Opini
Solusi untuk Wadas
Kini terbuka kesempatan melakukan dialog yang lebih adil dan transparan.
BAGONG SUYANTO, Dekan FISIP Universitas Airlangga
Dalam beberapa tahun terakhir, ganti rugi pembangunan proyek di sejumlah daerah biasanya disambut gembira warga terdampak. Alih-alih protes, mereka justru menyambut gembira pembangunan yang memanfaatkan lahan miliknya karena memperoleh ganti untung besar.
Kisruh dalam pembangunan proyek Bendungan Bener di Purworejo, Provinsi Jawa Tengah, agak berbeda. Proyek pembangunan dengan nilai investasi Rp 2,06 triliun yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), ditolak sebagian warga Desa Wadas.
Penolakan salah satunya karena keberatan lahan miliknya dijadikan lokasi penambangan batuan andesit untuk mendukung pembangunan Bendungan Bener.
Meski proyek ini disebut-sebut bisa mengairi lahan 15.069 hektare, memasok air baku 1,60 meter kubik per detik, dan menghasilkan listrik 6,00 megawatt, tetapi karena sejak awal proses komunikasi kurang intensif, resistensi warga tak terselesaikan.
Penolakan salah satunya karena keberatan lahan miliknya dijadikan lokasi penambangan batuan andesit untuk mendukung pembangunan Bendungan Bener.
Penolakan mencapai puncaknya pada 8 Februari 2022. Konsorsium Pembaruan Agraria mengutuk keras kekerasan dan intimidasi pada warga Desa Wadas saat dilakukan pengukuran tanah oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN) Purworejo.
Pengukuran yang dikawal aparat kepolisian, berakhir ricuh dan membuat 66 warga ditangkap meski akhirnya dipulangkan semua. Resistensi warga atas rencana penambangan batuan andesit untuk material pembangunan Bendungan Bener sebetulnya bukan hal baru.
Sejak 2019, penolakan beberapa kali muncul. Pada September 2019, LBH Yogyakarta mencatat ada 11 warga Wadas yang sempat ditangkap aparat. Pada April 2021, aksi penolakan makin gencar digelar warga.
Pada 22 April 2021, sejumlah warga Desa Wadas mengadang aparat yang akan melakukan sosialisasi pemasangan patok tras dan bidang tanah. Tahun lalu, dilaporkan terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan warga Wadas sehingga 12 orang ditangkap.
Sejak 2019, penolakan beberapa kali muncul. Pada September 2019, LBH Yogyakarta mencatat ada 11 warga Wadas yang sempat ditangkap aparat. Pada April 2021, aksi penolakan makin gencar digelar warga.
Menghadapi resistensi warga, komunikasi yang seharusnya lebih intensif dikembangkan pemerintah ternyata tidak dilakukan.
Ada tiga faktor yang menyebabkan sebagian warga tetap menolak penambangan batuan andesit untuk proyek pembangunan Bendungan Bener. Pertama, terkait makna atau keterikatan kultural warga terhadap tanah kelahiran mereka (sentiment of locality).
Berbeda dengan kepemilikan lahan di kompleks perumahan baru di berbagai kota, yang tak didasari keterikatan kultural warga, kepemilikan lahan hasil warisan turun-temurun dan merupakan tanah kelahiran sering melahirkan hubungan emosional kuat warga.
Kedua, terkait kekhasan budaya dan profil kultural warga desa yang tak selalu mengedepankan kalkulasi ekonomi yang serbarasional.
Ketiga, berkaitan dengan model komunikasi yang tak dibangun dengan baik antara pemerintah dan warga Desa Wadas, yang menolak penambangan batuan andesit untuk proyek pembangunan Bendungan Bener.
Kedua, terkait kekhasan budaya dan profil kultural warga desa yang tak selalu mengedepankan kalkulasi ekonomi yang serbarasional.
Pola pendekatan represif yang mengandalkan kekuasaan niscaya tak direspons baik warga. Ini justru melahirkan resistensi karena warga merasa lahannya dirampas, daripada menerima kebijakan pembangunan itu sebagai partisipasi untuk kepentingan lebih besar.
Komunikasi
Saat ini, warga Desa Wadas yang sempat ditangkap aparat telah dibebaskan dan dapat kembali pulang ke keluarganya masing-masing.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta maaf ke seluruh warga Desa Wadas dan menyatakan bertanggung jawab atas kisruh yang terjadi. Dalam rapat di kabinet, disepakati akan dilakukan dialog pemerintah dengan warga Desa Wadas yang difasilitasi Komnas HAM.
Pascakisruh dalam kegiatan pengukuran oleh BPN di Desa Wadas, semua pihak diharapkan menahan diri. Daripada bersikukuh dan tetap mengandalkan pendekatan yang sifatnya legal-formalistik, kini terbuka kesempatan melakukan dialog yang lebih adil dan transparan.
Dengan memahami karakteristik kultural masyarakat Desa Wadas, dialog yang terbuka antara pemerintah dan warga desa niscaya dapat dibangun dengan baik.
Tugas utama pemerintah sekarang, menjelaskan manfaat dari proyek pembangunan dan mengetuk hati warga yang masih menolak rencana penambangan batuan andesit, agar rela berkorban untuk kepentingan lebih besar.
Sebagai proyek pembangunan nasional yang memiliki nilai strategis, tak mungkin pembangunan Bandungan Bener dibatalkan. Masalahnya sekarang, bagaimana menyosialisasikan tujuan proyek pembangunan ini dengan mengacu pada keberadaan budaya lokal.
Seperti dikatakan Nat J Colleta (1987), kebudayaan lokal adalah media yang memungkinkan pembangunan berlangsung sukses karena budaya mempunyai legitimasi tradisional di mata orang-orang, yang menjadi sasaran program pembangunan dan secara simbolis merupakan bentuk komunikasi paling berharga dari penduduk setempat.
Dengan memahami karakteristik kultural masyarakat Desa Wadas, dialog yang terbuka antara pemerintah dan warga desa niscaya dapat dibangun dengan baik. Semoga.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.