Internasional
Indonesia Diundang Berembuk Soal Afghanistan
Perempuan Afghanistan masih terus dibatasi.
DOHA -- Kondisi kemanusiaan di Afghanistan kian memburuk selepas Taliban kembali berkuasa dan sanksi berkepanjangan Amerika Serikat terhadap negara tersebut. Kaum perempuan juga masih terus dibatasi dari bekerja dan memperoleh pendidikan lanjut.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menuturkan akan memenuhi undangan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB untuk menghadiri Meeting of Special Envoys on Afghanistan, di Doha, Qatar, Senin (1/5/2023). Pada kesempatan itu, Retno menyampaikan perlunya dunia memperhatikan situasi kemanusiaan yang kian memburuk di Afghanistan.
Retno mengatakan, selain Indonesia, terdapat sejumlah negara lain yang turut diundang Sekjen PBB untuk berpartisipasi dalam Meeting of Special Envoys on Afghanistan. Mereka antara lain Amerika Serikat (AS), Rusia, Cina, Inggris, Prancis, Jerman, Arab Saudi, Qatar, India, Turki, dan Uni Emirat Arab (UEA). Ada pula dua organisasi internasional yang mengikuti pertemuan tersebut, yakni Uni Eropa dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Di sela-sela acara, Retno turut melakukan sejumlah pertemuan lainnya, antara lain dengan Misi PBB untuk Afghanistan (UNAMA) serta utusan khusus AS, Inggris, dan Norwegia untuk Afghanistan. Dia pun mengadakan pertemuan virtual dengan para tokoh perempuan Afghanistan.
“Dalam semua pertemuan saya tekankan bahwa hak-hak perempuan Afghanistan penting untuk dihormati, termasuk hak terhadap pendidikan dan pekerjaan. Dunia juga perlu memperhatikan situasi kemanusiaan yang semakin memburuk di Afghanistan,” kata Retno dalam keterangan tertulis yang dirilis Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Selasa (2/5/2023).
Di serangkaian pertemuan itu, Retno menyampaikan komitmen Indonesia untuk memberikan bantuan di bidang kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat Afghanistan. “Di bidang kesehatan, untuk merespons terjadinya wabah polio di Afghanistan dan atas permintaan otoritas setempat dan setelah berkonsultasi dengan WHO, maka Indonesia berkomitmen untuk membantu 10 juta vaksin polio untuk rakyat Afghanistan,” ucapnya.
Menurut dia, proses persiapan pemberian vaksin terus dilakukan saat ini, baik dengan WHO, Unicef, dan Bio Farma selaku produsen vaksin terkait. “Sementara di bidang pendidikan, Indonesia akan memberikan beasiswa atau pembangunan kapasitas kepada kaum muda Afghanistan, termasuk kaum perempuannya. Untuk tahun ini, salah satu fokusnya adalah pemberdayaan di bidang ekonomi,” kata Retno.
Dalam kunjungannya ke Doha, Retno juga sempat melakukan pertemuan bilateral dengan Menteri Kerja Sama Internasional Qatar Lolwah Al-Khater. Selain hubungan bilateral, perkembangan situasi Afghanistan turut menjadi isu utama yang mereka bahas.
Retno mengungkapkan, dia dan Lolwah bersepakat untuk membantu rakyat Afghanistan, khususnya di dua bidang utama, yakni kesehatan dan pendidikan. Mengenai pendidikan, dibahas tentang sejumlah beasiswa yang akan ditawarkan kepada rakyat Afghanistan, terutama untuk kaum perempuan.
"Dan guna menindaklanjuti International Conference on Afghan Women Education yang diselenggarakan Desember tahun lalu di Bali, maka direncanakan akan dilakukan pertemuan serupa di Doha pada November tahun ini,” kata Retno. Selain itu, Retno dan Lolwah juga sepakat melanjutkan Dialog Trilateral Ulama Indonesia-Qatar-Afghanistan yang kedua.
Pada Desember tahun lalu, Indonesia menggelar International Conference on Afghan Women’s Education, di Bali. Konferensi itu dihelat Indonesia bekerja sama dengan Qatar.
Retno Marsudi mengungkapkan, setidaknya terdapat lima alasan yang membuat penyelenggaraan konferensi tersebut sangat penting. Pertama yakni memperbarui situasi terkini di Afghanistan. Kedua, menegaskan dukungan untuk semua warga Afghanistan, tanpa terkecuali. Ketiga, menegaskan dukungan terhadap hak-hak perempuan Afghanistan. Keempat, mengidentifikasi kesenjangan dan mengumpulkan sumber daya guna mendukung pendidikan bagi kaum perempuan di Afghanistan. Kelima, untuk memutuskan peta jalan ke depan.
Unjuk rasa
Pada Sabtu (29/4/2023), puluhan perempuan Afghanistan membahayakan diri mereka dengan menggelar unjuk rasa di Kabul. Mereka menyuarakan protes atas kebijakan-kebijakan diskriminatif Taliban terhadap kaum perempuan. Dalam aksinya, mereka turut menyerukan negara-negara agar tidak mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan.
Sekitar 25 perempuan Afghanistan berjalan dan berbaris melewati daerah perumahan di Kabul sambil meneriakkan slogan-slogan anti-Taliban. “Pengakuan terhadap Taliban, pelanggaran hak-hak perempuan,” pekik mereka dalam pawainya, dikutip laman Al Arabiya.
Mereka pun menyuarakan slogan lain, seperti “Rakyat Afghanistan sandera Taliban” dan “Kami akan berperang, kami akan mati, kami akan mengambil hak kami”. Unjuk rasa yang digelar sekitar sekelompok kecil perempuan Afghanistan itu berlangsung kurang dari 10 menit. Mereka menghentikan aksi sebelum adanya konfrontasi dengan pasukan keamanan Taliban.
Aksi berskala kecil semacam itu cukup sering digelar para perempuan Afghanistan. Tindakan mereka terbilang berani mengingat sempitnya ruang yang diberikan Taliban untuk perbedaan pendapat. Tak satu-dua kali aparat Taliban memukuli dan membubarkan unjuk rasa yang digelar sekelompok kecil perempuan Afghanistan.
Unjuk rasa terbaru oleh perempuan Afghanistan digelar menjelang pertemuan antara perwakilan Taliban dan PBB di Doha, Qatar, pada Senin (1/5/2023). Wakil Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed mengungkapkan, pertemuan di Doha bisa saja membahas “langkah kecil” menuju pengakuan pemerintahan Taliban, tapi dengan persyaratan.
“Ada beberapa yang percaya ini tidak akan pernah terjadi. Ada orang lain yang mengatakan, ya, itu harus terjadi. Taliban jelas menginginkan pengakuan, dan itulah pengaruh yang kami miliki,” kata Mohammed dalam sebuah ceramah di Princeton University pekan lalu.
Sejak Agustus 2021, Afghanistan berada di bawah kekuasaan Taliban. Kehidupan masyarakat di sana, terutama bagi kaum perempuan, kian memprihatinkan. Hal itu karena Taliban menerapkan pembatasan ketat bagi aktivitas kaum perempuan, termasuk di bidang pendidikan.
Pada Desember tahun lalu, Taliban memutuskan untuk melarang kaum perempuan Afghanistan berkuliah. Menteri Pendidikan Tinggi Taliban Nida Mohammad Nadim mengatakan, larangan itu diperlukan guna mencegah percampuran gender di universitas. Dia meyakini, beberapa mata kuliah yang diajarkan di kampus, seperti pertanian dan teknik, tak sesuai dengan budaya Afghanistan serta melanggar prinsip-prinsip Islam.
Tak berselang lama setelah itu, Taliban memutuskan untuk melarang perempuan Afghanistan bekerja di lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah. Sebelumnya, Taliban juga telah menerapkan larangan bagi perempuan untuk berkunjung ke taman, pasar malam, pusat kebugaran, dan pemandian umum. Taliban pun melarang perempuan bepergian sendiri tanpa didampingi saudara laki-lakinya. Ketika berada di ruang publik, perempuan Afghanistan diwajibkan mengenakan hijab.
Serangkaian kebijakan Taliban yang “menindas” kehidupan perempuan Afghanistan itu telah dikecam dunia internasional. Hingga saat ini, belum ada satu pun negara yang mengakui kepemimpinan Taliban di Afghanistan. Salah satu alasannya adalah karena hak-hak dasar kaum perempuan di sana.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.