Opini
Bahagia tanpa Flexing
Salah satu tujuan manusia meniti kehidupan di dunia ini adalah meraih kebahagiaan.
JUSUF IRIANTO, Guru Besar Manajemen SDM FISIP Universitas Airlangga dan Pengurus MUI Jawa Timur
Salah satu tujuan manusia meniti kehidupan di dunia ini adalah meraih kebahagiaan. Pemerintah di berbagai negara berupaya untuk meningkatkan status warganya, tidak sekadar sejahtera, tetapi juga bahagia.
Pada awal 2022, World Happiness Report (WHR) merilis urutan negara paling bahagia. Berdasar perbaikan data 2021, Finlandia dan beberapa negara Skandinavia lainnya tetap menempati urutan atas.
Dipublikasikan Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB, WHR mengacu data survei global dari masyarakat di 146 negara. Indonesia posisi ke-87 dengan skor 5.240
Menarik dicatat, kategori kebahagiaan versi WHR diukur dari PDB/kapita, social support, harapan hidup sehat, bebas menentukan pilihan hidup, kemurahan hati masyarakat, dan tingkat korupsi internal ataupun eksternal.
Namun, kebahagiaan sejatinya tak sekadar dideterminasi masalah ekonomi. Kebahagiaan harus dipandang secara holistik melibatkan berbagai faktor pendukung nonmateri.
Kondisi di Indonesia belum mendukung warga sepenuhnya merengkuh status paling bahagia. Kasus korupsi merajalela membuat banyak kalangan mengelus dada. Sementara itu, ketidakadilan ekonomi tumbuh subur akibat ulah segelintir orang.
Pandemi Covid-19 yang menghantam perekonomian juga dituding jadi penyebab kesedihan masyarakat. Banyak orang pilu karena kehilangan pekerjaan dan menghadapi ketidakpastian pendapatan, sementara kebutuhan ekonomi semakin mendesak untuk dipenuhi.
Namun, kebahagiaan sejatinya tak sekadar dideterminasi masalah ekonomi. Kebahagiaan harus dipandang secara holistik melibatkan berbagai faktor pendukung nonmateri.
Kebahagiaan sejati bersumber dari kemampuan manusia memberi makna hidup dan keyakinan berbasis kedalaman nilai. Banyak orang cemas berakhir kesedihan karena memaknai hidup sekadar dari kesuksesan materi finansial, profesi, atau ukuran dangkal lainnya.
Silaturahim secara intensif dengan kerabat, tetangga, atau relasi kerja merupakan faktor pendorong kebahagiaan.
Karena itu, kebahagiaan harus dirumuskan secara definitif sebagai status yang tidak hanya bersumber dari faktor material, tetapi juga sosial. Banyak fakta menunjukkan, status kebahagiaan dapat diraih sekadar menjalin hubungan sosial yang seimbang.
Silaturahim secara intensif dengan kerabat, tetangga, atau relasi kerja merupakan faktor pendorong kebahagiaan. Hubungan harmonis antara suami-istri dengan anggota keluarga inti pun tak boleh dilupakan jika ingin meraih kebahagiaan sejati.
Di samping itu, kebahagiaan harus diartikulasikan sebagai status, yakni kesehatan dan pendidikan merupakan kondisi yang sengaja dibangun pemerintah untuk warga. Dengan kondisi sehat jasmani-rohani dan kemudahan akses pendidikan warga bisa melepas cemas.
Pemerintah harus memfasilitasi layanan yang membahagiakan warganya. Belajar dari Finlandia, negara paling bahagia di dunia, pemerintah harus mampu memberi layanan kesehatan/pendidikan terbaik.
Dalam situasi pandemi global, meski tanpa koordinasi, terjadi peningkatan signifikan kegiatan kemanusiaan tanpa ada kesan pamer.
Pemerintah Finlandia membangun fasilitas bermodalkan hasil pajak. Penyediaan layanan kesehatan/pendidikan tidak sekadar terkait isu ekonomi dan gugur kewajiban pemerintah, tetapi lebih pada penyelesaian masalah moral.
Sistem jaminan sosial harus diperjelas dan kontributif menjamin kesejahteraan warga sejak lahir hingga menjelang ajal. Di Finlandia, masyarakat memperoleh hak dari pajak yang dibayarkannya dalam berbagai bentuk tunjangan pemerintah.
Selain peran penting pemerintah, WHR menekankan nilai kemanusiaan berupa kebajikan sebagai key finding. Dalam situasi pandemi global, meski tanpa koordinasi, terjadi peningkatan signifikan kegiatan kemanusiaan tanpa ada kesan pamer.
Flexing
Kini di Tanah Air viral istilah ‘flexing’, yakni pamer harta atau materi lain secara berlebihan. Sebagian menganggap pamer kekayaan sebagai metode berbagi kebahagiaan. Anggapan ini ditepis justru sebagai perilaku mendapat atensi pihak lain.
Di balik flexing adalah kepalsuan. Pada suatu saat, pelaku memamerkan jam di pergelangan tangan berharga supermahal, ternyata palsu.
Di berbagai media, tampil figur influencer pamer harta mengenakan busana bermerek dan mahal, makan di resto mewah, atau liburan ke mancanegara. Ini fenomena yang harus dinilai sebagai perilaku menyimpang (deviant behaviour).
Menyimpang karena flexing sama sekali tak mengandung nilai kebajikan. Justru mungkin memunculkan kecemburuan sosial. Tak ada unsur kemanusiaan untuk saling membantu di tengah impitan ekonomi.
Di balik flexing adalah kepalsuan. Pada suatu saat, pelaku memamerkan jam di pergelangan tangan berharga supermahal, ternyata palsu. Ada pula yang pamer duit berlimpah, tetapi digunakan untuk penipuan menawarkan investasi bodong.
Secara psikologis, pamer harta tak melulu disampaikan secara terbuka alias terselubung, yakni “humble bragging” sebagai paradoks antara perkataan dan intensi. Tujuannya sekadar dipuji dan diakui pihak lain.
Humble bragging terkesan rendah hati. Namun, di balik itu ada niat menyombongkan diri dan cenderung menipu. Ini berbeda dengan karakter orang kaya yang tenang dan tak berisik. Kebahagiaan sejati tak harus pamer dan berharap pujian. n
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.