Tajuk
Kepemimpinan dan Minyak Goreng
Industri dan pemerintah, harus mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kelompoknya.
Gelaran MotoGP di Mandalika usai. Pada Senin, sejumlah pembalap dan tim berkemas untuk kembali ke markas di negara masing-masing. Gelaran balapan sukses di tengah hujan dan disertai ‘gimmick’ pawang hujan perempuan.
Warga Nusa Tenggara Barat terutama Kuta Mandalika pastinya mendapat rezeki dengan berputarnya perekonomian lokal. Sekarang, semua bisa kembali ke persoalan riil yang belum bisa dituntaskan: Harga minyak goreng.
Sejak awal persoalan migor bukanlah persoalan stok yang menghilang. Stok migor sepanjang Januari-Februari, saat krisis migor lokal bermula relatif normal, baik itu di pasar tradisional maupun ritel. Namun, kemudian harganya mulai dikerek naik. Paketan migor dua liter di ritel modern dalam dua pekan melompat dari di bawah Rp 30 ribu menjadi di atas Rp 40 ribu.
Mengapa harga saat itu naik? Produsen berdalih, harga crude palm oil (CPO), bahan baku migor, di pasar internasional yang ditentukan di Belanda memang naik. Mereka berdalih pasokan dan stok agak jomplang. Tanpa diketahui dengan pasti apa penyebab riil yang mengerek harga CPO itu.
Persoalannya, tampaknya kebijakan HET ini tidak diikuti dengan kebijakan lanjutan bagi produsen migor.
Kemendag turun tangan membuat sejumlah formulasi kebijakan untuk menekan harga migor di pasar bebas, dengan membuat harga eceran tertinggi (HET) per liter menjadi Rp 14 ribu. Respons Kemendag sudah tepat. Pemerintah intervensi ke pasar. Persoalannya, tampaknya kebijakan HET ini tidak diikuti dengan kebijakan lanjutan bagi produsen migor.
Pada saat ini, stok migor mulai berkurang. Siapa yang memiliki kemampuan dan jejaring untuk menahan dan menarik stok dari rak ritel modern? Hanya produsen, distributor, dan pihak toko yang tahu.
Kemendag sigap menggelar berbagai pasar murah. Terjadi antrean di mana-mana. Sejumlah parpol pun ikut menggelar pasar murah migor. Di Kalimantan Timur, seorang ibu meninggal dunia karena terlalu lama mengantre. Media sosial penuh dengan cuplikan video pendek, bagaimana emak-emak sampai nenek-nenek berjam-jam antre membeli migor murah.
Sepanjang Februari-Maret ini, kita tidak tahu sejauh mana komunikasi kebijakan Kemendag kepada para pelaku industri CPO dan migor. Namun dari efeknya, yakni migor benar-benar menghilang, kita bisa menebak tampaknya ada yang buntu antara pemerintah dan industri migor.
Pemerintah tidak bisa membuat industri menaati dan memahami kebijakannya yang memihak rakyat. Sampai akhirnya, ketika Presiden Joko Widodo mengatakan, akan mengambil alih persoalan migor dengan rapat di Istana, kemudian kebijakan HET itu dicabut.
Tapi, kita harus menerima ironi bahwa dalam persoalan migor ini, rakyatlah yang dikalahkan. Oleh pemimpinnya sendiri.
Ajaibnya, sehari kemudian migor kemasan dua liter memenuhi rak-rak toko ritel modern dan pasar tradisional. Siapa yang bisa memasok begitu cepat migor? Kembali lagi, itu adalah produsen, distributor, dan pihak toko. Lalu di mana peran mafia migor, seperti yang disebut aparat dan Kemendag? Tidak pernah terungkap.
Persoalan migor seolah tuntas karena stok migor kembali. Padahal tidak! Ingat, persoalan awal migor adalah harga yang mahal, yang minta diintervensi oleh pemerintah. Kini, setelah HET dicabut, harga tetap kembali saat Februari, di atas Rp 40 ribu.
Pemerintah berupaya intervensi di pasar migor curah, yang sebetulnya bukan masalah awal migor ini. Industri menyatakan, persoalan migor tidak bisa diintervensi dan seharusnya dilepas dengan harga pasar. Kelompok bisnis kapitalis ini mungkin lupa pemerintah punya kewajiban untuk melindungi rakyatnya, termasuk dari aksi ‘sandera migor’ yang terjadi beberapa pekan terakhir ini.
Sayangnya, kita tidak melihat ada kepemimpinan yang tegas dari pemerintah untuk memihak rakyat dalam hal migor ini. Begitu beleid HET dicabut, kita tahu bahwa pemerintah menyerah dan membiarkan industri mengatur hajat hidup orang banyak. Seharusnya, pemerintah tegas terhadap industri.
Berikan opsi lain untuk mengatur sementara HET, sampai harga CPO normal atau di ekuilibrium baru. Industri harus tunduk kepada pemerintah. Bukan sebaliknya. Dua-duanya, industri dan pemerintah, harusnya mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompoknya.
Kita bisa berdebat, apakah migor termasuk hal strategis atau tidak. Tapi, kita harus menerima ironi bahwa dalam persoalan migor ini, rakyatlah yang dikalahkan. Oleh pemimpinnya sendiri.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Minyak Goreng Curah di Atas HET Masih Ditemukan
Pengusaha kecil mulai mengeluhkan harga dan kelangkaan minyak goreng curah.
SELENGKAPNYAModifikasi Cuaca: Sains, Agama, dan Kearifan Lokal
Kearifan lokal terkait solusi persoalan kehidupan sering dihadapkan pada sains dan teknologi modern.
SELENGKAPNYA