Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Nostalgia

Sidang Volksraad Pun Dipenuhi Celetukan

Sejak zaman Volksraad, celetukan selama sidang ternyata sudah ada.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Seorang kawan mengingatkan cerita masa lalu mengenai sidang Majelis Perwakilan Kelas (MPK). Saat itu, ia menjadi ketua sidang, harus menghadapi banyak permintaan bicara dari anggota sidang.

Namun, setelah dipersilakan, isi pembicaraannya tidak berbobot. Lalu, sebagai ketua sidang, ia mengingatkan agar setiap yang berbicara tidak dangkal bahasannya.

Lalu, saya menceletuk, “Sungai kali, dangkal.” Peserta sidang pun tertawa, tetapi tidak untuk ketua sidang. Rupanya, celetukan itu tidak berkenan baginya. Begitu istirahat, ia menghampiri saya, menegur saya, bahkan mengajak adu panco.

Waduh, berabe ini, berhadapan dengan teman perempuan yang tidak terima cetelukan. Padahal, celetukan itu dilontarkan agar suasana sidang tidak menjadi kaku karena teguran ketua kepada peserta sidang yang tidak berbobot isi pembicaraannya. Saya menyenangi suasana rapat yang gayeng, tetapi tetap efektif. Saya pun meminta maaf kepadanya.

 
Celetukan yang populer hingga menjadi seperti dongeng adalah celetukan yang muncul ketika Haji Agus Salim berpidato dalam bahasa Melayu pada 1923. 
 
 

Sejak zaman Volksraad, celetukan selama sidang ternyata sudah ada. Disebut menceletuk karena ucapannya dilontarkan tanpa terlebih dulu meminta izin bicara kepada ketua sidang. Celetukan itu keluar menyela pembicara yang sedang berpidato.

Celetukan yang populer hingga menjadi seperti dongeng adalah celetukan yang muncul ketika Haji Agus Salim berpidato dalam bahasa Melayu pada 1923. Agus Salim sengaja menggunakan bahasa Melayu untuk memperluas layanan stenografi dan karena menganggap penggunaan bahasa Melayu di Volksraad bisa meningkatkan persatuan masyarakat pribumi.

Ketika ia berbahasa Melayu itu, ada anggota lain yang menceletuk. Hatta menyebut, anggota itu adalah Bergmeijer, sedangkan PF Dahler yang juga menjadi anggota Volksraad masa itu, tak menyebutkan nama.

photo
Momen pada 10 Juni 1947, ketika Haji Agus Salim selaku ketua misi diplomatik RI di Mesir menandatangani perjanjian persahabatan antara RI dan Mesir. Di sebelah Haji Agus Salim ialah Mahmud Fahmi Nokrasyi Pasya selaku perdana menteri Mesir. Inilah pengakuan de jure pertama bagi RI di dunia internasional - (SLIDEPLAYER)

Celetukannya meminta Salim menunjukkan arti kata economy dalam bahasa Melayu. Itu versi Hatta. Versi Dahler, celetukannya meminta Salim menunjukkan arti kata techniek dalam bahasa Melayu.

Celetukan anggota Belanda itu menjadi persoalan serius, karenanya Salim menanggapi dengan serius pula. Apalagi, bahasa Melayu telah ditetapkan sebagai bahasa resmi di Volksraad selain bahasa Belanda. Salim meminta anggota yang menceletuk itu agar menunjukkannnya dalam bahasa Belanda. Tetapi, anggota Belanda itu tak bisa menunjukkannya.

Tapi rupanya, layanan stenografi tak mencatat isi pidato Salim dalam bahasa Melayu itu. Hal itu terlihat dari surat-surat kabar Belanda menurunkan laporan yang sepihak yang disebut Salim “sebagai tidak melayani kepentingan umum”.

Karenanya, Agus Salim lalu mengirim surat kepada surat-surat kabar Indonesia untuk memuat isi persidangan yang melayani kepentingan rakyat Indonesia. Tetapi, menurut Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 6 Juni 1923, Agus Salim meminta partisipasi dari surat-surat kabar Indonesia dengan biaya 1-2 gulden per 800 kata. Dengan biaya partisipasi itu, kantor berita yang dikelola Salim akan menyediakan laporan itu.

Pada masa itu wartawan yang menghadiri sidang-sidang Volksraad hanya dari surat-surat kabar Belanda. Surat-surat kabar Indonesia mendapatkan berita dari laporan sidang berbahasa Belanda dan atau dari laporan kantor berita Belanda, Aneta.

 
Pada masa itu wartawan yang menghadiri sidang-sidang Volksraad hanya dari surat-surat kabar Belanda.
 
 

Masih pada sidang Volksraad 1923, ketika Agus Salim berbicara tentang pendidikan, ia menuntut kebebasan pendidikan agama. Ia mempersoalkan tindakan para bupati yang menghalang-halangi penyelenggaraan pendidikan agama. Agus Salim juga mempersoalkan posisi bupati yang bukan pemimpin rakyat pribumi, melainkan perpanjangan tangan pemerintah kolonial.

Lalu, Bupati Cirebon Ariadinata pun menceletuk, “Noemt U namen?” (Apakah Anda bisa menyebut nama?)”

Agus Salim pun merespons, “Tidak. Karena itu bukan saya yang melakukannya. Kalau pemerintah mau mengusut, mungkin minggu depan baru tahu.”

Pada sidang Volksraad 1923 itu juga, ketika PF Dahler berbicara soal sekolah-sekolah, ia menyinggung soal pengawasan sekolah yang dilakukan untuk melihat adanya pendidikan politik dan agama atau tidak, bukan untuk melihat kualitas pendidikannya.

Anggota Volksraad, Bergmeijer, seperti dilaporkan Bataviaasch Nieuwsblad edisi 18 Juni 1923, langsung menceletuk, “Itu sama sekali tidak benar.”

Pada waktu Kongres Pemuda Indonesia Kedua, seorang peserta memberi komentar terhadap pidato pembukaan dari ketua panitia yang sekaligus menjadi ketua sidang, Soegondo Djojopoespito. Setelah panjang lebar berbicara, ia menyebut “bendera kemerdekaan Indonesia”.

Serta-merta, polisi yang mengawasi jalannya sidang langsung menceletuk agar sidang tidak menyinggung kata “merdeka”. Sidang menjadi gaduh yang membuat ketua sidang meminta para peserta kongres yang akan berbicara tidak menggunakan kata “kemerdekaan”. “Sebab rapat malam ini bukan rapat politik dan harap tuan-tuan harus tahu sama tahu saja,” kata Soegondo seperti ditulis oleh Darmo Kondo edisi 31 Oktober 1928.

Pada sidang Volksraad 1938, ketika anggota Fraksi Nasional berpidato dalam bahasa Indonesia, seorang anggota Belanda, Piet A Kerstens, menanggapinya bahwa penggunaan bahasa Indonesia itu dijadikan alat untuk menyerang wali negeri.

Thamrin, selaku ketua Fraksi Nasional pun segera menceletuk, menganggap pernyataan anggota Belanda itu sebagai hal yang lucu. Kerstens pun menjawab bahwa penilaiannya itu masih ada sisi baiknya, sehingga ia berharap keesokan harinya Thamrin juga menyampaikan pidato yang baik. Ditimpali oleh Thamrin, seperti diceritakan oleh Soeara Oemoem edisi 13 Juli 1938 bahwa pidatonya akan berisi sebaliknya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ekonomi Global Masih Tertekan

Ketidakpastian ekonomi juga menghantui masa depan negara-negara maju.

SELENGKAPNYA

Menghitung Laju Inflasi

Pemerintah berupaya menekan inflasi di bawah tujuh persen.

SELENGKAPNYA

Haji Veteran

Sejatinya, Kek Vet sudah lama memendam keinginan menunaikan ibadah haji.

SELENGKAPNYA