Jepang. Pada 1942, kabur dari Indonesia lantaran serbuan Dai Nippon. Negeri Matahari Terbit rupanya memainkan sentimen anti-Barat untuk mendulang simpati rakyat Indonesia.
Untuk itu, otoritas Jepang mendekati sejumlah organisasi besar, termasuk NU. Pada 1937, Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibentuk sebagai badan yang memayungi segenap ormas Islam. KH Hasyim Asy’ari dari NU dan KH Mas Mansyur dari Muhammadiyah merupakan beberapa tokoh besar yang ikut di dalamnya. Pada 1939, KH Abdul Wahid Hasyim turut menjadi anggota MIAI. Bahkan, satu tahun kemudian kala usianya masih 26 tahun dia menjadi ketua.
Belakangan, majelis ini digantikan dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi; belum menjadi partai). Pada 1943, KH Abdul Wahid Hasyim didaulat menjadi ketua Masyumi. Beberapa gagasan visionernya di sini adalah pembentukan Barisan Hizbullah dan Sabilillah, sebagai cikal bakal wadah perjuangan fisik umat Islam, khususnya kaum santri.
Aktif di BPUPKI
Maklumat Gunseikan Nomor 23/29 pada April 1945 mengamanatkan terbentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Inilah ajang bagi segala kalangan nasionalis, baik itu yang bervisi agama (Islam) maupun sekuler. Di sinilah tempat merumuskan kerangka bernegara untuk masa depan. Pembahasan tentang Pancasila juga mengemuka di sini.
Salah satu perdebatan hangat dalam rapat BPUPKI adalah soal hubungan antara agama dan negara. Ini mencuat terutama setelah perumusan Piagam Jakarta yang disusun Panitia Sembilan, yang diketuai Sukarno dan beranggotakan para tokoh Islam dan nasionalis-sekuler. Pada 22 Juni 1945, lahirlah Piagam Jakarta.
Di sana, termuat sila yakni “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Itu dikenal sebagai Sila Ketuhanan “dengan tujuh kata.”
Indonesia akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945. Namun, satu hari setelahnya datang kepada Bung Hatta seseorang yang mengaku sebagai perwira angkatan laut Jepang. Si perwira ini mengaku pula membawa pesan dari rakyat non-Islam di Indonesia timur yang merasa keberatan dengan Sila Ketuhanan “dengan tujuh kata.”
Bung Hatta tidak ingin Indonesia berpotensi terpecah-belah hanya dalam hitungan hari setelah Proklamasi. Kemudian, diundangnya empat orang yang dianggap mewakili suara umat Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku Mohammad Hasan, dan KH Abdul Wahid Hasyim.
Sesungguhnya, “tujuh kata” ini sudah disetujui kedua belah pihak, yakni kubu Islam dan nasionalis-sekuler.
Sesungguhnya, “tujuh kata” ini sudah disetujui kedua belah pihak, yakni kubu Islam dan nasionalis-sekuler, dalam Panitia Sembilan. Namun, akhirnya pihak Islam memakluminya. Maka, sila tersebut menjadi berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa.”
Sampai di sini, ada dua sumber tentang peran KH Abdul Wahid Hasyim. Yang pertama, seperti dikutip Fathurin Zen (2004), menyatakan, keempat tokoh Muslim yang diundang Bung Hatta itu akhirnya menyetujui penghapusan kata-kata “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Kemudian, KH Abdul Wahid Hasyim mengusulkan penambahan kata-kata “Yang Maha Esa” setelah “Ketuhanan.”
Adapun sumber kedua, seperti disebutkan Herry Mohammad (2006), usulan penambahan kata-kata “Yang Maha Esa” setelah “Ketuhanan” datang dari Bung Hatta. Atas usulan ini, KH Abdul Wahid Hasyim kemudian merespons, “Kata ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sesuai dengan tauhid dalam Islam, dan pergantian kalimat tersebut akan memuaskan kalangan Islam. Hanya Islam yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Memimpin Kemenag
Selain soal sila dasar negara, ada pula peran besar lainnya dari KH Abdul Wahid Hasyim. Yakni, urgensinya institusi kementerian agama alias kemenag. Sejak 1945, ia telah aktif dalam kabinet pemerintahan.
Dialah menteri agama pertama RI. Memang, pelbagai “serangan” dari kaum yang cenderung sekulerisme terus mempertanyakan apa gunanya Kemenag. Mereka menuding bahwa negara tidak perlu mengurusi agama karena soal itu adalah ruang privasi warga.
KH Abdul Wahid Hasyim membela kepentingan umat Islam--dan umat agama-agama lain—yang berkepentingan dengan eksistensi Kemenag. Baginya, “Hanya negara ateis yang melepaskan diri dari agama.”
Pemaparan ini disampaikannya dengan tetap menyetujui pendapat bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara agama.
Ia juga menjawab pelbagai tuduhan bahwa kementerian ini terlalu mengurusi kepentingan Muslim. Menurutnya, akomodasi terhadap keperluan umat Islam sudah proporsional. Sebab, pada faktanya pemeluk Islam merupakan mayoritas di negeri ini.
Dalam periode 1949-1952, gagasan-gagasan dicetuskan KH Abdul Wahid Hasyim selaku menteri agama. Pada zamannya itu, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) berdiri di Yogyakarta. Sang menag berpendirian, kalangan terdidik dari umat Islam perlu diakomodasi. Mereka perlu menyadari peran sebagai agen perubahan yang sekaligus kader dakwah Islam di tengah masyarakat modern. Apalagi, umat Nasrani ketika itu sudah memiliki sekolah tinggi teologi.
Maka, pendirian PTAIN menjadi perlu untuk mengejar ketertinggalan umat Islam. PTAIN kelak memunculkan institut agama Islam negeri (IAIN), yang kelak diperluas lagi fungsinya menjadi universitas Islam negeri (UIN).
Pada 19 April 1953, cucu pendiri NU ini bepergian bersama dengan seorang putranya. Bapak anak ini menumpang mobil yang dikemudikan seorang supir. Namun, mobil tersebut kemudian mengalami kecelakaan yang fatal di daerah Cimahi, Jawa Barat.
KH Abdul Wahid Hasyim wafat. Korban selamat hanya sang bocah yang masih berusia sekira 13 tahun. Dialah yang kelak menjadi presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Yusuf al-‘Azhmah, Pejuang Kemerdekaan Arab
Yusuf al-‘Azhmah merupakan tokoh militer Arab-Suriah yang disegani pada masa perang dunia.
SELENGKAPNYAMuhammad Farid Wajdi, Modernis Islam dari Mesir
Mengikuti Syekh Muhammad Abduh, Muhammad Farid Wajdi turut mengembangkan gagasan modernisme Islam.
SELENGKAPNYAPerisai Rasulullah di Medan Perang
Nusaibah binti Ka’ab terjun langsung di Perang Uhud dan berusaha melindungi Rasulullah SAW.
SELENGKAPNYA