
Nostalgia
Sukarno Menampik Tuduhan Sebagai Komunis
Sukarno membantah tuduhan dirinya sebagai gombinis, kata yang populer saat itu untuk menyebut komunis.
OLEH PRIYANTONO OEMAR
Apa bedanya politikus sekarang dengan politikus di masa Hindia Belanda? Dulu, politikus digerebek polisi karena urusan politik, sekarang digerebek polisi karena urusan perempuan, narkoba, dan atau korupsi.
Tjokroaminoto pernah digerebek polisi pada 1913 karena akan menyebarkan pamflet “Seandainya aku bangsa Belanda” karya Soewardi Soerjaningrat. Sebelumnya, Soewardi dan Tjipto Mangoenkoesoemo juga digerebek karena alasan serupa. Soewardi dan Tjipto kemudian diasingkan ke Belanda oleh gubernur jenderal.
Pada Januari 1941, MH Thamrin juga digerebek di rumahnya, disusul penggeberekan rumah Douwes Dekker dan GSSJ Ratulangi. Pangkal soalnya juga urusan politik, dituduh main mata dengan Jepang.
Sukarno juga pernah digerebek polisi Belanda karena urusan politik. Saat itu, 29 Desember 1929, tengah malam setelah ia mengadakan rapat di Yogyakarta. Dalam pembelaannya di pengadilan, Sukarno mempersoalkan hak exorbitant yang dimiliki gubernur jenderal.
Salah satu upaya yang ia dan Partai Nasional Indonesia (PNI) perjuangkan adalah menghapus hak itu. Hak exorbitant adalah hak gubernur jenderal mengasingkan tokoh-tokoh politik pergerakan nasional Indonesia ke luar Jawa.
Pada saat pembelaan itu pula, Sukarno membantah tuduhan dirinya sebagai gombinis, kata yang populer saat itu untuk menyebut komunis. Albreghs yang menjadi saksi sering menyebut kata gombinis untuk menyebut komunis.
Sukarno dituduh sebagai komunis karena pergerakannya bersama PNI sering menggunakan kata-kata radikal seperti halnya yang dilakukan oleh PKI.
Sukarno dituduh sebagai komunis karena pergerakannya bersama PNI sering menggunakan kata-kata radikal seperti halnya yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI): revolusioner, merobohkan imperialisme, dan lainnya. PKI telah melakukan pemberontakan pada 1926-1927.
“Satu ‘logika’ lagi yang kocak, Tuan-tuan Hakim! ‘Logis’ bukan? PNI didirikan tidak lama sesudah PKI mati. PNI sering menunjukkan sikap antiimperialisme sebagai PKI, PNI mau menggerakkan massa sebagai PKI, jadi PNI sama dengan PKI, jadi, merah putih kepala banteng sama dengan merah martil arit, jadi, nasionalis Indonesia sama dengan ‘Gombinis’! Walaupun begitu, walaupun ‘logika’ yang begitu ‘logis’ itu, PNI bukan ‘Gombinis’!” kata Sukarno dalam pembelaannya.
Pada pertemuan PNI di Yogyakarta Februari 1933, ada 6.000 orang yang seharusnya hadir. Kapasitas gedung hanya menampung 4.000 orang, sehingga yang 2.000 lagi dilarang polisi memasuki gedung.
Ada 5.000 pamflet disebarkan di pertemuan itu. Pamflet itu sebenarnya mengajak untuk berlangganan Fikiran Ra’jat, tetapi ada kalimat: Ketakoetan kaoem sana dipandang semoewa pergerakan kita gombinis.
Pada tahun 1960-an, Sukarno juga dituduh sebagai komunis. Itu muncul karena Sukarno selalu membela komunis. Meminta bangsa Indonesia agar tidak fobia terhadap komunis.
HA Notosoetardjo yang pada 1960-an menjadi ketua Lembaga Penggali dan Penghimpun Sedjarah Revolusi Indonesia memiliki kesaksian. Ketika berhaji pada 1962, ia diserbu wartawan Arab yang ingin mengetahui dua hal. Pertama mengenai kebenaran isu Sukarno sebagai komunis. Kedua mengenai isu Sukarno sering melakukan tindakan yang tak sesuai dengan ajaran Islam.
Ia pun menjawab dengan tegas. “Bung Karno bukan komunis, bukan ateis, ia adalah Muslim yang mukmin.” Lalu Notosoetardjo juga menceritakan jika Sukarno adalah haji akbar. Ia menunaikan haji pada 1955 dan wukufnya terjadi pada hari Jumat.
Kalaupun ada orang-orang beragama turut-turut menuduh Bung Karno komunis itu hanya karena kedhaifannya.
Notosoetardjo juga mengatakan, Sukarno telah dituduh sebagai komunis sejak zaman kolonial Belanda. Tuduhan itu datangnya dari orang-orang imperialis dan kolonialis karena Sukarno mulai bergerak menumpas imperialisme dan kolonialisme. “Kalaupun ada orang-orang beragama turut-turut menuduh Bung Karno komunis itu hanya karena kedhaifannya,” kata Notosoetardjo di dalam buku Bung Karno Mentjari dan Menemukan Tuhan.
Ketika Sukarno di dalam penjara, Notosoetardjo bercerita, ada yang bertanya kepada Sukarno mengenai waktu Sukarno akan dibebaskan. Sukarno menjawab, “Saya pun tidak tahu, yang Maha Tahu itu adalah Allah. Saya menyerahkan diri dan hanya percaya kepada Allah.”
Jawaban itu, menurut Notosoetardjo, merupakan pernyataan pengakuan terhadap Tuhan. “Bahwa Karno telah menemukan Tuhannya,” tulis Notosoetardjo.
Di lain waktu, di dalam penjara Sukarno mendapat makanan nasi goreng campur daging babi. Pelayan penjara mengatakan bahwa nasi gorang daging babi merupakan menu mahal hanya untuk orang-orang Belanda. Ia memberikan kepada Sukarno untuk penghormatan kepada Sukarno.
“Biarlah saya tidak makan karena bagi saya babi adalah haram,” jawab Sukarno. Ia lalu menyuruh pelayan itu memberikan nasi goreng babi itu kepada orang Belanda, karena dirinya bukan orang Belanda. “Kalau ada, kasih saya nasi dan tempe goreng saja,” kata Sukarno.
Ketika diasingkan ke Ende, Sukarno intens membaca buku-buku agama. Ia juga berdiskusi dengan tokoh-tokoh agama di Ende, tetapi –menurut Sukarno—pemikiran mereka hanya terpaku pada buku-buku fikih. Sukarno tak menyukai hal-hal kolot semacam ini, karena membuat api Islam padam.
Ia ingin mendapatkan api Islam yang terus menyala. Islam yang hidup. Maka ia meminta dikirimi berbagai judul buku Islam. Ia pun bersurat dengan Kiai Haji A Hassan. Hingga akhirnya ia mendapati perkembangan dari diskusi-diskusi di Ende berbekal bacaan dari berbagai buku itu.
“Alhamdulillah, antara kawan-kawan saja di Ende sudah banyak yang mulai luntur kekolotan dan kejumudannya. Kini mereka sudah mulai sehaluan dengan kita ... terbuka hatinya buat agama yang hidup,” kata Sukarno seperti dikutip Notosoetardjo.
Kala Jagoan Quraisy Memeluk Islam
Jawara Quraisy ini terus saja memikirkan nasib anaknya yang tersandera.
SELENGKAPNYAKain Persembahan Sultan
Tanggal 7 Oktober diperingati sebagai Hari Kapas Sedunia, tanaman yang buahnya selama berabad-abad berjasa menutup aurat warga bumi.
SELENGKAPNYASejarah Narkoba di Batavia
Sebelum masa VOC (1619), madat atau candu merupakan komoditas yang diperdagangkan di pelabuhan Sunda Kelapa.
SELENGKAPNYA