Siswa Muslim India memegang poster dalam unjuk rasa melawan pelarangan hijab di New Delhi, India, Selasa (8/2/2022). | AP Photo/Altaf Qadri

Kisah Mancanegara

Larangan Berhijab yang Merenggut Identitas Aliya

Muslim India khawatir hak mereka terpinggirkan sebagai minoritas.

OLEH LINTAR SATRIA, DWINA AGUSTIN

“Ini tidak hanya selembar kain,” kata Aliya merujuk pada hijab yang dikenakannya saat mengunjungi rumah temannya, dilansir AP News, Selasa (15/3).

Aliya Assadi memakai hijab dalam kompetisi karate mewakili Negara Bagian Karnataka di bagian barat daya India saat masih berusia 12 tahun. Ia meraih medali emas ketika itu. Lima tahun kemudian, ia mencoba memakainya di sekolah menengah atas. Namun, ia tak berhasil melewati gerbang sekolah karena peraturan baru melarang penutup kepala.

Ia memakai nikab atau cadar yang menutupi seluruh bagian wajahnya kecuali mata. Aliya tak pernah melepaskannya bila keluar rumah. “Karena hijab adalah identitas saya dan sekarang apa yang mereka lakukan adalah mengambil identitas saya dari saya,” katanya.

Aliya merupakan salah satu dari banyak siswi Muslim di Karnataka yang berada di tengah perdebatan tentang larangan hijab di sekolah di negara mayoritas Hindu tapi dengan konstitusi sekuler tersebut. Isu ini menjadi titik perdebatan tentang hak Muslim di negara itu.

photo
Aliya Assadi, seorang murid di Udupi, Karnataka mengenakan burqa di rumah temannya. - (AP Photo/Aijaz Rahi)

Larangan berhijab

Muslim India khawatir hak-hak mereka terpinggirkan sebagai minoritas dan cemas dengan eskalasi nasionalis Hindu di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi. Pada Selasa (15/3), pengadilan India mempertahankan larangan pemakaian hijab di sekolah yang diberlakukan di Negara Bagian Karnataka tidak melanggar hukum.

 “Kami berpendapat bahwa mengenakan jilbab oleh perempuan Muslim tidak menjadi bagian dari praktik keagamaan yang penting dalam Islam,” kata Ketua Hakim Ritu Raj Awasthi dari Pengadilan Tinggi Karnataka dalam putusannya, dikutip Aljazirah.

Putusan pengadilan tinggi di Negara Bagian Karnataka mengatakan, pemerintah negara bagian memiliki kekuatan untuk merancang pedoman seragam bagi siswa sebagai pembatasan yang wajar atas hak-hak dasar. Pengadilan menyampaikan putusan tersebut setelah mempertimbangkan petisi yang diajukan oleh mahasiswa Muslim.

Petisi itu menentang larangan pemerintah dalam mengenakan jilbab yang telah diterapkan beberapa sekolah dan perguruan tinggi dalam dua bulan terakhir. Larangan tersebut tidak berlaku untuk negara bagian India lainnya, tetapi putusan pengadilan dapat menjadi preseden bagi negara bagian lain.

Pengacara penggugat Anas Tanwir berencana untuk naik banding ke Mahkamah Agung. Dia menyebut putusan pengadilan Karnataka itu mengecewakan. “Saya percaya itu adalah interpretasi hukum yang salah,” katanya.

"Sejauh menyangkut praktik keagamaan yang esensial, (penggunaan hijab) seharusnya tidak menjadi pertanyaan. Pertanyaannya seharusnya adalah apakah (pihak berwenang) memiliki kekuatan untuk mengeluarkan perintah semacam itu,” ujar Tanwir.

Bagi Muslim, hijab tidak hanya untuk menjaga kesopanan atau simbol agama, tapi juga bagian dari keimanan. Para penentangnya mengatakan, hijab merupakan simbol penindasan kepada perempuan. Pendukung hak berhijab membantah dengan mengatakan bahwa makna hijab berbeda-beda bagi setiap individu, termasuk kebanggaan atas identitas sebagai Muslim.

Perdebatan mengenai hijab ini dimulai pada bulan Januari lalu. Muslim di India hanya 14 persen dari 1,4 miliar total penduduk, tapi itu cukup untuk menjadikannya sebagai populasi Muslim terbesar kedua di dunia setelah Indonesia.

Saat itu, para pegawai sekolah menengah atau junior college di Kota Udupi, Karnataka, melarang masuk para siswi berhijab. Alasannya karena melanggar tata tertib berbusana.

Larangan itu direspons dengan unjuk rasa di depan sekolah. Demonstran berkeras siswi Muslim harus diizinkan memakai hijab di kepala mereka selama di sekolah. Dari situ, makin banyak sekolah di Karnataka yang menerapkan peraturan larangan berhijab di sekolah hingga mendorong ratusan Muslimah turun ke jalan.

photo
Mahasiswa Universitas Karachi berunjuk rasa mendukung saudari-saudari Muslim mereka yang dilarang berhijab di KArnataka, India, Februari 2022 lalu. - (EPA-EFE/SHAHZAIB AKBER)

Para ekstremis Hindu menggelar unjuk rasa tandingan dengan memakai selendang warna kuning kunyit yang diasosiasikan dengan agama mereka dan sering dipakai nasionalis Hindu. Mereka meneriakkan “Salam Dewa Ram”, ungkapan yang digunakan untuk merayakan dewa sebelum ungkapan itu dikooptasi oleh nasionalis Hindu.

Di salah satu kampus, seorang siswa Hindu memanjat tiang bendera dan mengibarkan selendang kuning kunyit nasionalis. Teman-temannya memberi semangat dengan menyorakinya dari bawah.

Seorang siswi Muslim bertemu dengan sekelompok pria yang meneriakkan slogan-slogan mereka. Siswi itu membalasnya dengan mengangkat tangan dan mengucapkan takbir “Allahu Akbar”.

Demi meredakan ketegangan, pemerintah daerah yang dikuasai Partai Bharatiya Janata yang dipimpin Modi menutup sekolah dan kampus selama tiga hari. Kemudian, pihak berwenang menerapkan larangan memakai hijab di kelas di seluruh negara bagian.

Beberapa siswi menerimanya dan masuk ke ruang kelas tanpa hijab. Siswi yang lain menolaknya dan dilarang bersekolah selama hampir dua bulan. Seperti siswi di Kota Udupi, Ayesha Anwar. Siswi berusia 18 tahun itu tidak mengikuti ujian dan tertinggal dari teman-temannya. “Saya merasa dikecewakan semua orang,” kata Anwar bersama teman-temannya di sebuah kafe.

Enam siswi yang menggugat larangan yang kini diperkuat pengadilan itu mengatakan, hak-hak kebebasan beragama dan mendapatkan pendidikan telah dilanggar. Aliya Assadi salah satu penggugatnya.

“Saya orang India dan seorang Muslim, ketika saya memandang ini dari sudut pandang seorang Muslim, saya melihat hijab saya dipertaruhkan, dan sebagai seorang India saya melihat nilai-nilai konstitusional saya telah dilanggar,” ujar Aliya.

Ada pengorbanan yang harus ia bayar karena aktivismenya. Para nasionalis Hindu membocorkan detail pribadinya di internet. Mereka melecehkannya di media sosial. Ia kehilangan teman karena menilainya sebagai Muslim fundamentalis.

Namun, ia tetap teguh memakai hijab. Ia menikmati privasi yang diberikan hijab dan menjadi kebanggaan religius. “Membuat saya menjadi percaya diri,” kata Aliya.

Seorang siswi lain, Ayesha Imtiaz juga dilarang bersekolah. Ia mengatakan, memakai hijab bagian dari keimanannya dan ia menyadari setiap Muslimah memiliki opini masing-masing tentang hijab.

“Sangat banyak teman-teman saya yang tidak memakai hijab di ruang kelas, mereka merasa kuat dengan cara mereka sendiri dan saya merasa kuat dengan cara saya,” katanya.

Di matanya, larangan memakai hijab di luar kelas sebagai segregasi perempuan berdasarkan keyakinan dan bertolak belakang dengan nilai-nilai keberagaman India. “Ini Islamofobia,” kata Imtiaz.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Pembalap MotoGP Mengaspal di Jakarta

Para pembalap akan terlebih dulu disambut oleh Presiden Joko Widodo.

SELENGKAPNYA

Menelusuri Jalan Luka 360 Kilometer Demi Perdamaian

Atacocugu menelusur kembali perjalanan 360 kilometer ke dua masjid Christchurch.

SELENGKAPNYA

Guterres Ingatkan Prospek Konflik Nuklir

Guterres meminta keamanan dan keselamatan fasilitas nuklir juga harus dijaga.

SELENGKAPNYA