
Keluarga
Menjaga Anak di Tengah Derasnya Isu Penculikan
Anak kini harus diajari mekanisme pertahanan diri.
Penculikan anak saat ini menjadi momok tersendiri bagi para orang tua. Banyaknya kabar terjadi penculikan anak di berbagai darah di Indonesia membuat masyarakat kian berhati-hati sekaligus waspada dalam menjalankan kesehariannya.
Sebelumnya pada awal 2023 ini, Indonesia diramaikan dengan kasus-kasus penculikan anak. Belakangan masyarakat juga tengah membicarakan soal kasus penculikan anak di Makassar, Sulawesi Selatan.
Terobsesi dengan transaksi jual beli organ tubuh yang dilihat di internet serta tergiur untuk mendapatkan sejumlah uang, dua remaja di Makassar tega menculik dan membunuh bocah 11 tahun bernama Fadli. Korban dibunuh untuk dijual organ tubuhnya.
Pelaku AR (17) dan AF (14) membunuh korban di sebuah rumah setelah sebelumnya mengajak korban untuk membantu membersihkan rumahnya di Jalan Ujung Bori. Ketiganya lalu menuju rumah AR di Jalan Batua Raya 14 untuk dieksekusi.
Psikolog balita, anak, dan remaja, Ratih Zulhaqqi, mengatakan, penculikan dan kekerasan pada anak yang kini banyak terjadi bisa menimbulkan pengalaman traumatis pada korban. Namun, dibutuhkan asesmen untuk mengetahui munculnya trauma beserta akibatnya.
"Penculikan dan kekerasan terhadap anak memang biasanya akan menjadi pengalaman traumatis bagi anak. Tetapi, apakah ini menjadi traumatic event yang bisa langsung dilihat pada saat itu? Belum tentu," ujarnya kepada Republika, Selasa (17/1/2023).

Ia mencontohkan, penculikan terjadi pada Senin, lalu sepekan kemudian anak ditemukan, artinya apakah Senin pekan depannya bisa langsung dikatakan anak mengalami trauma.
Ternyata belum bisa dipastikan kapan munculnya trauma dan efeknya. "Harus ada assesment lebih lanjut. Terkadang psikolog memerlukan waktu untuk melakukan assesment," katanya.
Ia menambahkan, biasanya asesmen dilakukan selama satu hingga tiga bulan setelah penculikan terjadi untuk melihat apakah ada efek trauma selain fisik pada anak. Minimal efek yang bisa terjadi adalah rasa takut anak yang berlebihan.
Apalagi pada saat penculikan terjadi, korban mendapatkan tindakan kekerasan, entah melalui verbal, fisik, atau kekerasan seksual. Tak hanya orang asing, ia menyoroti kadang ada penculikan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri.
Ratih mengungkapkan, ia pernah menemukan kasus pasangan suami istri yang bercerai dan kemudian ayah menculik anaknya di sekolah. Si ibu sampai melapor ke polisi dan kondisi jadi mencekam karena tidak tahu buah hatinya pergi ke mana.
"Ternyata dibawa ayahnya ke luar negeri. Kemudian, pada saat kembali, mereka baik-baik saja setelah melakukan perjalanan," ujarnya.
Agar terhindar dari penculikan
View this post on Instagram
Agar anak terhindar dari ancaman penculikan, Ratih pun memberikan beberapa tip, salah satunya adalah anak diajari mengenai mekanisme pertahanan diri. "Ini kalau dari sisi internal adalah terkait mekanisme pertahanan diri anak. Jadi, bagaimana seorang anak bisa diajarkan untuk belajar mempertahankan diri mereka,” ujarnya.
Terutama, kata Ratih, pada saat bukan hanya diculik, melainkan juga saat terjadi kekerasan baik dari teman ataupun dari orang dewasa di sekitarnya," katanya.
Ia menjelaskan, melatih mekanisme pertahanan diri anak ini yaitu kualitas pengasuhan yang positif. Diawali dengan memberikan anak kesempatan untuk membentuk kemandirian yang merupakan cikal bakal bisa terbentuk mekanisme pertahanan diri.
Dengan diberikan kemampuan untuk mengeksplorasi kemandirian fisik, kemandirian emosi, kemandirian sosial maka disitulah anak punya rasa berdaya yang tinggi. Akhirnya anak merasa percaya diri untuk menghadapi lingkungannya.
"Kebanyakan anak-anak yang menjadi korban penculikan adalah anak-anak yang secara karakter kurang mampu membawakan dirinya di lingkungan, tidak bisa bilang tidak atau minimal dia lari menyelamatkan diri. Keahlian memecahkan masalah yang dia miliki tidak bisa membantu dia untuk mempertahankan diri," ujarnya.
Jadi, ia meminta orang tua harus mengajarkan mekanisme ini sejak dini supaya anak punya rasa berdaya dan membentuk mekanisme pertahanan dirinya. Dari sisi eksternal, orang tua harus berkoordinasi misalnya dengan guru di sekolah untuk memastikan seperti apa tempat menurunkan anak saat tiba di sekolah, apakah langsung diserah terima pada guru atau anak-anak berjalan sendiri.
Hal-hal ini perlu diantisipasi, ungkap dia, karena celah sedikit bisa menjadi potensi melakukan penculikan. Ia meminta bisa ditentukan anak bermain di mana, apakah di rumah atau di rumah teman atau di lingkungan lapangan. Jika di lapangan, minimal ada satu atau dua orang dewasa yang mengawasinya.
"Kalau orang tua tidak bisa mengawasi, bisa bekerja sama dengan orang tua anak lain supaya bisa menemani. Jadi, kembali lagi pada koordinasi dan komunikasi," katanya.
Orang tua harus berkoordinasi misalnya dengan guru di sekolah.RATIH ZULHAQQI, Psikolog balita, anak, dan remaja.
Temuan Amplop Badrun dan Hukum Barang tak Bertuan
Ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, apakah sebaiknya diambil atau dibiarkan.
SELENGKAPNYAMencintai Lelaki Lain
Rasa cintanya akan ketampanan Yusuf mendorong Zulaikha melakukan hal memalukan.
SELENGKAPNYARumah Warga Palestina Dibakar
Israel memberlakukan hukuman kolektif ke warga Palestina.
SELENGKAPNYA