Kisah Mancanegara
19 Anak Tewas, AS Masih Perdebatkan Aturan Senjata
Kebanyakan orang Amerika mendukung undang-undang senjata yang lebih ketat.
WASHINGTON -- Aksi teror dilakukan seorang remaja bernama Salvador Ramos di Sekolah Dasar Robb, Uvalde, Texas, Amerika Serikat, Selasa (24/5) pagi waktu setempat. Penembakan oleh remaja berusia 18 tahun ini menewaskan 19 anak-anak dan dua guru.
Peristiwa itu membuat perdebatan mengenai kepemilikan senjata di AS kembali memanas. Ramos diketahui sempat menuliskan rencana aksinya di media sosial Facebook.
Gubernur Texas Greg Abbott dalam konferensi pers pada Rabu (25/5) mengungkapkan, Ramos menulis pesan pribadi di Facebook pada 30 menit sebelum melancarkan aksinya. “Remaja itu menulis bahwa dia telah menembak neneknya dan akan menembak sebuah sekolah dasar,” kata Abbott, seperti dikutip dari laman DW, Kamis (26/5).
Nama-nama korban yang meninggal akibat serangan tersebut mulai muncul sejak Rabu malam waktu setempat. Seorang kerabat korban, Lisa Garza (54 tahun), dari Arlington, Texas, sangat berduka atas kematian sepupunya, Xavier Javier Lopez (10 tahun), yang menjadi salah satu korban penembakan. “Tidak menyangka tragedi ini akan terjadi," katanya.
Garza menyayangkan peraturan kepemilikan senjata yang cukup longgar di negaranya. Menurut dia, perlu ada batasan yang lebih ketat, terutama jika orang yang memilikinya punya masalah dan mereka hanya ingin menyakiti orang.
Menurut laporan CNN, perwakilan dari Departemen Keamanan Publik Texas, Letnan Christopher Olivarez, mengungkapkan bahwa semua korban meninggal berada di ruang kelas empat. Kelas itu menjadi tempat penembak yang membarikade dirinya sendiri dan melepaskan tembakan ke anak-anak serta guru.
Salvador Ramos diketahui telah menembak neneknya di rumah sebelum merusak mobil di luar Sekolah Dasar Robb. Dia kemudian berlari ke sekolah dan mulai menembak, menurut Senator Negara Bagian Texas Roland Gutierrez.
Peristiwa penembakan kali ini memicu perdebatan nasional mengenai aturan kepemilikan senjata. Kubu Demokrat yang setuju dengan pembatasan akses ketersediaan senjata api kerap berdebat dengan kubu Republik. Kubu Republik berpendapat senjata api bukan akar penyebab penembakan massal. Hak untuk memanggul senjata juga dilindungi oleh Konstitusi AS.
Presiden Joe Biden mengatakan, hak konstitusional untuk memiliki senjata "tidak mutlak" dan tidak pernah ada. Biden menyerukan agar ada pembatasan baru pada pembelian dan kepemilikan senjata.
Hal itu mengacu pada amendemen konstitusi yang memberi hak kepada orang Amerika dalam pembelian senjata. "Amendemen Kedua tidak mutlak. Ketika disahkan, Anda tidak dapat memiliki senjata tertentu. Ada batasan," ujar Biden.
Undang-undang tersebut merupakan bagian dari Bill of Rights 1791 yang menyatakan, "Milisi yang diatur dengan baik, yang diperlukan untuk keamanan Negara yang bebas, hak rakyat untuk memiliki dan membawa senjata, tidak boleh dilanggar."
Biden mengkritik National Rifle Association atau lobi senjata yang kuat di AS yang menentang upaya pemberlakuan peraturan yang lebih kuat terhadap industri senjata. "Di mana keberanian untuk berdiri di lobi yang sangat kuat?" ujar Biden.
Biden mendesak Senat AS untuk segera mengonfirmasi Steven Dettelbach, kandidat kepala Biro Alkohol Tembakau Senjata Api dan Bahan Peledak. Dettelbach memiliki misi untuk menegakkan undang-undang senjata AS.
Dettelbach, yang merupakan mantan pengacara AS dari Ohio ini muncul di sidang konfirmasi Senat AS pada Rabu (25/5).
Juru Bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan, Biro Alkohol Tembakau Senjata Api dan Bahan Peledak sangat memerlukan seorang pemimpin yang berpengalaman setelah posisi itu tujuh tahun kosong. Jean-Pierre mencatat, Biro Alkohol Tembakau Senjata Api dan Bahan Peledak mempunyai peran kunci dalam menyelidiki penembakan di Buffalo dan Uvalde.
"Dengan kekerasan senjata setiap hari yang mengganggu terlalu banyak komunitas kita, sekaranglah waktunya untuk memberikan kepemimpinan kepada Biro Alkohol Tembakau Senjata Api dan Bahan Peledak untuk menegakkan undang-undang senjata kita dan membuat komunitas kita lebih aman," kata Jean-Pierre.
Partai Demokrat dan Partai Republik di Senat membahas pengetatan terhadap tinjauan pembeli senjata. Pembahasan itu berlangsung setelah insiden penembakan di Sekolah Dasar Robb. Kejadian itu adalah penembakan paling mematikan dalam hampir satu dekade.
Langkah pengendalian senjata kemungkinan tidak akan berhasil di Kongres AS. Upaya tersebut juga menemui kendala di sebagian besar negara bagian. Mayoritas negara bagian yang dikuasai Demokrat tidak mengambil tindakan terhadap pengendalian senjata dalam beberapa tahun terakhir atau telah bergerak agresif untuk memperluas hak kepemilikan senjata.
Hal itu karena mereka dikendalikan secara politis oleh Partai Republik yang menentang pembatasan senjata atau terpecah secara politik yang mengarah ke jalan buntu.
Setelah penembakan di SD Robb, anggota parlemen Demokrat di seluruh negeri mengeluarkan permohonan kepada Kongres dan legislatif untuk meloloskan aturan pembatasan senjata. Sementara itu, anggota Partai Republik sebagian besar menyerukan lebih banyak upaya untuk mengatasi kesehatan mental dan perlindungan di sekolah, seperti menambah penjaga keamanan.
Gubernur Texas Greg Abbott telah berulang kali berbicara tentang perjuangan kesehatan mental di kalangan anak muda. Dia mengatakan, undang-undang senjata yang lebih ketat, seperti di New York dan Kalifornia, tidak efektif.
Di tempat lain, Gubernur Wisconsin Tony Evers telah berulang kali bentrok dengan legislatif yang dikendalikan Republik ketika membahas undang-undang senjata. Dia menyerukan pengesahan aturan pemeriksaan latar belakang universal dan undang-undang "bendera merah", tapi seruan itu diabaikan Partai Republik.
"Kami tidak dapat menerima bahwa kekerasan senjata terjadi begitu saja. Kami tidak dapat menerima bahwa anak-anak mungkin pergi ke sekolah dan tidak pernah pulang. Kami tidak dapat menerima penolakan langsung dari pejabat terpilih untuk bertindak," ujar Evers.
Lebih ketat
Kebanyakan orang Amerika mendukung undang-undang senjata yang lebih ketat. Namun, mereka pesimistis anggota parlemen akan mengambil tindakan.
Menurut jajak pendapat Reuters/Ipsos yang dirilis pada Rabu (25/5), dari 940 orang Amerika, sekitar 84 persen responden mendukung pemeriksaan latar belakang untuk semua penjualan senjata api.
Sebanyak 70 persen mengatakan, mereka mendukung undang-undang yang memungkinkan pihak berwenang menyita senjata dari orang-orang yang dianggap mengancam keselamatan publik. Sebanyak 72 persen mendukung usulan menaikkan batas usia untuk membeli senjata dari 18 tahun menjadi 21 tahun.
Kebijakan tersebut didukung oleh mayoritas luas Partai Republik dan Demokrat. Namun, kebanyakan responden pesimistis Kongres akan bertindak. Hanya 35 persen yang yakin anggota parlemen AS akan memperkuat undang-undang senjata pada tahun ini. Sebanyak 49 persen responden mengaku tidak yakin parlemen AS akan mengambil tindakan.
Sekitar 65 persen responden mengatakan, Amerika mencatatkan banyak insiden penembakan massal karena kepemilikan senjata api sangat mudah. Namun, survei menemukan, orang Amerika lebih terbagi oleh kebijakan yang sudah ada di banyak negara bagian, yang menjadikan senjata sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Texas memiliki beberapa undang-undang yang paling ramah senjata di AS. Texas telah menjadi lokasi dari beberapa penembakan paling mematikan di AS selama lima tahun terakhir.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Mati dalam Keadaan Fitrah
Dari Allah fitrah dan hendaknya kembali kepada Allah dalam keadaan fitrah. Bersih semua.
SELENGKAPNYABagaimana Hukum Kerja Sama Pengelolaan Tanah untuk Pertanian
Para ulama berbeda pendapat tentang tentang hukum muzaraah atau mukharabah
SELENGKAPNYA135 Tahun Sherloc Holmes
Publikasi tahun 1949 menyatakan warga London begitu putus asa setelah mendengar berita kematian Holmes.
SELENGKAPNYA