Asma Nadia | Daan Yahya/Republika

Resonansi

Waktu yang Tepat untuk Sakit

Dua tahun pandemi saya tidak ke mana-mana. Berbagai acara dilakukan secara daring.

Oleh ASMA NADIA

ASMA NADIA

Adakah waktu yang tepat untuk sakit? Pertanyaan itu mengusik saya saat satu per satu keluarga terkena Covid-19. Saya percaya, Allah SWT tahu yang terbaik walaupun manusia dengan kedangkalan dan keterbatasan keilmuan dan kedhaifannya tidak tahu. 

Sejak wabah merebak, kami sekeluarga termasuk yang sangat berusaha hati-hati dalam menjaga. Bukan saja karena saya dan suami memiliki komorbid, melainkan juga kami masih memiliki orang tua yang terbilang sepuh dan sangat berbahaya jika mereka terkena virus korona.

Saya masih di luar negeri ketika itu, dalam rangka nonton bareng film Hayya 1 produksi Warna Pictures, bersama komunitas masyarakat Muslim Indonesia di Qatar. Kasus pertama di Qatar merebak beberapa hari setelah nobar diselenggarakan.

Berita resmi dari Pemerintah Indonesia terkait ditemukannya kasus pertama kemudian muncul. Sebelumnya, pun saat bertolak dari Tanah Air ke Doha, saya tetap mengenakan masker. Walau begitu, kasus di Indonesia konon belum ada.

 
Sejak wabah merebak, kami sekeluarga termasuk yang sangat berusaha hati-hati dalam menjaga.
 
 

Perjalanan panjang dalam pesawat, bagi saya tetap riskan. Penumpang berasal dari berbagai tempat, apalagi ketika suara batuk terdengar, makin ketat saya merasa harus menjaga. 

Sebelum duduk, walau pesawat pasti telah dibersihkan, saya menyemprotkan cairan pembersih pada kursi, sandaran, penopang tangan. Sengaja pula meletakkan hand sanitizer pada saku jaket agar mudah teraih. 

Hal yang sama saya lakukan ketika pulang. Waktu itu, dua anak saya tinggal di apartemen. Sengaja kami tidak langsung bertemu meski saya sudah kembali ke Tanah Air, tetapi menunggu hingga dua pekan berlalu.

Memastikan kondisi saya yang baru pulang dari luar negeri aman, insya Allah. Masa karantina saya berakhir, tapi anak-anak tidak langsung pulang. Sebab, putra kedua yang masih mengikuti kuliah tatap muka sebelum diliburkan merasa harus dikarantina dulu selama dua pekan. 

 
Dua tahun pandemi saya tidak ke mana-mana. Berbagai acara dilakukan secara daring.
 
 

Penundaan lagi. Upaya saling menjaga maka semua harus sabar. Ketika pertemuan terjadi, sungguh diliputi keharuan. Seolah-olah kami telah terbentangkan jarak dan waktu begitu panjang. 

Dua tahun pandemi saya tidak ke mana-mana. Berbagai acara dilakukan secara daring. Kehidupan berjalan. Semua anggota keluarga tetap mengenakan masker ketika di luar. Kami tahu Covid-19 masih ada dan menjaga diri kami berarti menjaga para orang tua di sekitar kami.

Walau demikian, takdir tak dapat ditolak. Wallahualam bagaimana persisnya virus korona akhirnya menghampiri kami. Pertama, putra saya mengalami panas tinggi. Kebetulan waktu itu putri kami yang sudah menikah sedang di rumah sebab suaminya bertugas ke Papua. 

Tentu saja kecurigaan itu ada, tetapi karena gejala batuk pilek seperti flu, kami masih berpikir mungkin bukan Covid-19. Saya tetap merawat ananda, menggantikan bajunya yang basah, memastikan dia cukup makan dan minum obat.

Ketika panas tingginya tidak turun walau sudah diberikan obat, kami sepakat membawa ananda melakukan tes antigen. Kepalang tanggung kakak dan ayahnya serta saya turut serta. Hasilnya ternyata suami saya dan si bungsu yang memang sudah panas, positif.

 
Dalam kecemasan karena ayah ada darah tinggi dan jantung, kami bersyukur virus ini muncul saat kami sekeluarga sudah vaksin.
 
 

Saya dan putri negatif. Suami menyarankan keluarga berpisah sementara. Saya tinggal bersama si kakak di rumahnya. Ayah yang tidak terlalu berat gejalanya akan merawat si bungsu. Mbak ART di rumah kami minta libur demi keselamatannya.

Dalam kecemasan karena ayah ada darah tinggi dan jantung, kami bersyukur virus ini muncul saat kami sekeluarga sudah vaksin. Sakitnya Adam dan ayahnya kami umumkan ke keluarga besar dan kawan yang mungkin sempat bertemu agar mereka juga melakukan cek serupa.

Dua tiga hari tinggal di rumah si kakak, berbagi tempat tidur, tiba-tiba suatu malam putri saya mengalami panas tinggi sekali. Seperti ketika si bungsu sakit, saya pun merawat si kakak. Memastikan dia makan dan minum yang cukup, memastikan obatnya dia konsumsi. 

Selama itu, seperti biasa saya selalu meminum air agak panas sebagai pengganti minum air putih biasa. Kebiasaan yang saya lakukan sejak wabah muncul. Karena kondisi terus memburuk, putri saya kembali melakukan tes antigen.

 
Saya hijrah ke rumah ibu, setelah menantu pulang, mengasingkan diri di lantai atas agar tidak membawa virus kepada ibu.
 
 

Hasilnya negatif, untuk pemeriksaan lebih detail dia sekaligus meminta dilakukan tes PCR. Dan benar, ternyata positif. Saya tidak langsung meninggalkan rumah si sulung karena dia sendiri. Sebagai ibu, saya merasa harus tetap merawatnya.

Menantu saya tiba dua hari kemudian dan sejak awal sudah berpesan dia akan siap merawat istrinya, hingga niatan kami menggabungkan si kakak bersama ayah dan adik agar tidak membahayakan suaminya urung dilakukan.

Saya hijrah ke rumah ibu, setelah menantu pulang, mengasingkan diri di lantai atas agar tidak membawa virus kepada ibu. Lima hari karantina, saya melakukan PCR dan hasilnya tetap negatif. Rasa syukur berdetak ketika beberapa bulan setelah sembuh, putri saya hamil.

Kabar ini sungguh menggembirakan. Allah menyiapkan imunitasnya yang akan rutin bolak-balik mengecek kehamilan di RS. Lalu, kapan giliran terbaik bagi saya sakit?

Akhir 2022, saya melakukan perjalanan kemanusiaan ke Lebanon mengunjungi delapan dari 12 kamp pengungsi Palestina di sana. Seperti biasa, selama perjalanan saya mengenakan masker, khususnya di pesawat.

 
Allah juga tidak memberikan sakit ini hingga saya tiba di Tanah Air. Kenapa sekarang, ya Allah?
 
 

Tercengang menemukan tidak satu pun petugas di bandara transit ataupun penumpang, baik di Muscat (Oman) maupun Amman (Yordania), yang mengenakan masker. Selama 10 hari di Lebanon, lanjut empat hari di Yordania, saya dan rombongan tidak ada yang mengenakan masker. Saya kembali mengenakan masker di pesawat dalam perjalanan pulang. Teman satu rombongan mendarat dan baik-baik kecuali saya yang setelah dua hari di rumah seperti kena flu berat: batuk, pilek, sempat pusing, sedikit demam, tetapi tidak panas tinggi, dan tubuh lemas.

Tes antigen dan PCR dilakukan tiga hari setelah kepulangan, hasilnya positif. Allah tahu yang terbaik. Dia tidak memberi saya sakit ketika perjalanan kemanusiaan yang membutuhkan stamina dan mobilitas tinggi, apalagi musim dingin dimulai.

Allah juga tidak memberikan sakit ini hingga saya tiba di Tanah Air. Kenapa sekarang, ya Allah? Prasangka baik saya kepada Allah, Dia memberikan masa istirahat agar daya tahan tubuh saya melesat dan kuat hingga bisa mendampingi putri saya yang sedang menjelang melahirkan, insya Allah pada pekan keempat Januari.

Jika ada yang saat ini sedang berjuang untuk sembuh, yakinlah dengan waktu sakit yang Allah gilirkan kepada kita, tetap mengucap hamdalah sebelum innalillah. Tetap mendekap rasa syukur atas begitu banyak hari sehat yang telah Allah berikan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat