IMAN SUGEMA | Daan Yahya | Republika

Analisis

Semua Salah Rusia

Kalau saja kita paham sedikit prinsip dasar kebijakan ekonomi, tentunya teman saya tak perlu menyalahkan Rusia.

Oleh IMAN SUGEMA

OLEH IMAN SUGEMA

Dalam kasus reshuffle menteri Rabu ( 15/6) lalu, salah satu teman saya begitu bersemangatnya menimpakan kesalahan kepada Rusia. Menurut dia, kalau bukan karena perang Rusia versus Ukraina maka tidak akan ada kenaikan harga komoditas di pasar internasional. Tidak akan ada pula kisruh minyak goreng di dalam negeri.

Kelihatannya sih argument seperti ini logis. Tetapi dilain pihak banyak missing link yang tidak terungkap. 

Bagi masyarakat awam seperti kita tidaklah penting apakah reshuffle kemarin itu terkait dengan Rusia atau tidak. Memang betul bahwa harga energi dan pangan meroket setelah serangan Rusia ke Ukraina.

Akan tetapi perlu diingat bahwa kenaikan harga CPO dan migas bukanlah fenomena baru. Kita sudah berkali-kali mengalami lonjakan harga komoditas dunia. Sebagai argument awal, saya hendak mengatakan bahwa kisruh minyak goreng dan CPO adalah murni kegagalan kita dalam merespon situasi global. Berikut adalah uraian logisnya.

Kita mulai dengan mengkontraskan antara BBM dan minyak goreng yang sama-sama harganya ditentukan oleh keseimbangan pasar dunia dan sama-sama dibutuhkan masyarakat luas.  Dalam hal BBM kita bisa melakukan berbagai penyesuaian hampir tanpa riak.  Tetapi mengapa untuk urusan minyak goreng kita malah gagap?

 
Dalam kasus BBM, kita sudah memiliki Pertamina yang melakukan monopoli distribusi BBM di dalam negeri. Untuk minyak goreng dan CPO kita memiliki apa? Tidak ada sama sekali.
 
 

Jawabannya ada pada kapasitas kelembagaan (institutional capacity) dan langkah kebijakan (policy measure) yang diterapkan.  Intinya, kalau kita hendak menerapkan sebuah kebijakan maka kita harus menyiapkan kelembagaan yang sanggup untuk menjalankan dan menegakan kebijakan tersebut.  Sebagus apapun perumusan kebijakan, akan menjadi sia-sia saja jika tanpa dilengkapi penyiapan kelembagaannya.

Dalam kasus BBM, kita sudah memiliki Pertamina yang melakukan monopoli distribusi BBM di dalam negeri. Untuk minyak goreng dan CPO kita memiliki apa? Tidak ada sama sekali. Kalau tidak ada, maka perumusan kebijakan harus dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar yang terkandung pada teori ekonomi. Tanpa itu maka kita harus mengandalkan politik injak kaki. Persoalannya, konglomerat mana yang bersedia diinjak-injak?  Kemudian siapa yang ditugaskan untuk menginjak?

Kita mulai dengan kejadian di awal kisruh sebagai contoh betapa kacaunya cara kita merumuskan kebijakan. Pemerintah merespon kenaikan harga minyak goreng dengan cara menetapkan harga eceran tertinggi yang berlaku tunggal baik untuk minyak goreng curah dan kemasan.

Dalam kamus ilmu ekonomi, pemerintah memberlakukan kebijakan harga maksimum. Teori tentang harga maksimum biasanya diperkenalkan pada mahasiswa semester satu atau dua.  Jadi fenomena yang menyertainya pasti secara mudah untuk difahami oleh para mahasiswa dan bahkan masyarakat umum sekalipun.

Jika kita memberlakukan harga maksimum, teori ekonomi bilang bahwa yang akan terjadi adalah excess demand atau kelebihan permintaan. Produsen hanya mau menyediakan minyak goreng dalam jumlah yang terbatas sehingga tidak semua permintaan akan terpenuhi. Secara teoritis, kelangkaan minyak goreng seharusnya bisa diantisipasi dengan baik. Kelangkaan adalah konsekuensi logis dari kebijakan harga maksimum.

 
Jika kita memberlakukan harga maksimum, teori ekonomi bilang bahwa yang akan terjadi adalah excess demand atau kelebihan permintaan.
 
 

Bagaimana agar kelangkaan itu tidak terjadi?  Teori mengatakan bahwa pemerintah harus melakukan operasi pasar untuk menutup kelebihan permintaan tersebut. Apakah waktu itu pemerintah memiliki stok minyak goreng yang cukup untuk memenuhi permintaan masyarakat?

Jawaban pemerintah dan para politisi tentang hal ini sungguh lucu.  Katanya, berdasarkan perhitungan di atas kertas pasokan di dalam negeri mestinya mencukupi karena produksi jauh di atas permintaan ekspor. Katanya lagi, kelangkaan merupakan ulah dari para penimbun yang tidak setia terhadap kepentingan negara.

Lha, itu kan argumen dan hitungan yang sama sekali tanpa dilandasi oleh teori ekonomi. Kita sebagai ekonom seringkali mengejeknya sebagai kebijakan yang ateoretis. Karenanya kebijakan seperti itu pasti dijamin gagal. Jangan sekali-kali menciptakan terobosan yang ateoretis.

Teori bilang bahwa agar sebuah kebijakan harga maksimum dapat secara efektif diimplementasikan maka pemerintah berkewajiban untuk menutup kelebihan permintaan. Kelangkaan merupakan akibat dari ketidakmampuan menutupi kekurangan pasokan.

Untuk itu pemerintah harus manajemen stok yang memadai. Stok itu harus dikuasai secara fisik. Bukan hitungan di atas kertas. Tanpa itu pasti gagal.

Dari uraian tersebut kita bisa mengambil pelajaran bahwa dalam situasi seperti sekarang ini, perumusan kebijakan di bidang perdagangan khususnya dan pembangunan pada umumnya, seyogianya dikembalikan pada prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam teori ekonomi.

Kegagalan dalam memahami teori, merupakan awal dari kegagalan kebijakan yang sangat memalukan. Kalau saja kita mau paham sedikit saja tentang prinsip dasar kebijakan ekonomi, tentunya teman saya tak perlu menyalahkan Rusia sebagai kambing hitam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Harmonis Berkat Keterbukaan Finansial

Idealnya tiap pasangan suami istri menerapkan transparansi finansial.

SELENGKAPNYA

Jakarta pada Masa Perang Dunia II

Ketika PD II Belanda banyak menangkap warga Jerman di Indonesia dan ‘dibuang’ ke Pulau Onrust di Kepulauan Seribu.

SELENGKAPNYA

Hilangnya Sawah Kami

Lahan pertanian pangan Indonesia, terutama sawah, sejak lama menghadapi tekanan alih fungsi lahan yang masif.

SELENGKAPNYA