Karyawan mengemas kedelai di pabrik tempe murni Muchlar, Bantul, Yogyakarta, Kamis (3/6). Naiknya harga kedelai memaksa produsen memperkecil ukuran tempe agar harga di tingkat konsumen tidak naik. | Wihdan Hidayat / Republika

Opini

Shrinkflation

Bukankah daya beli jauh lebih fundamental dalam mengukur kesejahteraan rakyat?

HARYO KUNCORO, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Setidaknya, dalam tempo tiga bulan berturutan, perekonomian nasional menghadapi tekanan inflasi. Data BPS melaporkan angka inflasi tahunan per Juni tembus 4,35 persen, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang ‘hanya’ 3,35 persen.

Angka itu melesat lagi menjadi 4,94 persen pada Juli 2022. Dipicu lonjakan harga komoditas pangan, seperti cabai, bawang merah, dan ikan segar,  serta harga energi, membuat batas atas sasaran inflasi yang ditoleransi, empat persen pun terlampaui.

Rentetan realisasi laju inflasi di atas, menjadi rekor tertinggi dalam kurun lima tahun terakhir. Kesamaan cerita berlaku pada inflasi inti. Selama periode yang sama, angka inflasi inti 2,58, 2,63, dan 2,86 persen.

Padahal, angka inflasi inti biasanya tetap baik besaran maupun kontribusinya terhadap inflasi umum yang berbasis indeks harga konsumen (IHK). Komparasi dengan inflasi berdasarkan kenaikan relatif indeks harga produsen (IHP) agaknya tak mengubah simpulan awal.

 
Rentetan realisasi laju inflasi di atas, menjadi rekor tertinggi dalam kurun lima tahun terakhir.
 
 

Angka inflasi IHP toh malah sudah naik terlebih dahulu sebelum inflasi IHK menanjak belakangan ini. Angka inflasi manapun yang dirujuk, dia membawa efek buruk pada tenaga atau daya beli, terutama golongan masyarakat berpenghasilan rendah.

Porsi pendapatan kelompok ini lebih banyak teralokasi untuk kebutuhan pangan. Kenaikan harga pangan, menyulitkan mereka memenuhi kebutuhan dasarnya.

Dengan alur logika ini, jumlah penduduk miskin niscaya juga mengalami ‘inflasi’. Bukan hanya mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan tetapi juga masyarakat di sekitar garis kemiskinan. Artinya, penduduk yang tadinya ‘tidak miskin’ bisa turun kelas masuk golongan ‘miskin’.

Kondisi ini potensial meningkatkan jumlah penduduk miskin yang mengacu data per Maret 2022 sudah 26,16 juta orang atau setara 9,54 persen penduduk. Sampai di sini dapat disimak, daya beli dan kemiskinan sangat sensitif terhadap kenaikan harga pangan.

Kenaikan harga pangan mendongkrak inflasi melebihi empat persen, sementara pengeluaran hanya naik dua sampai tiga persen. Selama kenaikan pengeluaran tidak mampu mengejar inflasi, angka kemiskinan sulit turun.

 
Kondisi ini potensial meningkatkan jumlah penduduk miskin yang mengacu data per Maret 2022 sudah 26,16 juta orang atau setara 9,54 persen penduduk. 
 
 

Jika ditelisik lebih lanjut, kondisi ini sejatinya konsekuensi logis dari fokus inflasi yang terpaku pada aspek kuantitatif. Inflasi diukur dari IHK, sedangkan IHK dihitung dari perubahan harga sekeranjang komoditas yang dipantau secara rutin oleh BPS di berbagai kota.

Cara perhitungan di atas, tidaklah keliru dan memang lazim dilakukan banyak negara di dunia.  Kepraktisan dan komparabilitas menjadi alasan umum yang bisa diterima. Namun, di balik argumen itu, termaktub kelemahan sangat mendasar.

Pokok persoalannya, perhitungan angka inflasi sama sekali tak mengalkulasi dimensi kualitas. Contohnya, inflasi IHK tak mampu menangkap fenomena shrinkflation yakni inflasi karena perampingan paket ketika perusahaan mengecilkan produk dan menjual dengan harga sama.

Perampingan ini subur saat inflasi tinggi tatkala perusahaan bergelut dengan kenaikan biaya bahan baku, bahan bakar, pengemasan, tenaga kerja, dan transportasi (Insukindro, 2022).

Kenyataan itu sudah lama ditemui tetapi selama itu pula belum ada upaya konkret mengakomodasinya ke dalam perhitungan inflasi. Sementara, shrinkflation lebih banyak terjadi di komoditas pangan, ia jarang dijumpai pada jenis komoditas nonpangan.

 
Sementara, shrinkflation lebih banyak terjadi di komoditas pangan, ia jarang dijumpai pada jenis komoditas nonpangan.
 
 

Komoditas nonpangan memiliki standar ukuran lebih pasti. Pengurangan takaran, misalnya, niscaya ketahuan dan sangat boleh jadi berbuntut panjang. Di sisi lain, tingkat harga komoditas nonpangan umumnya lebih tinggi.

Kenaikan harga dengan level lebih tinggi menyodorkan angka persentase kenaikan lebih kecil. Bobot kenaikan harga nonpangan yang lebih rendah akan menyumbang pada inflasi yang lebih kecil pula. Intinya, inflasi jadi bias.

Biasnya inflasi berimplikasi tidak ringan bagi kebijakan. Inflasi bertautan, misalnya, dengan upah minimum provinsi (UMP). Kenaikan UMP yang mengacu pada inflasi yang terlalu rendah, bisa menggulung daya beli buruh.

Rendahnya kenaikan UMP di tengah inflasi yang sudah tinggi juga menghambat pemulihan ekonomi. Alhasil, penyesuaian ulang terhadap inflasi dengan memasukkan shrinkflation pangan, tampaknya perlu dilakukan.

Perlakuan pada shrinkflation tidak untuk ‘membonsai’ inflasi. Sebaliknya, inflasi setelah ada komponen shrinkflation lebih ‘pahit’ dari angka sebelumnya. Akhirnya, kalkulasi shrinkflation menjamin hasil perhitungan daya beli dan tingkat kemiskinan lebih realistis.

Kebijakan yang diramu pun akan efektif sesuai kondisi riil di lapangan. Bukankah daya beli jauh lebih fundamental dalam mengukur kesejahteraan rakyat? 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat