Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Transaksi Online Kemudian Dibatalkan

Transaksi kedua belah pihak itu tidak didasarkan oleh tawar-menawar harga dan barang.

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia 

Assalamu'alaikum Wr Wb.

Saat kita bertransaksi melalui platform tertentu, seperti e-commerce, e-money, atau platform sejenisnya, kita membatalkan pesanan yang sudah masuk list, tetapi belum di-checkout atau mengeklik oke. Apakah itu boleh atau tidak? Jika kita sudah bertransaksi (sudah checkout atau klik oke), kemudian kita membatalkannya, bagaimana menurut pandangan syariah? Mohon penjelasan, Ustaz. -- Dimas, Lampung

Wa’alaikumussalam Wr Wb.

Jika menelaah perjanjian yang memuat klausul pembatalan dalam beberapa transaksi daring, maka bisa dipilah menjadi dua.

Pertama, (1) yang memungkinkan konsumen membatalkan, di antaranya contoh perusahaan A. Pesanan dibatalkan apabila penjual menolak pesanan, melebihi batas waktu pembayaran setelah proses checkout, penjual tidak merespons pesanan dalam waktu 1×24 jam terhitung sejak pembayaran diverifikasi, penjual tidak memasukkan nomor resi dalam waktu 2×24 jam atau (H+2) terhitung sejak pembayaran diverifikasi, dan dana yang ditransfer berbeda dengan total belanja pada invoice. Apabila transaksi dibatalkan, dana pembayaran akan dikembalikan sesuai dengan metode pembayaran yang digunakan.  

(2) Yang tidak memungkinkan pembatalan, di antaranya dalam perusahaan B, yaitu pesanan bisa dibatalkan sebelum pihak restoran mengonfirmasi pesanan (pesanan belum dibuat). Order yang masuk ke restoran terkait tidak akan dapat dibatalkan karena alasan pesanan langsung dibuat oleh restoran setelah dikonfirmasi. Tetap ada cara lain untuk membatalkan pesanan dengan alasan tertentu melalui pusat bantuan platform tersebut.

Jika merujuk pada tuntunan syariah seputar pembatalan, bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, jika belum bertransaksi (belum ijab kabul), para pihak boleh membatalkan perjanjian. Misalnya, pesan makanan atau produk tertentu melalui e-commerce atau platform lain, tetapi belum sepakat harga dan belum klik oke, maka ia boleh membatalkan. Misalnya, si A mau membeli ponsel di marketplace B.

Setelah melihat barang, ia setuju dengan salah satunya kemudian mengeklik pembelian dan memilih metode pembayaran. Akan tetapi, sebelum mentransfer, ia mengurungkan niat untuk membeli dan membatalkannya, maka pembatalan tersebut dibolehkan.

Kedua, jika sudah bertransaksi (sudah ijab kabul), tidak boleh membatalkan perjanjian, kecuali dengan persetujuan mitra atau pihak lain. Jual beli itu akad yang mengikat (lazim), di mana salah satu pihak tidak boleh membatalkan perjanjian kecuali dengan persetujuan pihak lain. Seperti si A memesan dan membeli makanan melalui aplikasi transportasi online. Setelah memilih menu dan sepakat dengan harga kemudian kedua belah pihak menyetujuinya, maka transaksi sudah terjadi dan tidak boleh dibatalkan.

Ketiga, jika ada pembatalan,  transaksinya menjadi batal (bubar/infisakh) sehingga seperti tidak ada akad yang mengikat kedua belah pihak. Pada saat transaksi dibatalkan, hak masing-masing itu dikembalikan. Apabila ada kerugian akibat pembatalan tersebut, pihak yang melakukan dan mengakibatkan kerugian itu harus mengganti sebesar real cost merujuk kepada fatwa DSN MUI Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh).

Selanjutnya, beberapa konsekuensi akad, seperti barang yang masih dalam tahap pengiriman dan uang yang sudah ditransfer, itu harus dihitung ulang dan diberikan ganti rugi jika ada sehingga semaksimal mungkin para pihak itu tidak terzalimi (diperlakukan secara adil).

Keempat, seperti apa mekanisme pembatalan beserta konsekuensinya, diatur dalam klausul perjanjian platform online, seperti apa saja kondisi yang memungkinkan konsumen membatalkan dan tidak boleh membatalkan.

Saat terjadi pembatalan, mana saja kondisi yang kerugian riilnya ditanggung oleh konsumen atau pihak penjual. Semua mekanisme tersebut merujuk pada tuntunan syariah seputar pembagian kerugian, khiyar, dan komitmen dengan perjanjian serta merujuk pada asas pemenuhan hak kedua belah pihak semaksimal mungkin serta perlindungan konsumen.

Transaksi kedua belah pihak itu tidak didasarkan oleh tawar-menawar harga dan barang, tetapi mutlak kebijakan penjual atau penyedia platform yang harus disetujui oleh konsumen yang menggunakan skema idz'an.

Maka, tuntunan syariah tersebut terealisasi atau tidak itu sangat bergantung pada isi platform tersebut. Oleh karena itu, pada akhirnya tuntunan syariah ini harus memilih perusahaan dan platform mana yang menjadi mitra transaksi. Wallahu a'lam.

Airlangga: Pemerintah bakal evaluasi tiket kawasan Pulau Kom

Makanya ngobrol

SELENGKAPNYA

HK Optimistis Capai Target Kontrak Baru 

Nilai investasi pada proyek Tol Pekanbaru-Padang mencapai Rp 80,41 triliun.

SELENGKAPNYA

Alan Sastra Ginting dan Tentang Ketangguhan Mental

Atlet-atlet penyandang disabilitas sering dilabeli predikat superhuman atau manusia super.

SELENGKAPNYA