Syekh Yusuf al-Makassari. Menurut antropolog Martin van Bruinessen, sang syekh adalah ulama Nusantara pertama yang menyebut Naqsyabandiyah dalam tulisan | tangkapan layar youtube

Mujadid

Syekh Yusuf al-Makassari, Pejuang Lintas Benua

Kiprah perjuangan Syekh Yusuf al-Makassari terasa di Indonesia maupun Afrika Selatan.

Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari lahir di Moncong, Loe, Gowa, Sulawesi Selatan, pada 3 Juli 1626. Mengutip Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, ibundanya merupakan keturunan raja Gowa. Adapun ayahandanya berasal dari kalangan petani biasa yang taat beragama.

Makassar saat itu menjadi bagian dari Kesultanan Gowa. Islam tidak hanya diakui sebagai agama resmi. Istana mendukung dan melindungi alim ulama dalam menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Dalam situasi seperti itu, keluarga Muhammad Yusuf membesarkan anak-anaknya.

Pada 1644 M, Muhammad Yusuf berangkat ke Jazirah Arab untuk menunaikan ibadah haji. Selama beberapa tahun, dirinya pun menetap di Tanah Suci guna menuntut ilmu-ilmu agama.

Setelah melakukan pengembaraan ilmu selama masa remaja di Makkah, Madinah, dan Hadramaut (Yaman), Syekh Yusuf, menurut sejumlah sumber, kembali ke Banten. Daerah di Pulau Jawa itu memang pernah menjadi tempatnya belajar ilmu agama. Kesultanan Banten sejak pertama kali dibentuk oleh Sunan Gunung Jati selalu tampil konfrontatif terhadap Belanda.

Di Jawa, Batavia (kini Jakarta) menjadi pusat bangsa Eropa itu dalam mengendalikan monopoli komoditas ekspor nusantara, khususnya rempah-rempah. Tidak jarang mereka memakai kekuatan militer sehingga Banten membalasnya setimpal dengan mengerahkan pasukan tempur. Kendati begitu, pertempuran antara keduanya juga diselingi gencatan senjata.

Jihad di Banten 

Pangeran Dipati alias Sultan Ageng Tirtayasa termasuk golongan elite Banten yang membenci kesewenangan Belanda. Putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad itu tidak kenal lelah dan takut dalam melindungi negeri dan rakyatnya.

Syekh Yusuf al-Makassari diangkat olehnya menjadi mufti Kesultanan Banten. Pengangkatan itu berkaitan pula dengan peran muridnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Keduanya bertekad mengusir Belanda dari bumi nusantara.

Merespons kolaborasi ulama-umara itu, kompeni bermain licik dengan menerapkan politik pecah belah, devide et impera. Akibatnya, antarbangsawan di istana pun saling mencurigai. Puncaknya terjadi ketika Abdul Qahar alias Sultan Haji melawan ayah kandungnya sendiri, Sultan Ageng, untuk merebut kekuasaan.

Dalam perang saudara ini, Belanda membantu Sultan Haji. Hal itu di gambarkan Prof Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten.

Salah satu arsip koleksi yang ditelitinya menunjukkan perjanjian antara Sultan Haji dan pihak kompeni. Dokumen itu ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa pada naskah kertas Eropa. Isinya menyebutkan, Sultan Haji meminta bantuan senjata dan tenaga kepada Belanda demi memerangi ayahnya sendiri kira-kira pada 1682.

Syekh Yusuf tentu berpihak pada Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan, ulama ini tampil berani di tengah medan pertempuran. Sayangnya, pada 14 Desember 1683 kubu Sultan Ageng terdesak. Syekh Yusuf yang kala itu berusia 57 tahun pun ditangkap pasukan Belanda. Satu tahun lamanya dia disekap di penjara Batavia. Pada September 1684, dia bersama dengan kedua istrinya, beberapa anak, dan belasan muridnya diasingkan ke Sri Lanka.

Pengasingan di sana tak bisa lama-lama. Sebab, Ceylon alias Sri Lanka sering disinggahi calon jamaah haji asal nusantara sebelum mereka sampai ke Arab.

Saat bermukim di pulau tersebut, Syekh Yusuf sering mengadakan kontak dengan mereka yang hendak menunaikan haji atau dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci. Belanda kemudian menyadari persinggahan jamaah haji ini berbahaya.

Orang-orang Muslim itu dapat memperoleh inspirasi dan bahkan strategi untuk memperkuat gerakan perlawanan di nusantara. Itulah salah satu pemantik haji-fobia di kalangan kolonial. Puncaknya, Belanda memberlakukan ordonansi haji pada 1859.

Orang pribumi pun kesulitan bila hendak menunaikan rukun Islam kelima. Dengan beleid itu, mereka yang pernah ke Masjid al-Haram harus melalui pendataan pemerintah kolonial. Bahkan, gelar haji akhirnya diberikan Belanda sebagai kamuflase belaka untuk memudahkan aktivitas spionase.

Di Afrika Selatan

Kembali ke riwayat Syekh Yusuf. Ulama Makassar yang telah menginjak usia 68 tahun ini dipindahkan dari Ceylon ke Cape Town, Afrika Selatan (Afsel). Ada dua perspektif yang bisa dipakai.

Di satu sisi, sufi-pejuang tersebut kian jauh dari tanah kelahirannya. Di sisi lain, kehadirannya di Benua Hitam ternyata ikut merintis dakwah dan perkembangan Islam bagi penduduk setempat.

Taufiq Ismail dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit menjelaskan, Belanda mulai mendirikan koloni di Afrika Selatan pada 1652. Belasan tahun kemudian, daerah itu menjadi tujuan pembuangan lawan-lawan politik kolonial.

Sebelum kedatangan Syekh Yusuf al-Makassari, sudah ada tiga orang tahanan politik asal Sumatra Barat yang dibuang ke sana pada 1667. Dua orang dicampakkan ke hutan, se dangkan seorang lainnya ditahan di Pulau Robben, Afsel. Mereka adalah Urang Kayo (Belanda: Cayen) yang nama-namanya tidak dicantumkan pada nisan setempat.

Pada 2 April 1694, Syekh Yusuf dan para pengikutnya tiba di Afsel dengan menumpang kapal De Voetboeg. Mereka semua dalam keadaan di belenggu sejak meninggalkan Sri Lanka. Catatan perjalanan penyair Taufiq Ismail yang pernah dimuat Republika pada April-Juni 1993 mengungkapkan besarnya peran ulama kelahiran Gowa itu dalam mengembangkan syiar Islam. Bahkan, masyarakat setempat sampai saat ini menghormatinya sebagai pahlawan.

Rombongan tahanan Syekh Yusuf berada di wilayah Zandfliet, dekat False Bay. Kendati mengalami isolasi, penduduk lokal masih dapat menerima pengajaran darinya sehingga dakwah Islam menyebar dari kampung ke kampung. Afsel saat itu merupakan daerah yang dihuni banyak buruh kerja paksa yang didatangkan untuk membangun koloni-koloni Belanda. Sebagian dari mereka tertarik pada ajaran Islam, alih-alih kristenisasi yang gencar dilakukan Barat.

Taufiq mengutip data dari tesis Suleman Essop Dangor (1981) bahwa Syekh Yusuf telah menulis sekurang-kurangnya 15 buku dalam bahasa Arab, Bugis, dan Melayu. Banyak karyanya yang sampai hari ini masih tersimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda. Kegemarannya menulis kitab-kitab sudah ditekuninya sejak masih menjabat mufti di Banten hingga berstatus tahanan politik di pengasingan, baik Batavia, Sri Lanka, maupun Afsel.

Syekh Yusuf berpulang ke rahmatullah pada 23 Mei 1699 atau lima tahun setelah penahanan di Zandfliet. Jenazah almarhum dikebumikan di Zandfliet, yang kini bernama Desa Macassar, Cape Town, Afsel. Namun, Belanda kemudian menyetujui permintaan Sultan Gowa Abdul Jalil sehingga jasadnya di pindahkan ke Gowa. Penjemputan tiba pada 5 April 1705 dan sehari berikutnya pemakamannya dilakukan di Lakiung, Sulawesi Selatan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ramadhan Underground

Misi utama Tasawuf Underground menarik mereka dari jalanan.

SELENGKAPNYA

Lagi, Polisi Israel Seribu Masjid Al Aqsa

Polisi dan pemukim Israel kerap memasuki Masjid Al Aqsa untuk memprovokasi warga Palestina.

SELENGKAPNYA

Indonesia Kecam Penyerangan Al-Aqsha

Kekerasan dikhawatirkan bakal meluas.

SELENGKAPNYA