Tajuk
Meredam Tawuran di Masyarakat
Tawuran adalah fenomena sosial. Ia tidak berdiri sendiri. Banyak konteks sosial di permukiman yang terlibat.
Fenomena tawuran pelajar kembali marak di Jakarta dan sekitarnya. Ini tentu saja memprihatinkan. Di tengah kondisi pagebluk Covid-19, sejumlah kelompok pelajar atau remaja di permukiman masih menyisihkan waktunya untuk adu pukul atau berkelahi dengan senjata tajam. Mengapa mereka melakukan hal itu pada saat seperti ini?
Dalam dua bulan terakhir, angka kasus tawuran bertambah banyak. Nyaris saban akhir pekan, polisi di Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi memiliki satu atau dua kasus, baik tawuran pelajar maupun remaja di permukiman.
Beberapa kasus tawuran sampai jatuh korban jiwa. Korban tewas akibat ditusuk senjata tajam. Senjata yang digunakan, yang dipamerkan saat polisi rilis pers, pun bukan main seramnya, celurit besar, golok, pedang kecil, dan lain-lain.
Tawuran adalah fenomena sosial. Ia tidak berdiri sendiri. Banyak konteks sosial di permukiman yang terlibat. Penyebabnya? Sepele sekali. Tidak ada faktor pendorong yang benar-benar penting. Karena yang terlibat adalah pelajar atau remaja di permukiman, pemicu tawuran adalah dari aktivitas mereka sehari-hari.
Ada yang cuma sekadar saling ejek bahkan saling ejek di media sosial, saling tatap, dendam lama yang diwariskan, ‘permusuhan’ yang diada-adakan, atau teman perempuan hingga senggolan motor.
Tawuran adalah fenomena sosial. Ia tidak berdiri sendiri. Banyak konteks sosial di permukiman yang terlibat.
Yang jadi persoalan adalah mengapa justru saat ini tawuran marak? Kita lihat faktanya: Covid-19 belum reda. Wilayah Jabodetabek dalam dua bulan terakhir masuk kategori pembatasan Level 3, yang artinya berkumpul pun dibatasi, baik jumlah orang maupun waktunya.
Nyaris seluruh sekolah di wilayah aglomerasi Jakarta libur. Karena Covid-19 varian omikron berkali-kali ditemukan menjangkiti pelajar ataupun guru dan staf sekolah. Artinya: Tidak ada aktivitas bersama siswa dalam nyaris 18 jam.
Selain itu, pelajar pun memiliki beban belajar daring yang cukup besar. Mereka harus mengatur waktu memahami materi sekolah secara otodidak, atau dengan menghubungi teman dan gurunya.
Ini yang kemudian hari, diakui Kemendikbudristek, menjadi permasalahan besar, karena nyaris seluruh siswa tidak mampu belajar mandiri. Membuat muncul fenomena ‘learning loss’ generasi pelajar Indonesia saat ini. Harusnya, dengan fakta-fakta ini, tidak ada tawuran.
Ini membuat kita melihat kembali kontrol sosial di lingkungan kita sehari-hari. Meskipun bervariasi, faktor awal tawuran sering kali dirunut hingga keluarga pelaku atau korban. Baru ke lingkungan sekitar kemudian lingkungan sekolah. Sering kali, temuan sosiolog ataupun psikolog remaja, pelaku dan korban tawuran dari kelompok masyarakat menengah bawah, yang norma dan kontrol sosial lingkungannya lebih longgar.
Begitu juga, untuk pencegahan tawuran di level permukiman. Peran dan koordinasi polisi pembina masyarakat, dengan rukun tetangga dan rukun warga sangat penting.
Tentu harus ada intervensi atas fenomena tawuran ini. Intervensi paling besar ada di tangan aparat hukum. Polisi tidak bisa lepas tangan atau menunggu lagi terjadinya tawuran. Aparat harus responsif, turun ke sekolah-sekolah, bekerja sama dengan sekolah dan instrumen siswa-guru untuk bisa memantau pergerakan siswa yang menjurus ke tawuran. Koordinasi dan kerja sama antara polisi, guru sekolah, siswa pengawas menjadi titik krusial yang bisa mencegah tawuran.
Begitu juga, untuk pencegahan tawuran di level permukiman. Peran dan koordinasi polisi pembina masyarakat, dengan rukun tetangga dan rukun warga sangat penting. Bahkan, dalam beberapa kasus di Jakarta, di kawasan biang tawuran seperti di Manggarai, Jakarta Pusat, pun dengan aparat yang aktif turun dan berjaga-jaga, polisi masih bisa kecolongan.
Jadi, faktor pengawasan pun tidak bisa berdiri sendiri. Harus dibarengi dengan faktor pencegah lainnya, yang diinisiasi oleh gerakan warga. Tawuran dipicu karena ‘banyak waktu luang’. Maka itu, harus ada rekayasa sosial. Serangkaian kegiatan positif yang motornya adalah remaja sekitar.
Mulai dari kegiatan keagamaan, perekonomian, teknologi, pendidikan, lingkungan, seni kreatif, atau yang lainnya. Ini harus didukung penuh oleh aparat dan pemerintah kota/kecamatan/kelurahan. Inilah yang harusnya menjadi salah satu fokus perhatian pemerintah daerah yang masih kerap dilanda tawuran.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.