Hiwar
Prof Tjandra: Catatan untuk RI Menuju Akhir Pandemi Covid-19
Menurut Prof Tjandra, fase menuju akhir pandemi Covid-19 mesti diiringi persiapan.
Kini, lebih dari dua tahun berlalu sejak Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi. Sejak 2022 lalu, berbagai negara mencanangkan peralihan menuju endemi Covid-19.
Menurut Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Prof Dr Tjandra Yoga Aditama, Indonesia pun dapat beranjak dari status pandemi. “Angka (positif) Covid-19 di seluruh dunia saat ini memang sudah menurun. Dan, memang dunia arahnya ke berhentinya pandemi. Tentu semua negara, termasuk Indonesia, akan ikut,” ujar guru besar bidang pulmonologi Universitas Indonesia itu.
Sejak Desember 2022, pemerintah Indonesia mencabut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Mantan direktur jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan Kemenkes RI itu mengapresiasi kebijakan tersebut. Namun, seluruh pihak hendaknya tetap waspada dan berhati-hati terhadap potensi sebaran virus korona penyebab Covid-19.
“Masker tetap harus dipakai di dalam maupun luar ruangan. Kalau seseorang positif (Covid-19), sebaiknya tetap isolasi mandiri. Kemudian, vaksinasi terus dilakukan (pemerintah),” kata mantan direktur bidang penyakit menular WHO Region Asia Tenggara itu.
Apa saja yang mesti dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam mencegah pelonjakan lagi kurva Covid-19? Usai dicabutnya PPKM, masih perlukan penelusuran kasus-kasus Covid-19? Kemudian, bilakah Indonesia mencapai fase endemi?
Berikut ini petikan wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan anggota Dewan Pengarah SEAMEO itu. Bincang-bincang dilakukan di kediaman Prof Tjandra di kawasan Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bagaimana Anda mendefinisikan pandemi dan endemi?
Pandemi itu adalah keadaan yang di dalamnya terjadi epidemi di banyak negara. “Pan” itu berarti ‘semua’ atau ‘banyak'. Jadi, menentukan terjadinya pandemi itu hanya bisa dilakukan oleh satu badan yang mengurusi banyak negara. Tidak bisa satu negara mengatakan, di negaranya tidak ada pandemi. Sebab, pandemi itu berarti (terjadi) di banyak negara.
Karena itu, peringatan pandemi Covid-19 dikeluarkan oleh WHO pada 11 Maret 2020. Nanti pada saatnya, berhentinya pandemi Covid-19 juga akan dinyatakan oleh WHO. Misalnya, kalau kita lihat pandemi-pandemi sebelum Covid-19 ini. Ada namanya pandemi H1N1. Itu diinyatakan sebagai pandemi oleh WHO pada 2009 lalu.
Kemudian, setahun berlalu. WHO juga yang mengatakan, pandemi tersebut berhenti.
Covid-19 ini sesuatu yang besar. WHO pun sedang mencari bentuk, bagaimana caranya menyatakan kapan pandemi tersebut berhenti. Kemudian, indikator-indikator apa yang menyatakan pandemi itu sudah atau belum tertangani. WHO baru akan membicakan itu pada Januari 2023 ini.
Bagaimana mulanya Covid-19 ditetapkan sebagai sebuah pandemi?
Pada waktu (merebak) MERS-CoV, saya ditunjuk menjadi anggota Emergency Committee itu. Waktu itu, saya masih kerja di Kemenkes RI. Ketika itu, tim kami memutuskan, MERS-CoV itu belum termasuk sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Karena itu, belum (ditetapkan sebagai) pandemi.
Sementara itu, tim yang Emergency Committee-nya (membahas) Covid-19 ini pada 30 Januari 2020 memutuskan Covid-19 sebagai PHEIC. Itu aturan yang dibuat berdasarkan International Health Regulation (IHR).
Kemudian, pada 11 Maret 2020 barulah Dirjen WHO mengatakan (Covid-19) sebagai pandemi. Makanya, kelak berhentinya pandemi Covid-19 ini akan tergantung pada Emergency Committee terkait itu dan Dirjen WHO yang akan mengambil keputusan. Begitulah konsep besarnya.
Ada harapan WHO segera menetapkan pandemi Covid-19 berakhir?
Sejak dinyatakan sebagai pandemi pada Maret 2020 itu, angka (positif) Covid-19 naik terus. Berbagai varian juga muncul, seperti Alpha, Beta, Gamma, dan Delta. Angka-angka (positif) juga naik terus.
WHO setiap tahun mengadakan rapat tiap bulan Mei untuk membahas seluruh masalah kesehatan dunia, namanya World Health Assembly (Majelis Kesehatan Dunia). Pada 2020 lalu, tinggi-tingginya Covid-19. World Health Assembly pun diundur dan akhirnya digelar pada Mei 2022.
Saat itu, disebutkan bahwa kita masih pandemi dan ujungnya belum kelihatan. Namun, pada September 2022 untuk pertama kalinya Dirjen WHO mengatakan, ujung pandemi ini sudah kelihatan walaupun dunia belum sampai pada akhir pandemi. Mengapa? Sebab, pada September 2022 memang angka kasusnya turun.
Kemudian, pada Desember 2022 ia menegaskan lagi, situasinya sudah jauh lebih bagus daripada tahun sebelumnya. Maka, kita bisa berharap bahwa pada 2023 ini paling tidak situasi emergency pandemi bisa ditekan atau dihilangkan. Ini tergantung pada rekomendasi Emergency Committee.
Walaupun sekarang ada Cina yang sedang naik (kasus Covid-19), pada umumnya sebagian besar negara-negara sejak akhir tahun 2022 situasinya jauh lebih bagus daripada tahun-tahun sebelumnya atau beberapa bulan sebelumnya.
Karena itulah, WHO menyatakan, ujung pandemi sudah dekat. Atas dasar itulah, berbagai negara melakukan pelonggaran.
Bagaimana Anda memandang kebijakan pencabutan PPKM?
Pemerintah RI sudah menghentikan PPKM sejak 30 Desember 2022. Sebelumnya, beberapa negara lain juga sudah melakukan berbagai pelonggaran. Di Piala Dunia 2022, misalnya, orang-orang sudah tidak pakai masker.
Memang, di seluruh dunia, terjadi penurunan kasus dan penurunan kematian akibat Covid-19 pada akhir 2022. Angkanya jauh lebih rendah dibanding bulan-bulan aau tahun sebelumnya. Karena itu, pelonggaran yang dilakukan itu wajar.
Bagaimana agar tren penurunan Covid-19 ini konsisten walau, umpamanya, terjadi peningkatan kasus di negara-negara lain?
Pada kenyataannya, kalau ada penyakit di satu negara, semua negara mencoba membentengi diri. Dalam beberapa waktu terakhir ini, misalnya, China sedang mengalami peningkatan. Untuk itu, Indonesia bisa lakukan tiga skenario.
Pertama, harus ada tes sebelum masuk ke negara, baik tes yang dilakukan di China maupun di negara ini. Itu yang paling ketat.
Kedua, tidak perlu pakai tes, tetapi mereka yang masuk ke negara itu paling tidak sudah divaksin. Harapannya, WNA yang masuk itu diharapkan punya daya tahan.
Ketiga, tidak ada saringannya sama sekali. Kalau saya mengusulkan, mereka yang hendak masuk ke RI terlebih dahulu tes di negara asalnya. Sebab, kita juga belum tahu persis apa yang terjadi di sana. Transparansinya belum optimal, sehingga kita tidak tahu pasti, apakah kasusnya tinggi atau tidak tinggi.
Maka, akan lebih aman kalau memang yang datang ke negara kita adalah yang sudah dites. Harus sudah dibuktikan dengan tes bahwa dia negatif (Covid-19). Kalau toh itu tidak bisa juga dilakukan, paling tidak orang yang masuk ke RI adalah yang divaksinasi secara lengkap.
Jangan sama sekali tidak ada filter atau pembentengan. Ini pun tidak usah lama-lama. Hanya sampai situasi di negara asal—semisal China dalam contoh kita—itu bisa terkendali lagi.
Apa saja yang mesti dilakukan pemerintah agar Covid-19 tetap bisa dikendalikan walau PPKM tidak berlaku lagi?
Mari becermin pada pandemi sebelum Covid-19, yakni misalnya pandemi H1N1 pada 2009. Pada 2010, yakni sesudah pandemi H1N1 itu berhenti, ada tiga hal yang dikemukakan WHO.
Pertama, pandemi memang berhenti, tetapi virusnya masih ada. Seandainya nanti pada 2023 pandemi Covid-19 dinyatakan berhenti juga, virus Covid-19 itu pun masih akan ada. Sakit masih akan ada. Yang meninggal masih akan ada. Yang disebut varian baru masih akan ada. Namun, semuanya bisa lebih terkendali.
Kedua, belum semua pertanyaan (tentang H1N1) bisa terjawab. Apalagi bagi Covid-19 yang lebih baru (daripada H1N1). Misal, pertanyaan tentang bagaimana dampak long Covid-19, kita masih belum tahu. Sebab, masih harus diikuti dan diteliti dari tahun ke tahun. Kemudian, pertanyaan apakah vaksin mesti diulang-ulang beberapa kali. Itu juga belum sepenuhnya terjawab.
Ketiga, kita harus siap menghadapi. Pandemi adalah sebuah pengalaman buruk yang luar biasa. Maka jangan sampai terjadi lagi yang seburuk itu. Dari sekarang, kita mesti bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan emergency di masa yang akan datang.
Sekarang, pandeminya belum dinyatakan berhenti. Saya kira, pernyataan Presiden Joko Widodo sudah bagus. Presiden bilang, tanggal 30 Desember PPKM berhenti, tetapi kita semua tetap harus waspada dan berhati-hati. Langkah hati-hati itu memang tetap perlu dilakukan. Misalnya, memakai masker dan lain-lain. Itu perlu kita lakukan sampai nanti pandeminya betul-betul dinyatakan berakhir.
Masih perlukah penelusuran kasus Covid-19?
Kalau saya mengusulkan, tracing harus tetap dilakukan. Bukan saja karena ini pandemi, tetapi memang untuk semua penyakit menular. Kalau ada satu kasus, kasus lainnya itu harus diperiksa. Jadi, wajar kalau tracing harus tetap dilakukan.
Kalau ada orang yang mempunyai gejala (Covid-19), sebaiknya segera melakukan tes. Kalau misalnya hasilnya positif, bagusnya dia di rumah saja dahulu, cukup isolasi mandiri lima hari saja. Sebab, jika jalan-jalan keluar belum tentu juga maskernya dipakai secara benar sehingga bisa jadi kemungkinan penularan ke orang lain.
Isolasi mandiri diperpendek saja waktunya, dari dua pekan menjadi lima hari di rumah.
Selain tes, vaksinasi juga harus ditingkatkan oleh pemerintah. Kita tahu, vaksinasi bisa mencegah berbagai penyakit menular. Mengapa, misal, terjadi lagi KLB (kejadian luar biasa) polio di Aceh? Itu karena vasksinasinya yang rendah juga. Kalau vaksinasi Covid-19 rendah, tentu saja kemungkinan munculnya kejadian penyakit lebih tinggi.
Menurut Anda, sudahkah merata cakupan vaksinasi Covid-19 di Tanah Air sejauh ini?
Saya kira, belum. Kalau kita lihat dari Our World in Data, itu angka vaksinasi Indonesia sampai Desember 2022 masih sekitar 60 persen. Ini salah satu yang paling rendah. Malaysia sudah 75 persen. Singapura sudah 80-90 persen.
Vaksinasi lengkap masih harus ditingkatkan, apalagi yang booster. Jadi vaksinasi masih harus digalakkan. Apalagi, vaksin anak yang baru dimulai, tetapi vaksinnya belum sepenuhnya tersedia.
Apa saja yang mesti dipersiapkan Indonesia dalam menuju fase dari pandemi ke endemi Covid-19?
Arah dunia memang ke pandemi berhenti. Tentu saja, semua negara, termasuk Indonesia, akan ikut.
Sekarang PPKM sudah tidak ada, tetapi kewaspadaan tetap dilakukan. Untuk pemerintah, hendaknya vaksin Covid-19 harus tersedia dengan mudah. Kemudian, ketersediaan tes juga harus dipermudah. Bahkan, kalau kita lihat di beberapa negara, tes bukan hanya di apotek saja, tetapi juga di supermarket orang bisa beli. Tracing juga dilakukan karena itu prinsip dasar pengendalian penyakit menular.
Kesadaran masyarakat dan komitmen pemerintah untuk menjaga kesehatan juga mesti ditingkatkan. Jangan nanti kalau pandemi Covid-19 dinyatakan usai, perilaku kesehatan malah balik lagi ke seperti tahun 2019 dan sebelumnya. Kesadaran untuk menjaga kesehatan harus terus tinggi walau nanti pandemi sudah tidak ada.
Buat pemerintah juga begitu. Sewaktu pandemi memuncak dahulu, semua tenaga kesehatan, TNI-Polri, dan banyak kalangan bekerja habis-habisan untuk kesehatan. Nanti kalau pandemi berhenti, perhatian negara kepada kesehatan harus lebih tinggi daripada sebelum era Covid-19.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Kapal Cina Berulah Lagi di Natuna
Penerobosan wilayah kali ini jadi yang kesekian kalinya setelah 2016.
SELENGKAPNYAPartai NU di Jakarta
Waktu pemilu tahun 1955 tinggal dua tahun lagi sejak Partai NU berdiri di Jakarta.
SELENGKAPNYA