Adi Sasono | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Fenomena Cak Fai

Perbaikan nasib orang kecil haruslah dikaji dari akar persoalannya.

Oleh ADI SASONO

OLEH ADI SASONO

Mohamad Rifai adalah penjual sate di Yogya, asal Madura. Ia akrab dipanggil Cak Fai, adalah Ketua Koperasi Persatuan Pedagang Kakilima Yogyakarta, yang kini beranggota 2.500 orang. Dengan jualan satenya, dia menghidupi keluarga dengan delapan anak, dalam tingkat kehidupan yang sederhana tapi tidak miskin.

Koperasi Kakilima ini didirikan tujuh tahun yang lalu, bergerak dalam kegiatan simpan pinjam, perumahan dan usaha perdagangan, khususnya buku untuk melayani kebutuhan anggota.

Membangun koperasi apalagi dengan tingkat keanggotaan yang ribuan ini, dengan proses penumbuhan dari bawah, secara mandiri, bukanlah persoalan yang sederhana dan mudah. Apalagi kalau ia menyangkut lapisan keanggotaan yang terdiri dari mereka yang terbatas tingkat pendidikan dan terbatas pula dalam wawasan kegiatan ekonominya, serta dalam lingkungan kompetisi ekonomi terbuka yang berlangsung ketat.

Cak Fai, yang terpilih secara demokratis Ketua, adalah contoh dari yang langka, yang telah memberikan hidupnya, dan yang menyumbangkan kemampuannya untuk urusan koperasi yang menyita waktu yang seharusnya untuk kegiatan usaha.

Di Indonesia, 35 persen dari penduduk yang kini mencapai 185 juta tinggal di perkotaan, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 4 persen atau lebih dari dua kali rata-rata pertumbuhan penduduk secara keseluruhan. Dari sekitar 13 juta unit ekonomi di luar sektor pertanian, maka 98,5 persen adalah unit ekonomi yang bangun usahanya tidak berbadan hukum. Yang berbadan hukum hanyalah 1,5 persen.

Dari penyerapan kesempatan kerja, yang tidak berbadan hukum tersebut justru menyerap 83 persen dari angkatan kerja di kawasan perkotaan. Mereka bekerja di kegiatan ekonomi yang dikenal sebagai sektor informal.

 
Perbaikan nasib orang kecil haruslah dikaji dari akar persoalannya.
 
 

Banyak penjelasan mengapa orang cenderung mengalir ke kota. Salah satu di antaranya adalah kecilnya tingkat pertumbuhan kesempatan kerja di pedesaan (1,8 persen) dibanding di perkotaan (5,2 persen). Dengan kata lain, dalam prespektif ini, perpindahan ke kota dari orang desa yang serba terbatas tingkat pendidikan dan kemampuan usahanya, adalah pilihan rasional. Ia adalah kemustian untuk dapat menyelenggarakan kelangsungan hidup bagi diri dan keluarganya.

Dalam konteks inilah kita mencatat sekurang-kurangnya dua hal, (i) munculnya kawasan kumuh sebagai akibat meningkatnya kebutuhan pemukiman bagi warga kota yang posisi ekonominya memang tidak terlayani oleh skema pengadaan perumahan resmi, dan (ii) terjadinya kompetisi tidak imbang antara sektor ekonomi rakyat dengan serba keterbatasan yang menjadi cirinya, melawan sektor bisnis skala besar dengan segala akses ekonomi dan politiknya.

Perbaikan nasib orang kecil haruslah dikaji dari akar persoalannya. Menangani gejala, atas nama perbaikan lingkungan fisik, tidaklah akan banyak membantu. Kita perlu melihat sebab musabab untuk merubah nasib antara lain melalui wadah kerakyatan yang berwatak demokratis.

Ia adalah elemen kunci, sekiranya kita menginginkan suatu perbaikan yang mendasar dan berkelanjutan. Dengan kata lain, dalam kehidupan kota yang keras, perbaikan nasib wong cilik, tidaklah dapat diharapkan jatuh dari langit. Ia harus diperjuangkan sebagai komitmen bangsa.

 
Untuk menjaga peradaban bangsa, agar pembangunan tetap dijaga sebagai pengalaman Pancasila.
 
 

Ekspansi dan agresi bisnis skala besar atas nama pembangunan perkotaan, di hadapan kepentingan sah ekonomi rakyat yang sekadar bertahan hidup tidak jarang terjadi. Kita adalah saksi dari sejarah pembangunan perkotaan yang telah melahirkan sejumlah kecil pemilik modal yang menjadi kaya raya dalam waktu sekejap karena pertambahan nilai tanah di perkotaan yang dapat dikuasai, dan sejumlah besar rakyat yang tergusur.

Posisi tawar kolektif mustilah dikembangkan sehingga kesewenang-wenang tidak boleh lagi menjadi ciri pembangunan kota-kota di tanah air.

Cak Fai bukanlah seorang cendekiawan yang piawai di dalam mengananalisis sebab musabah secara teoritis dari berbagai peristiwa sosial. Tapi ia bukanlah orang yang tergolong buta dari realitas sosial.

Dengan kepekaan sosialnya, ia adalah "sekedar" orang yang tulus, yang tergerak dan bersedia memberi untuk sesama, untuk menjaga peradaban bangsa, agar pembangunan tetap dijaga sebagai pengalaman Pancasila. Dan tidak sebaliknya.

Dapatkah kesadaran kita tentang ideologi bangsa dan tentang makna pembangunan dapat melahirkan lebih banyak lagi Cak Fai, di mana-mana, di tengah gemuruhnya mesin besar pertumbuhan ekonomi di perkotaan?

Disadur dari Harian Republika edisi 26 Januari 1993. Adi Sasono (1943-2016) menjabat menteri koperasi dan UKM pada 1998-1999. Ia adalah salah satu pelopor pemikir ekonomi keumatan di Indonesia.

Terbius Permainan Lato-lato

Media sosial menjadi salah satu wadah menyebarnya permainan ini ke berbagai penjuru daerah.

SELENGKAPNYA

Provokasi Agenda Ultranasionalis Netanyahu

Netanyahu mengebut agenda ultranasionalis selepas menjabat.

SELENGKAPNYA

Gambar Bung Karno dan Simbol Tangan

Tak hanya gambar-gambar Bung Karno, keturunannya juga mulai condong ke PDI.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya