ILUSTRASI Kaab bin Malik dan pengucilan yang dialaminya merupakan latar turunnya beberapa ayat surah at-Taubah. | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Ketika Ka'ab bin Malik Dikucilkan Muslimin

Pengucilan yang dialami Ka'ab bin Malik, seorang sahabat Nabi SAW, lantaran kelalaian yang pernah dilakukannya.

Pada tahun kesembilan Hijriyah, terjadilah Perang Tabuk di daerah berjarak 778 KM dari sisi utara Madinah. Ini merupakan salah satu misi jihad yang terberat dipimpin Nabi Muhammad SAW.

Pertempuran yang memperhadapkan antara kaum Muslimin di satu sisi dan musyrikin di pihak lain berlangsung pada musim panas yang diiringi paceklik. Belakangan, para ahli sejarah menyebut peristiwa itu sebagai Hizb al-Usrah, perang yang penuh kesukaran.

Inilah perang kedua umat Rasulullah SAW dalam melawan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium). Beliau dan mayoritas Muslimin maju ke medan juang.

Namun, ada tiga orang yang ternyata tidak jua menampakkan diri hingga hari H. Ketiganya adalah Murarah bin al-Rabi', Hilal bin Umayah, dan Ka'ab bin Malik. Mereka dikenal sebagai sahabat Nabi SAW yang baik keimanannya.

 
Bagaimana Ka’ab bin Malik tetap mengutamakan kejujuran dalam menghadapi persoalan akibat ketidakhadirannya di palagan Tabuk.
 
 

Tulisan ini akan mengisahkan bagaimana Ka’ab bin Malik tetap mengutamakan kejujuran dalam menghadapi persoalan akibat ketidakhadirannya di palagan Tabuk.

Sang sahabat Nabi SAW memang masyhur sebagai salah seorang yang selalu ikut dalam jihad bersama Rasulullah SAW. Kesetiaannya pada Islam tidak perlu diragukan. Ia termasuk yang mengikuti Bai'atul Aqabah II. Karena itu, absennya dalam Perang Tabuk menimbulkan pertanyaan.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Al-Tawwabin menuturkan, permulaan ekspedisi Tabuk terjadi pada hari Kamis. Sebab, Nabi SAW memang senang memulai perjalanan pada hari tersebut. Kabar tentang jadwal ini pun diketahui Ka'ab.

Sang sahabat bertekad untuk mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Pada Kamis pagi --beberapa jam sebelum ekspedisi dimulai-- ia menyempatkan diri ke pasar. Tujuannya, membeli perlengkapan yang akan digunakan untuk perang.

Ka'ab berpikir, setelah barang yang dibutuhkannya terbeli, ia dapat segera menyusul rombongan pasukan Muslimin. Sayangnya, hingga berjam-jam lamanya menunggu, barang yang dibutuhkannya itu tak kunjung ditemukannya di pasar. Karena ingin sesiap mungkin, Ka'ab pun menunggu sampai esok hari.

Namun, barang yang dicarinya tak kunjung ada. Esok telah berganti hari. Selanjutnya, yang ada hanyalah kerisauan dalam hati Ka'ab.

 
Begitulah hingga akhirnya Ka'ab tak bisa lagi menyusul pasukan yang dipimpin Rasulullah SAW.
 
 

"Begitulah hingga akhirnya Ka'ab tak bisa lagi menyusul pasukan yang dipimpin Rasulullah SAW,” ungkap Ibnu Qudamah.

Jelaslah alasan Ka'ab tidak mengikuti ekspedisi Tabuk. Tak ada niatan dalam hatinya untuk menghindar dari Perang Tabuk. Justru, hatinya menjadi sangat sedih. Ia sungguh menyesal karena telah lalai.

Rasulullah SAW dan pasukannya akhirnya sampai di Tabuk. Nabi SAW yang tak melihat sosok Ka'ab lalu bertanya, “Apa yang dikerjakan Ka'ab bin Malik?”

Salah seorang sahabat menjawab, “Baju dan selendangnya yang membuatnya tertinggal di rumahnya, ya Rasul SAW.”

Perkataan itu adalah ungkapan menyindir bahwa yang bersangkutan berat meninggalkan istri di rumah. Mendengar itu, Muadz bin Jabal segera menyela, "Hush, sangat buruk apa yang kaukatakan. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami melihat Ka'ab sebagai orang yang baik."

Beberapa hari kemudian, usailah Perang Tabuk. Sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW memasuki masjid dan menunaikan shalat. Kemudian, beliau duduk sendirian; mengisyaratkan bahwa inilah waktunya bagi mereka yang tidak ikut berjihad untuk melapor kepada beliau.

Nabi SAW memaafkan beberapa Muslim yang memang uzur sehingga urung bergabung dalam pasukan Muslim. Namun, ketika melihat Ka’ab, beliau tidak melihat adanya alasan tersebut.

 
Ketika melihat Ka’ab, Nabi SAW tidak melihat adanya alasan tersebut.
 
 

“Bukankah engkau sudah membeli kuda?” tanya Nabi SAW.

“Benar, ya Rasul,” jawab Ka'ab tertunduk.

“Lantas, apa yang membuatmu tak ikut?”

“Demi Allah, sekiranya di sini tak ada orang lain selain engkau, pasti saya akan lari. Kini, saya diberikan kesempatan untuk membela diri, tetapi ya Rasulullah, orang tak akan percaya. Mudah-mudahan Allah memberikan ketentuannya atas diriku,” ujar Ka'ab.

“Bila sungguh benar kata-katamu, pergilah sampai ada keputusan dari Allah,” sabda Rasul SAW
Ka'ab pun pergi dengan hati yang sangat sedih. Rasulullah SAW lalu melarang semua sahabat untuk berbicara dengannya.

Pengucilan pun dimulai. Tak ada satu orang pun yang menyapa Ka'ab. Baginya, seakan-akan bumi pun ikut membencinya.

Beberapa hari kemudian, seorang Nasrani mencari-carinya di pasar. Para sahabat tak ada yang bicara. Beberapa hanya memberi isyarat untuk menunjukkan lokasi Ka'ab kepada Nasrani tersebut. Kepada Ka’ab, lelaki Kristen itu menawarkan agar keluar dari Islam. Dengan tegas, ditolaknya tawaran tersebut.

 
Kepada Ka’ab, lelaki Kristen itu menawarkan agar keluar dari Islam.
 
 

Ka'ab berupaya keras untuk segera lepas dari sanksi sosial itu. Ia sempat mendatangi Abu Qatadah, anak pamannya, agar menjembataninya dengan Rasulullah SAW. Namun, Abu Qatadah tak mau berbicara kepadanya karena harus mematuhi perintah Nabi SAW. Ka'ab pun hanya bisa menangis.

Hari demi hari terasa begitu lama. Tibalah hari ke-50 sejak dimulainya pengucilan. Ka'ab hanya bisa mengisi waktunya dengan shalat sunah sendirian di dekat Ka'bah. Ia benar-benar bertobat. Ka'ab berdoa dan berharap kiranya Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan tentangnya.

Tiba-tiba ia mendengar suara dari atas bukit, “Bergembiralah wahai Ka'ab bin Malik.” Ia langsung bersujud dan bersyukur. Kemudian datanglah seorang pria berkuda dan memberi kabar gembira.

Ka'ab segera menemui Rasulullah SAW di masjid. Lalu, Rasulullah SAW bersabda, “Bergembiralah, wahai Ka'ab.”

Dengan wajah cerah, sang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apakah itu datang dari engkau atau dari Allah SWT?”

“Datang dari sisi Allah.” Kemudian, Nabi SAW membacakan surah at-Taubat ayat 117 hingga 119.

لَـقَدْ تَّابَ اللّٰهُ عَلَى النَّبِىِّ وَالۡمُهٰجِرِيۡنَ وَالۡاَنۡصَارِ الَّذِيۡنَ اتَّبَعُوۡهُ فِىۡ سَاعَةِ الۡعُسۡرَةِ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا كَادَ يَزِيۡغُ قُلُوۡبُ فَرِيۡقٍ مِّنۡهُمۡ ثُمَّ تَابَ عَلَيۡهِمۡ‌ؕ اِنَّهٗ بِهِمۡ رَءُوۡفٌ رَّحِيۡمٌۙ

وَّعَلَى الثَّلٰثَةِ الَّذِيۡنَ خُلِّفُوۡا ؕ حَتّٰۤى اِذَا ضَاقَتۡ عَلَيۡهِمُ الۡاَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ وَضَاقَتۡ عَلَيۡهِمۡ اَنۡفُسُهُمۡ وَظَنُّوۡۤا اَنۡ لَّا مَلۡجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّاۤ اِلَيۡهِ ؕ ثُمَّ تَابَ عَلَيۡهِمۡ لِيَتُوۡبُوۡا ‌ ؕ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيۡمُ

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوۡنُوۡا مَعَ الصّٰدِقِيۡنَ

Artinya: "Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar."

 

Ikhlas Dalam Menebar Ilmu

Ikhlas adalah sifat yang hendaknya ada dalam tiap gerak langkah kehidupan, termasuk menebar ilmu.

SELENGKAPNYA

Kue Keranjang, Si Manis yang Legendaris

Suguhan kue keranjang saat Imlek memiliki makna kesatuan keluarga dan peningkatan rezeki.

SELENGKAPNYA

Memaknai Hijrah

Agar hijrah dilakukan dengan baik, tidak menimbulkan permusuhan dan kebencian.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya