Inovasi
Intrik Membesarkan Generasi Digital Native
Membesarkan generasi digital native tak bisa dilakukan dengan pola pikir digital immigrant.
Setiap masa, biasanya diisi oleh beberapa generasi yang mendominasi. Di era digital saat ini, milenial adalah generasi yang dominan.
Namun, generasi penerus milenial alias para generasi Z kini juga sudah siap mengambil alih. Para gen Z ini, biasa disebut juga sebagai digital native karena sejak awal tumbuh bersama teknologi.
Mengenal teknologi sedari lahir, membuat penduduk asli digital ini merasa nyaman dan menguasai teknologi. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam urusan pola asuh.
Psikolog klinis anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo menjelaskan orang tua, saat ini perlu membuka diri dan menguasai literasi digital. Menurutnya, merasa gagap teknologi (gaptek) boleh-boleh saja, tetapi sedikitnya orang tua perlu tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam dunia digital.
Meskipun memiliki anak yang masuk dalam generasi digital native, Vera melanjutkan, mereka tetap perlu diajarkan soal batasan. Mulai dari, batasan terhadap waktu, konten, dan beretika di dunia digital.
“Orang tua juga perlu memandang secara berimbang dunia digital ini, tidak melulu negatif. Banyak hal positif yang bisa diperoleh asal anak tetap didampingi,” ujar Vera kepada Republika melalui surel, pekan lalu.
Mendidik dan membesarkan anak-anak digital native tentu memiliki tantangannya tersendiri. Pertama, orang tua perlu memahami sesuatu yang baru setiap harinya karena teknologi berkembang dengan pesatnya. "Jadi, orang tua kerap merasa tidak cukup cepat mengikuti, kemudian merasa lelah sehingga abai,” kata Vera.
Kedua, lanjut dia, digital native ternyata memiliki kecenderungan untuk tidak lagi memisahkan dunia nyata dengan dunia maya. Alias, keduanya sudah menyatu dan saling memengaruhi satu sama lain.
Hal ini, disebut Vera, memang akan membuat para orang tua sulit memahami pola pikir sang anak. Selain tantangan, ada pro dan kontra dalam mendidik dan membesarkan anak-anak digital native yang harus diperhatikan.
Dari sisi pro-nya, adalah era digital saat ini sudah bagian dari kita semua, sehingga biarkanlah anak mengeksplor dan memanfaatkan teknologi untuk belajar dan sekaligus hiburan. Namun, di sisi kontranya adalah anak kerap menjadi ketergantungan pada teknologi, tidak tahu batasan, kurang sopan, dan rentan terpapar kekerasan, hingga pornografi.
Agar kesenjangan antara orang tua yang dan anak-anak yang berbeda generasi ini dapat dimitigasi, Vera menjelaskan, orang tua bisa belajar tentang teknologi agar mengerti bagaimana cara melindungi anaknya. Anak pun bisa merasa senang karena orang tua menunjukkan minat pada apa yang mereka sehari-hari mereka hadapi.
Orang tua juga perlu memandang secara berimbang dunia digital ini, tidak melulu negatif.
VERA ITABILIANA HADIWIDJOJO, Psikolog klinis anak dan remaja
Tantangan Pendidikan
Tak hanya di rumah, mendidik anak digital native juga menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (Kornas JPPI), Ubaid Matraji menjelaskan, bagaimana karakteristik dan kebiasaan anak-anak //digital native// saat mengikuti proses belajar dalam dunia pendidikan.
Pertama, menurut Ubaid, anak-anak digital native ini kerap mengalami ketercerabutan dari di mana dia tumbuh. Hal ini terjadi, karena adanya larangan menggunakan gawai di sekolah.
Jadi, kata Ubaid, anak-anak digital native ini sejak kecil sudah bermain gawai yang telah menjadi bagian dari dunianya. Tetapi anak-anak digital native menjadi bingung kenapa kemudian di sekolah gawai itu dilarang.
Orang tua juga kadang melarang anak-anak untuk menggunakan gawai, padahal ini merupakan anak-anak digital native. Menurut Ubaid, tak bisa dipungkiri saat ini masih terjadi kesenjangan antara pembuat kebijakan yang dibuat oleh para digital immigrant.
Selain itu, anak-anak digital native juga terbiasa dengan konsep kehidupan yang instan. Misalnya, untuk urusan makan, dimana makanan kini biasa langsung diantar tanpa mereka harus repot-repot keluar rumah.
Kemudian, dalam urusan mencari informasi. Apabila generasi dulu masih mengenal kamus atau buku pintar, kini semua bisa ditemukan di ujung jari lewat perangkatnya masing-masing.
“Jadi sekolah itu jalan dengan lambat, sementara anak-anak ini lebih cepat. Ada gap yang cukup lebar antara digital native dengan pembuat kebijakan yang masih digital immigrant dan masih gagap,” kata Ubaid.
Menurutnya, sebagai solusi soft skill atau keterampilan untuk anak-anak digital native adalah aspek yang harus diperkuat di tingkat sekolah. Contohnya, critical thinking, problem solving, dan bagaimana melakukan analisis terhadap fenomena sosial yang terjadi.
Termasuk juga, bagaimana memiliki cara pandang terhadap keberagaman seperti memiliki teman yang beragam dan tetangga yang datang dari berbagai kalangan. Mulai dari, beragam agama, budaya, atau bahasa.
Sehingga, anak memiliki kemampuan berkolaborasi dengan siapapun dan mampu bangkit dari masalah. Kemampuan ini, disebut Ubaid, merupakan keterampilan yang penting untuk diperkuat di level sekolah.
Mengingat, sekolah saat ini masih terjebak dalam paradigma lama, dimana para digital migrant membesarkan anak-anak, dengan cara pandang mereka sendiri. Padahal, situasinya sudah berbeda jauh.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.