Hiwar
Santri Harus Melek Sains dan Teknologi
Pengajaran sains yang baik tentu saja bisa mendekatkan santri kepada mengingat Allah.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Hingga kini, keberadaannya masih lestari dan kian terus diminati.
Menurut akademisi Fahrizal Yusuf Affandi PhD, relevansi pesantren seyogianya ditopang pula dengan kualitas pembelajaran yang melek sains dan teknologi. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu mengatakan, para santri semestinya tidak hanya didorong untuk menguasai teknologi.
Mereka juga diarahkan untuk tertarik mempelajari dan mengembangkan sains. Dengan begitu, generasi muda Islam tersebut tidak akan gagap dalam menghadapi tantangan zaman.
“Di Eropa tempat saya belajar saat ini, banyak sekali teman atau kolega saya yang belajar ilmu-ilmu terkait sains dan teknologi. Dan, mereka berlatar belakang pendidikan dari pesantren,” ujar peraih gelar doktor dalam disiplin Fisiologi dan Teknologi Pascapanen itu.
Bagaimana menumbuhkan minat dan bakat para santri terhadap sains? Mengapa pembelajaran yang berbasis teknologi penting diterapkan? Untuk membahas dan menjawabnya, berikut ini hasil wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan lulusan Pondok Pesantren al-Muawanah, Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, itu beberapa waktu lalu.
Mengapa kalangan santri harus belajar sains dan teknologi di samping ilmu-ilmu agama?
Kemajuan peradaban digerakkan oleh sains dan teknologi. Keduanya membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Jadi, kita tidak bisa mengelak lagi dari konsekuensinya.
Generasi muda bisa ikut memengaruhi arah perkembangan sains. Dalam hal ini, kadang-kadang banyak sekali perkembangan sains dan teknologi yang akan membawa manusia pada problem-problem etis yang berkaitan dengan nilai yang dianut, termasuk agama.
Nah, kalau santri dan juga kalangan agamawan tidak memahaminya, semakin lama umat akan dikejutkan oleh hasil-hasil dari kemajuan sains dan teknologi. Seolah-olah, pencapaian melalui keduanya bertentangan dengan nilai-nilai agama. Jadi (bila demikian) kita akan semakin gamang ketika menghadapi tantangan zaman.
Intinya, kalau generasi muda—termasuk para santri—tidak mencoba ikut di dalamnya (perkembangan sains dan teknologi), mereka akhirnya tidak mempunyai kemampuan untuk memengaruhi.
Pada masa silam, kaum intelektual Muslim menjadi ahli dalam banyak disiplin ilmu. Contoh teladan untuk para santri kini?
Ya, secara historis kita mendapati, zaman dahulu itu para ilmuwan atau sarjana Muslim tidak pernah memisahkan secara tegas antara ilmu agama dan ilmu dunia. Kita bisa melihat munculnya tokoh-tokoh besar, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm, al-Khawarizmi, dan banyak lagi.
Memang, pada zaman dahulu itu spesialisasi ilmu belum rigid seperti sekarang. Maka seorang filsuf secara bersamaan bisa menjadi seorang matematikawan. Ahli fikih juga bisa menjadi seorang pakar biologi secara bersamaan.
Kalau kita bicara dalam konteks ulama-ulama Nusantara, banyak dari karya-karya mereka yang menunjukkan kemajuan peradaban. Itu bisa terlacak bahkan sebelum datangnya masa kolonial Belanda. Jadi, banyak kitab-kitab klasik yang tidak hanya bicara soal agama atau suluk, tetapi juga pertanian, pengobatan, dan segala macam dimensi kehidupan manusia.
Kita melihat dalam konteks kepentingan kemanusiaan, semua itu penting. Para ulama waktu itu melihatnya pun seperti itu. Jadi, yang bisa kita teladani bukan pada hasilnya semata, tapi lebih pada semangat mereka untuk tidak kemudian memisahkan antara agama dan sains.
Bagaimana Anda melihat minat santri sekarang terhadap bidang sains dan teknologi?
Saya melihat ada tren positif untuk para santri dalam belajar sains dan teknologi. Cara mudah saya mengidentifikasinya, di Eropa tempat belajar saat ini, banyak sekali teman atau kolega saya yang belajar ilmu-ilmu terkait sains dan teknologi. Dan, mereka berlatar belakang pendidikan dari pesantren.
Dengan banyaknya santri yang belajar sains di dalam dan luar negeri, saya pikir, setidaknya ini menunjukkan tren positif yang harus disambut baik. Walaupun sebenarnya, ini juga melahirkan tantangan baru, yakni mau dikemanakan mereka ketika selesai (menempuh pendidikan tinggi –Red). Mereka harus diberi ruang.
Ya, tantangan utama yang dihadapi saat ini sebenarnya adalah belum tumbuhnya budaya akademik di negara kita. Apakah saat ini sains sudah menjadi panglima, saya kira, di Indonesia masih belum.
Kalau kita bicara sains dan teknologi, sebenarnya harus diakui bahwa ini bukan hanya persoalan di kalangan santri, melainkan bangsa kita secara umum. Indonesia masih mengalami dan memiliki persoalan besar.
Kalangan santri kian dekat dengan teknologi?
Ya, kalau kita melihat dari perspektif yang lebih praktis, teman-teman santri saat ini sudah mulai aktif mengisi konten di media sosial. Tentu saja bermedia sosial itu bukan sains. Namun, mereka sudah mulai akrab dengan teknologi, dan itu kita harus mengapresiasi.
Apalagi, konten-konten yang diunggah sudah bagus sekali secara kualitas audio visual, rekaman, dan produksinya. Misalnya, ketika mereka meliput acara haul kiai pesantren tempatnya belajar.
Maknanya, para santri sebetulnya sudah mulai melek teknologi pada level praktis. Begitu pula dengan melek sains pada level teoretis.
Bagaimana sebaiknya peran pihak pesantren untuk menumbuhkan minat para santri terhadap sains?
Jalankan yang sudah mentradisi, itu setidak-tidaknya dilakukan. Sebab, kalangan santri sebetulnya sudah sangat terdidik dalam tradisi intelektual di pesantren.
Tradisi itulah yang nantinya akan sangat berguna ketika mereka terjun ke dalam bidang sains dan teknologi. Apalagi, ketika belajar di pesantren mereka telah dihadapkan pada literatur yang ditulis dalam salah satu bahasa internasional, Arab.
Ketika seorang santri banyak membaca literatur agama, ia juga terbiasa membaca pandangan orang-orang dari zaman yang berbeda dan dari negeri yang berbeda pula. Dia terlatih membandingkan pandangan-pandangan yang berbeda itu dari (membaca) kitab-kitab para ulama.
Misalnya, sesuatu yang ditulis Imam Syafii dikomentari oleh Imam Nawawi. Yang belakangan itu hidup berabad-abad setelahnya (Syafii). Jadi santri dapat memahami, para alim yang sudah wafat itu “hidup” lagi dengan tradisi pesantren, yakni membaca. Nah, itu adalah contoh perilaku sains. Bagaimana kita berhadapan dengan perbedaan.
Para santri pun selama di pesantren biasanya terlatih mengutip dari berbagai sumber yang berbeda. Kalau kelak mereka menulis jurnal ilmiah, itu juga harus menyertakan sumbernya. Jadi, menurut saya, ada banyak sekali tradisi pesantren yang cocok dan kompatibel dengan tradisi akademik di dunia modern.
Kaum santri dididik dekat dengan Alquran. Bagaimana pola pengajaran sains yang baik untuk para pembelajar Alquran?
Pola pengajaran sains yang baik tentu saja bisa mendekatkan santri kepada mengingat Allah, bukan malah menjauhkan mereka dari-Nya. Karena itu, dibutuhkan fasilitator atau sumber belajar yang mumpuni.
Begitu pula dengan faktor guru. Para ustaz idealnya tidak hanya memahami sains, tetapi juga filsafat ilmu dengan baik. Itu yang sering kita lupakan ketika kita berbicara sains dan teknologi.
Kita lihat negara-negara maju. Mereka bisa maju tidak sekonyong-konyong, tetapi karena menguasai fiksafat ilmu yang baik. Jadi, induk dari segala macam sains dan teknologi itu mereka kuasai dengan baik. Karena kalau tidak, semakin lama kita mendalami sains, tantangan-tantangan yang kemudian bisa membuat kita menjauh dari agama dan Tuhan akan semakin besar.
Metode apa yang ideal diterapkan di pesantren agar terbangun minat santri terhadap sains dan teknologi?
Pertama, dari sisi guru atau ustaznya. Mungkin, para guru harus rajin mengunggah video pengajian atau pembelajarannya di media sosial, seperti YouTube. Sebab, laku keseharian di pesantren bisa membuat santri tertarik untuk belajar sains dan teknologi.
Para santri perlu didekatkan dengan perkembangan ilmu dan teknologi terkini. Apalagi, saat ini sudah banyak pesantren yang mempunyai kelas umum, seperti madrasah aliyah dan SMA. Jadi, di sana sebetulnya mereka sudah belajar sains dan teknologi.
Para santri adalah pula pelukis masa depan agama dan bangsa. Pendapat Anda?
Di masa depan, urgensi sains dan teknologi akan kian penting. Seperti tadi saya sampaikan, kemajuan peradaban digerakkan oleh keduanya. Sains dan teknologi membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik.
Maka kita tidak bisa mengelak lagi sekalipun ada di antara kita yang antisains, misalnya. Untuk masa kini pun, apa-apa yang kita hadapi diselesaikan dengan sains. Sebut saja, ketika dunia berusaha menyelesaikan krisis pandemi Covid-19, maka sains yang menjadi penuntunnya.
Dalam konteks umat Islam, peradaban kaum Muslimin dalam sejarah pernah menjadi jaya. Dalam periode itu, banyak ahli ilmu yang memelopori perkembangan sains dan teknologi. Memang, tidak mudah mengembalikan kejayaan itu lagi di masa depan.
Sebab, persoalan kemunduran umat Islam—atau secara lebih umum di negara-negara Dunia Ketiga—itu banyak sekali faktor yang mempengaruhi. Ada struktur ekonomi politik-global. Ada faktor penjajahan. Dan juga, faktor penguasaan aset ekonomi yang belumlah merata.
Namun, tentu saja sekecil apa pun kita harus berusaha melangkah, mengejar ketertinggalan. Yang senyatanya terjadi saat ini adalah ketertinggalan umat Islam di bidang sains. Maka mari kita kejar.
View this post on Instagram
Tekad Amalkan Ilmu
Fahrizal Yusuf Affandi berasal dari keluarga yang dekat dengan tradisi pesantren. Kedua orang tuanya selalu mengarahkan dirinya agar tidak hanya belajar ilmu-ilmu umum, tetapi juga agama.
Akademisi tersebut pernah mondok di Pesantren al-Muawanah, Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Pendidikan formal sejak dasar hingga SMA dijalaninya dengan baik.
Ia meneruskan studi ke UGM, Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Tidak ingin jauh dari suasana santri, dia pun ikut mengaji di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Sukses meraih gelar sarjana, Fahrizal mencari peluang baru. Pada 2009, kesempatan itu datang. Ia dapat meneruskan studi master teknologi pangan di Ghent University dan KU Leuven, Belgia.
Setelah berhak menyandang gelar master, sosok yang kini menjabat sebagai ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu mengambil spesialisasi teknologi pascapanen. Dari Belgia, ia kembali ke Tanah Air dan langsung diterima sebagai dosen pada Sekolah Vokasi UGM.
Pada 2016, Fahrizal mendapatkan beasiswa S-3 dari LPDP untuk melanjutkan studi di Wageningen University, Belanda. Selama belajar di Negeri Kincir Angin, ia juga menjadi pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan. Dan tentu saja saya ingin bisa terus melakukan riset, melahirkan karya-karya yang bermutu.
Akhir tahun lalu, Fahrizal berhasil menyelesaikan program doktornya. Dalam waktu dekat, Fahrizal mengaku ingin segera kembali ke Indonesia. Tekadnya begitu besar untuk mengamalkan ilmu.
“Kalau sebagai santri, memang begitu. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan. Dan tentu saja saya ingin bisa terus melakukan riset, melahirkan karya-karya yang bermutu,” ujar dia kepada Republika, baru-baru ini.
Penggemar buku-buku tasawuf itu mengenang, tatkala masih tinggal di Karawang, almarhum ayahnya selalu berpesan kepadanya untuk terus belajar ilmu pertanian. Sebab, daerah itu merupakan salah satu lumbung padi di Tanah Air, dan masih memiliki banyak tantangan.
“Orang tua memberi semangat kepada saya, harus belajar ilmu pertanian biar nanti bisa memajukan pertanian,” katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.