
Mujadid
KH Abdullah bin Nuh Sang Pejuang dari Cianjur
KH Abdullah bin Nuh, seorang alim asal Cianjur, pun dikenal sebagai salah satu pendiri UII.
Kaum ulama berperan besar dalam menegakkan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia. Sejak zaman penjajahan, mereka turut berjuang untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Sayangnya, tidak sedikit pemuka agama Islam yang seolah-olah terlupakan atau jarang disorot kontribusinya. Salah seorang tokoh yang patut terekam dalam historiografi nasional adalah KH Abdullah bin Nuh.
Dalam artikelnya yang berjudul “Mengenal Perjuangan KH Abdullah bin Nuh”, Reiza D Dienaputra mengatakan, nama ulama asal Cianjur, Jawa Barat, itu seperti tersisihkan di panggung sejarah. Popularitasnya mungkin tidak sepopuler ulama-ulama lain, semisal KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), HOS Tjokroaminoto (penggerak Sarekat Islam), atau Buya Hamka (alim-sastrawan Minangkabau).
Padahal, Kiai Abdullah bin Nuh tidak hanya berkiprah di dunia dakwah atau pendidikan Islam. Ia bahkan turut membangun Tanah Air dalam bidang poltik pergerakan. Pada era revolusi, namanya tercatat sebagai salah satu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), lembaga yang menjadi cikal bakal DPR-RI.
Kiai Abdullah bin Nuh tidak hanya berkiprah di dunia dakwah atau pendidikan Islam, tapi juga di bidang poltik pergerakan.
Salah seorang inisiator Universitas Islam Indonesia (UII) itu lahir di Kampung Bojong Meron, Cianjur, pada 30 Juni 1905. Ayahnya adalah seorang ningrat lokal, Raden Haji Mohammad Nuh bin Idris. Adapun ibundanya bernama Nyi Raden Aisyah. Kakek dari garis ibunya adalah seorang wedana di Tasikmalaya.
Tokoh yang akrab disapa Mama Abdullah itu tumbuh di tengah lingkungan yang religius. Kedua orang tuanya sangat mengutamakan pendidikan agama. Buah hati mereka pun dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan sekaligus disiplin.
Saat masih berusia anak-anak, Abdullah sempat dibawa ke luar negeri untuk bermukim di Makkah al-Mukarramah. Selama dua tahun di Tanah Suci, ia tinggal dengan nenek dari garis ayahnya, Nyi Raden Kalipah Respati.
Sebelum hijrah ke Arab, wanita itu menerima warisan dalam jumlah banyak dari almarhum suaminya. Alih-alih menghabiskan harta untuk urusan duniawi, Nyi Raden bercita-cita, yakni wafat di Masjidil Haram dalam kondisi beribadah.
Untuk mewujudkan harapan itu, nenek Abdullah tersebut menetap di Makkah. Selama tinggal dengan neneknya, anak lelaki ini tetap menerapkan disiplin. Baginya, berada jauh dari kampung halaman adalah kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri.
Sebelum bermukim di Makkah, Abdullah telah mengenyam pelbagai pendidikan agama.
Sebelum bermukim di Makkah, Abdullah telah mengenyam pelbagai pendidikan agama. Mula-mula, dirinya menuntut ilmu di Madrasah Ianah yang didirikan ayahnya. Kemudian, ia meneruskan belajar di Madrasah Syamailul Huda, Pekalongan, Jawa Tengah.
Dalam masa itulah, anak tersebut mulai mengasah kemampuannya dalam penguasaan bahasa Arab. Untuk menyokong dirinya, beberapa guru meminjamkan buku-buku sastra dan majalah berbahasa Arab kepadanya.
Begitu lulus dari Syamailul Huda, Abdullah melanjutkan pendidikan ke Madrasah Hadramaut School di Jalan Darmo, Surabaya, Jawa Timur. Salah seorang gurunya di sana adalah Sayyid Muhammad bin Hasyim. Sang guru tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga menempa dirinya agar memiliki mental kepemimpinan dan pendakwah. Kepiawaiannya dalam berpidato mulai terasah dari madrasah tersebut.
Sayyid Muhammad mengusulkan kepadanya agar mengejar pendidikan tinggi ke Universitas al-Azhar Kairo. Antara tahun 1926 dan 1928, Abdullah pun menempuh studi di Mesir. Dirinya berfokus pada kajian ilmu fikih di kampus tersebut.
Usai menyelesaikan studinya, ia kembali ke kampung halamannya. Tidak lama kemudian, Abdullah mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Nyi Raden Mariyah alias Nenden Mariyah binti R Uyeh Abdullah. Gadis itu terbilang masih kerabat dekatnya.
Antara tahun 1926 dan 1928, Abdullah pun menempuh studi di Mesir. Dirinya berfokus pada kajian ilmu fikih
Kaji al-Ghazali
Sejak menikah, KH Abdullah bin Nuh tidak hanya aktif dalam kegiatan-kegiatan dakwah di Cianjur, melainkan juga Bogor. Kedua daerah tersebut bisa dikatakan sebagai medan syiar Islam yang dilakukannya pada masa itu.
Pada 1934, ia mulai terlibat dalam beberapa organisasi pendidikan, termasuk Madrasah Penolong Sekolah Agama (PSA) yang didirikan RH Manshur.
Menurut Akhsan Ustadzi dalam artikelnya di laman Nahdlatul Ulama, gaya dakwah Kiai Abdullah tidak bisa dipisahkan dari sosok Imam al-Ghazali. Ulama tersebut sangat mendalami pemikiran tokoh yang berjulukan Hujjatul Islam itu. Begitu pula dengan spirit persaudaraan (ukhuwah) yang digelorakan cendekiawan dari abad ke-12 M tersebut.
Kiai Abdullah berjasa antara lain dalam menerjemahkan banyak buku karya al-Ghazali. Tentunya, salah satu garapannya adalah alih bahasa atas Ihya Ulum ad-Din, kitab monumental sang Hujjatul Islam. Adapun karya terjemahan lainnya atas legasi al-Ghazali adalah Minhaj al-Abidin: Jalan Bagi Ahli Ibadah, Al-Munqiz Min al-Dalal: Pembebas dari Kesesatan, dan Penjernihan Bagi Orang yang Memiliki Pengetahuan Ushul.
Di Bogor, ia mendirikan perguruan Islam yang dinamakannya Majelis al-Ghazali. Di sana, dirinya memimpin kajian rutin atas Ihya. Pengajian yang diadakan tiap sepekan sekali itu selalu dihadiri banyak jamaah, termasuk para ustaz dari Bogor dan daerah-daerah sekitar.
Menurut Akhsan, ketertarikan Kiai Abdullah pada al-Ghazali diwariskan dari ayahandanya. Kiai Muhammad Nuh diketahui sering menelaah gagasan-gagasan sang sufi.
Kiai Abdullah tidak sekadar menerjemahkan karya-karya al-Ghazali. Ia lebih lanjut memaparkan pelbagai pemikiran sang Hujjatul Islam ke dalam bahasa lokal.
Kiai Abdullah tidak sekadar menerjemahkan karya-karya al-Ghazali. Ia lebih lanjut memaparkan pelbagai pemikiran sang Hujjatul Islam ke dalam bahasa lokal. Hal itu didukung penguasaannya yang brilian atas bahasa Arab.
Kemampuannya dalam berbahasa Arab memang mengagumkan. Saat masih muda, sang kiai sudah mampu menggubah syair-syair Arab. Kitab Alfiyah karangan Ibnu Malik pun telah dihafalkannya dalam usia belia. Yang luar biasa, dirinya juga menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman secara autodidak.
Mantan menteri agama Maftuh Basyuni menyebutkan kesaksian tentang mantan gurunya itu. Saat Maftuh menjadi mahasiswa Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, Kiai Abdullah adalah salah satu dosen setempat. Dalam mengoreksi hasil kerja para mahasiswa, sang kiai bekerja dengan amat teliti.
Di sepanjang hayatnya, Kiai Abdullah menghasilkan banyak karya, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Yang termasyhur di antaranya adalah Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang dikerjakannya bersama dengan Oemar Bakry.
Adapun buah penanya yang ditulis dalam bahasa Arab, antara lain, adalah Al-Alam al-Islamy, Fi Zilal al-Ka’bah al-Bait al-Haram, La Taifiyata fi al-Islam, Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun, Mu’allimu al-‘Arabi dan Al-Lu’lu’ al-Manshur.
Kemudian, karya-karyanya yang hadir dalam bahasa Indonesia adalah Cinta dan Bahagia, Zakat Modern, Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW, dan Sejarah Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten.
Zaman Jepang
Pada 1942, perubahan fundamental terjadi di Tanah Air. Rezim kolonial Belanda tunggang langgang akibat diserang bala tentara Jepang. Dalam waktu relatif cepat, Dai Nippon meneguhkan pemerintahan pendudukan di Indonesia.
Mulanya, Jepang menerapkan politik cari simpati kepada orang-orang Pribumi. Kaum Muslimin pun turut menjadi sasaran. Tidak sedikit tokoh alim ulama yang diajak bekerja sama dengan Nippon.
Taktik Jepang kemudian terkuak. Pemerintah pendudukan hanya ingin mengeruk tenaga dan sumber daya Indonesia demi kemenangan Nippon dalam Perang Dunia II kancah Asia Pasifik. Bagaimanapun, para tokoh nasional juga bersiasat. Mereka bersedia mengikuti kemauan Jepang, tetapi dengan tujuan jangka panjang, yakni kesiapan bangsa Indonesia dalam menyongsong kemerdekaan penuh.
Selama berkuasa di Tanah Air, Jepang membentuk antara lain Pembela Tanah Air (PETA). Karena mengharapkan dukungan dari umat Islam, pemerintah pendudukan pun menempatkan sejumlah kiai pada posisi komandan batalyon (daidancho). Untuk daerah Cianjur, Bogor, dan Sukabumi, Kiai Abdullah diminta mengisi jabatan tersebut.
Aktivitas Abdullah di dalam PETA dalam perkembangan selanjutnya membawanya banyak terlibat dalam kegiatan di tingkat nasional. Setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ia pun banyak berkiprah di Jakarta.
Sebagai contoh, sejak 23 Agustus 1945 dirinya menjadi salah satu anggota KNIP. Di luar itu, dirinya pun sempat diangkat menjadi pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk wilayah Cianjur.
Kiprah KH Abdullah di tingkat nasional menjadikannya sebagai tokoh yang sangat diperhitungkan. Tidak hanya oleh kawan-kawan seperjuangannya, tetapi juga oleh Belanda yang kembali masuk Indonesia, dengan membonceng NICA. Ia pun menjadi salah seorang tokoh yang hendak diciduk oleh Belanda.

Dari UII Hingga UI
Hanya beberapa bulan sesudah proklamasi kemerdekaan RI, Belanda kembali datang ke Tanah Air. Negeri Kincir Angin hendak kembali menjajah republik ini. Dalam upaya mewujudkan ambisi itu, Netherlands Indies Civil Administration (NICA) juga mengerahkan kekuatan militer.
Di lapangan, NICA menyasar banyak tokoh nasional maupun lokal. Khususnya di daerah Cianjur dan Bogor, salah satu targetnya adalah KH Abdullah bin Nuh. Sang alim pada masa pendudukan Jepang aktif dalam Pembela Tanah Air (PETA). Pada awal terbentuknya RI, ia turut berkiprah dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Sejak Juni 1946, Ibu Kota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Kiai Abdullah pun turut hijrah ke sana. Tidak hanya aktif dalam mendukung pertahanan nasional, ulama tersebut juga ikut berjuang di ranah pendidikan. Selama di Kota Gudeg, ia bersama rekan-rekan seperjuangan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI). Kini, institusi tersebut dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia (UII).
Untuk semakin memopulerkan perjuangan Indonesia di dunia internasional, Kiai Abdullah juga menyerukan pentingnya siaran radio berbahasa Arab. Dari Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta, dirinya turut membangun Siaran Bahasa Arab.
Sejak itu, pelbagai peristiwa yang terjadi di Tanah Air pun dikabarkan ke luar negeri, utamanya negara-negara Timur Tengah. Publik kawasan Arab pun antusias dalam mengikuti perkembangan perjuangan RI.
Dalam masa perjuangan ini, Kiai Abdullah menikah lagi. Perempuan yang dinikahinya adalah Mursyidah binti Abdullah Suyuti, salah seorang murid KH Abdullah di STI. Dari pernikahannya tersebut, ia dikaruniai enam anak. Sementara dari pernikahannya dengan istri pertama, Nyi Raden Mariyah, sang alim memperoleh lima anak.
Sejak 1950, Belanda mengakui kedaulatan RI. Situasi dalam negeri pun perlahan-lahan menjadi kondusif. Kiai Abdullah lalu memboyong keluarganya untuk hijrah ke Jakarta. Hingga tahun 1964, ia menjadi kepala Siaran Bahasa Arab RRI Jakarta. Kemudian, dirinya mengajar sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Itulah pekerjaan akhirnya hingga tutup usia.
Menjelang masa tuanya, Kiai Abdullah menetap di Bogor hingga ajal menjemput. Sang alim pejuang berpulang ke Rahmatullah pada 26 Oktober 1987. Mereka yang berduka bukan hanya dari kalangan keluarga atau para sahabat di Tanah Air.
Banyak tokoh luar negeri yang turut merasa kehilangan. Sebab, di puncak kariernya sebagai pengajar dirinya sering menyempatkan diri untuk menghadiri pertemuan dan seminar-seminar internasional di beberapa negara, termasuk Arab Saudi, Yordania, India, Irak, dan Iran. Bahkan, raja Yordania ketika itu adalah salah seorang sahabat baiknya.
NU Gelar Muktamar Internasional Fikih Peradaban
Sampai saat ini dunia masih dibayangi konflik identitas dan agama atau yang mengatasnamakan agama.
SELENGKAPNYA'Hakim Wajib Utamakan Keadilan'
Kasus penyiksaan tahanan saat penyelidikan kasus perlu diperhatikan.
SELENGKAPNYAQanaah ketika Berlimpah
Begitu sulit qanaah, merasa cukup bukan hanya saat kekurangan juga ketika berlimpah.
SELENGKAPNYA