
Mujadid
KH Sholeh Iskandar, Ulama-Patriot dari Bogor
Kiai Sholeh, pendiri Ponpes Darul Fallah ini memimpin laskar perjuangan pada masa revolusi.
OLEH MUHYIDDIN
Sejarah mencatat, ada banyak tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal dari Bogor. Dan, tidak sedikit dari mereka yang merupakan kelompok alim ulama. Salah satu contohnya adalah KH Sholeh Iskandar.
Bagi sebagian warga daerah Provinsi Jawa Barat itu, penyebutan nama pahlawan tersebut mungkin akan mengingatkan mereka pada sebuah jalan nasional. Penamaan jalan itu memang dimaksudkan untuk mengenang jasa-jasa sang mubaligh yang sekaligus patriot bangsa.
Ada beberapa sumber mengenai latar kelahirannya. Yang pertama menyatakan, KH Sholeh Iskandar lahir pada tanggal 22 Juni 1922 di Kampung Pasarean, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Adapun referensi lainnya, semisal buku biografi Jejak Perjuangan Ulama-Patriot KH Sholeh Iskandar karya Lukman Hakiem, mencatat bahwa sang alim berasal dari Kampung Gunung Handeleum, Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Putra daerah Bogor itu merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Orang tuanya bernama Haji Muhammad Arif dan Hajjah Atun Halimah. Bapak dan ibunya itu membesarkan Sholeh Iskandar serta kakak dan adik-adiknya dengan pola asuh islami. Karena itu, sejak kecil dirinya mengenal dan mencintai ilmu-ilmu agama.
Sholeh Iskandar muda mulai memasuki pesantren sejak menamatkan pendidikan dari sekolah rakyat di Buitenzorg—nama Bogor pada era kolonial. Pondok Pesantren Cangkudu di Serang (Banten) menjadi pilihan pertamanya. Sesudah itu, dirinya meneruskan rihlah intelektual ke Pondok Pesantren Cantayan Sukabumi.
Sholeh Iskandar muda mulai memasuki pesantren sejak menamatkan pendidikan dari sekolah rakyat di Buitenzorg
Sebagai seorang santri, pemuda tersebut tidak hanya berkutat pada kitab-kitab. Ia pun terlibat aktif dalam berbagai perjuangan kebangsaan. Keaktifannya semakin kentara terutama sejak Indonesia mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sholeh bergabung dengan laskar-laskar pejuang, khususnya Hizbullah yang memang telah dipersiapkan pada masa pendudukan Jepang.
Ia ikut serta dalam beberapa perang fisik yang memperhadapkan antara gerilyawan RI dan tentara NICA—pihak yang menghendaki penjajahan kembali Belanda atas Indonesia. Area pertempurannya berpusat di Bogor, termasuk daerah antara Leuwiliang dan Jasinga.
Sholeh bahkan diangkat menjadi komandan tertinggi Batalyon O Siliwangi untuk wilayah Bogor Barat. Beberapa tahun sesudah pengakuan kedaulatan RI, Sholeh menggabungkan laskarnya ke dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat.
Keterlibatannya dengan dunia kemiliteran berawal saat dirinya masih menjadi santri. Ia pertama kali mengikuti pelatihan laskar secara intensif sejak bergabung dengan Barisan Islam Indonesia (BII). Kesatuan itu dibentuk pada tahun 1939 sebagai anak organisasi al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII). Pemimpinnya adalah guru Sholeh Iskandar di Pondok Pesantren Cantayan, yakni KH Ahmad Sanusi.
Keterlibatannya dengan dunia kemiliteran berawal saat dirinya masih menjadi santri.
Sebelumnya, Sholeh saat masih berusia 16 tahun mendirikan organisasi kepemudaan Muslim, yaitu Subbanul Muslimin. Jiwa kepemimpinannya kian terasah sejak saat itu. Karena itu, ketika masuk ke dalam Laskar Hizbullah, dirinya dengan relatif cepat meniti jenjang demi jenjang. Hingga akhirnya, ia tercatat sebagai Komandan Hizbullah untuk wilayah Bogor Barat, yang meliputi Leuwiliang sampai Jasinga.
Pada masa revolusi, Sholeh Iskandar turut dalam pelbagai gerilya untuk mematahkan kekuatan militer musuh. Pada Oktober 1945, ia memimpin Laskar Rakyat Leuwiliang untuk menyergap dan melucuti belasan tentara Jepang di Kracak. Berbagai logistik dan persenjataan pun dapat mereka amankan dari kawasan perkebunan Nirmala Nanggung.
Ia juga mengatur perlawanan terhadap pasukan Inggris dan Belanda yang berpatroli di daerah Ciseeng, Parung, dan Depok, pada masa menjelang Perjanjian Renville. Laskar pimpinan Kiai Sholeh Iskandar juga beberapa kali menyerbu markas pasukan NICA, termasuk yang berada di Kotaparis Bogor dan Loji Sindangbarang. Saat memimpin Batalyon Perjuangan (Baperdju) di Cigudeg, ia dan pengikutnya berhasil mengamankan Desa Nanggung dan Desa Karacak Leuwiliang.
Ia juga mengatur perlawanan terhadap pasukan Inggris dan Belanda yang berpatroli di daerah Ciseeng, Parung, dan Depok
Jasanya yang paling dikenal adalah menghalau pasukan Belanda yang hendak menguasai Bogor. Waktu itu, Sholeh Iskandar memimpin pasukan gerilya Bataliyon Tirtayasa Siliwangi. Berkat taktik yang digunakannya, para pejuang dapat mematahkan mobilisasi musuh.
Kepiawaiannya dalam merumuskan dan menerapkan strategi perang terbukti dengan palagan di Bogor itu. Bahkan, aparat militer Belanda mengakui kehebatan Sholeh Iskandar. Hingga 1950-an, ulama yang aktif di perjuangan bersenjata itu berpangkat mayor. Titel tersebut sudah cukup tinggi karena kepala staf Angkatan Darat saja berpangkat kolonel ketika itu.
Peran Kiai Sholeh dan pasukannya pada masa mempertahankan kedaulatan RI diakui kalangan luas. Jenderal AH Nasution mengenang perjuangan mereka di front Bogor Barat.
Tokoh TNI yang di kemudian hari berbintang lima itu menuturkan, “Kami berkunjung ke Resimen Jayarukmantara Rangkasbitung, kemudian ke front Bogor Barat, di mana Mayor H Dasuki dari Resimen 2 bertanggung jawab. Daerah ini diperkuat oleh pasukan-pasukan asal Hizbullah, yang dipimpin Mayor Sholeh Iskandar.”
Aktif di politik
Di pengujung tahun 1949, RI akhirnya mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda. Sejak saat itu, Mayor KH Sholeh Iskandar merasa tugas kelaskarannya telah usai. Ia pun meneruskan perannya di tengah masyarakat sebagai seorang mubaligh.
Bagaimanapun, sang kiai tidak berlepas tangan akan nasib para anak buahnya. Ia pun mendirikan Persatuan Bekas Anggota Tentara (Perbata) untuk menghimpun orang-orang yang dahulunya terlibat dalam laskar perjuangan. Mereka diarahkan agar turut mendukung pembangunan dan pembinaan negara.
Kiai Sholeh juga pernah menjabat sebagai wakil ketua Gabungan Organisasi-organisasi Perjuangan dan ketua umum Persatuan Pejuang Islam Bekas Bersenjata Seluruh Indonesia. Di samping itu, ia didaulat menjadi salah seorang ketua markas besar Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Andilnya turut mendirikan Yayasan Carya Dharma guna meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota LVRI.
Di luar dunia pendidikan dan sosial, Kiai Sholeh pun terjun di ranah politik.
Di luar dunia pendidikan dan sosial, Kiai Sholeh pun terjun di ranah politik. Waktu itu, Masyumi merupakan satu-satunya partai berideologi Islam di Tanah Air. Ke sanalah ulama karismatik itu mencurahkan pemikiran dan energinya. Bersama dengan sejumlah alim, semisal Mohammad Natsir dan KH Noer Alie, ia menjadi salah seorang pengurus parpol “Bulan Bintang”.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, Kiai Sholeh beberapa kali dipanggil Presiden Sukarno ke Istana Bogor. Bung Karno sempat memintanya agar bersedia menjadi menteri veteran. Akan tetapi, tawaran itu ditolaknya.
Waktu itu, Orde Lama berjarak dengan Partai Masyumi. Salah satu sebabnya, Bung Karno menggagas konsep “Nasionalisme, Agama, dan Komunisme” (Nasakom). Dengan rumusan itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) diberi ruang atau bahkan dirangkul. Padahal, partai tersebut pada 1948 pernah memberontak terhadap pemerintahan yang sah, yakni Dwi Tunggal Sukarno-Hatta.
Tidak bisa didekati, orang-orang Masyumi pun dijadikan sasaran. Kiai Sholeh darat termasuk yang ditangkapi. Ulama ini kemudian dijebloskan ke dalam penjara sebagai tahanan politik selama empat tahun. Semua itu terjadi tanpa proses pengadilan yang terbuka.
Darul Falah
Usai bebas dari status tahanan politik, Kiai Sholeh Iskandar memutuskan untuk lebih banyak bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Pada Juni 1960, ia bersama dengan sejumlah tokoh Islam lainnya mendirikan Pondok Pesantren Pertanian Darul Fallah di Bojong Jengkol, Ciampea, Bogor, Jawa Barat.
Hingga wafatnya pada tahun 1992, Kiai Sholeh merupakan ketua Yayasan Darul Fallah. Secara penamaan, darul fallah berarti “rumah petani” atau ”kampung pertanian". Disebut demikian karena para pendirinya bermaksud menghadirkan sebuah lembaga pendidikan Islam yang tidak hanya mencetak generasi yang berilmu agama, tetapi juga memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang pertanian dan kewirausahaan.
Hingga kini, yayasan tersebut menyelenggarakan pendidikan islami mulai dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Selain Darul Fallah, Kiai Sholeh juga mendirikan Ponpes Darul Muttaqien di Parung, Bogor. Di samping itu, perannya adalah merintis Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor. Institusi itu dibinanya bersama sejumlah tokoh, seperti Dr Marzuki Mahdi dan RSA Karta Djumena pada 1961.
Tidak hanya bidang pendidikan, ia juga terlibat dalam pendirian Rumah Sakit Islam Bogor. Baginya, semua kerja kerasnya itu semata-mata dengan niat ibadah, mengharapkan ridha Allah SWT. Edi Sudrajat dalam buku Bogor Masa Revolusi 1945-1950 menuturkan, sang ulama berkontribusi dalam upaya mengentaskan praktik ketidakadilan yang dirasakan kaum tani.
Atas inisiatifnya, berdirilah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Amanah Ummah. Lembaga keuangan mikro ini diperuntukkan untuk mempermudah akses ekonomi dan permodalan bagi kelompok usaha kecil dan menengah (UKM). Bank tersebut masih bertahan hingga saat ini.
Dalam usia 70 tahun, KH Sholeh Iskandar meninggal dunia. Untuk mengenang jasa-jasanya, pada 1995 pemerintah RI menganugerahkan Bintang Jasa Nararya kepada sang patriot.

Diusulkan Menjadi Pahlawan Nasional
Peran KH Sholeh Iskandar dalam sejarah perjuangan RI tidak bisa dipandang sebelah mata. Sesudah masa revolusi pun, ulama kelahiran Bogor, Jawa Barat, itu juga berkontribusi dalam bidang pendidikan, pertanian, kesehatan, dan ekonomi mikro.
Karena itu, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kabupaten Bogor mengusulkan pemberian gelar pahlawan nasional untuk Kiai Sholeh Iskandar. Pengusulan itu, setidaknya, mencuat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2014.
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor KH Prof Didin Hafidhuddin mengatakan, ada banyak sumbangsih tokoh tersebut untuk kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Untuk menyebutkan beberapa di antaranya, terdapat Ponpes Darul Fallah, RS Islam Bogor, serta Bank Syariah Amanah Ummah.
“Beliau (Kiai Sholeh Iskandar) itu pejuang kemerdekaan dan juga mengisi kemerdekaan untuk kepentingan masyarakat,” ujar Prof Didin kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Beliau (Kiai Sholeh Iskandar) itu pejuang kemerdekaan dan juga mengisi kemerdekaan untuk kepentingan masyarakat.
“Makanya, banyak kalangan, termasuk kami dari UIKA, menginginkan agar KH Sholeh Iskandar mendapatkan gelar pahlawan nasional. Kita berharap supaya usulan itu diterima pemerintah,” sambung mantan ketua umum Baznas Pusat itu.
Anggota tim Peneliti Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kota Bogor, Ending Bahrudin, menjelaskan, pengusulan Kiai Sholeh sebagai pahlawan nasional sudah dilakukan berulang kali. Pihaknya juga sudah melakukan berbagai seminar dan kajian yang melibatkan ahli-ahli terkait.
“Kami sudah melakukan proses melalui tahap awal, misal seminar, kajian ilmiah dari berbagai ahli di kampus UIKA,” jelas Ending.
Di antara kendala-kendala yang dijumpai adalah, belum adanya fasilitas kepada tim pengusul dari pihak pemda setempat. Tim ini bisa berjalan mandiri. Namun, lanjut Ending, pihaknya menghormati Pemkot Bogor. Kolaborasi antara pemerintah daerah dan akademisi diharapkan lancar demi mewujudkan gelar pahlawan nasional untuk KH Sholeh Iskandar.
n ed: hasanul rizqa
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Jaringan Ulama Penyulut Api Perlawanan Kolonial
Melalui jaringan ulama Indonesia itulah api perlawanan terhadap kolonial semakin besar dinyalakan.
SELENGKAPNYATeungku Fakinah: Perempuan, Ulama, dan Panglima
Teungku Fakinah membuat kampanye perang kepada para wanita setelah suaminya gugur dalam perang.
SELENGKAPNYA