Kabar Utama
Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Diteken
Singapura kerap menjadi tempat pelarian sekaligus penyimpanan dana buron koruptor.
JAKARTA – Indonesia dan Singapura resmi menandatangani perjanjian ekstradisi. Adanya perjanjian ini diharapkan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri.
Selama ini, Singapura menjadi negara tujuan para buron koruptor untuk kabur dari Tanah Air untuk menghindari pengejaran. “Dalam perjanjian yang baru ini, masa retroaktif diperpanjang dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun sesuai dengan Pasal 78 KUHP,” kata Presiden Joko Widodo saat konferensi pers bersama Perdana Menteri (PM) Singapura di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, dikutip melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (25/1).
Perjanjian ini ditandatangani Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dan Menteri Dalam Negeri serta Hukum Singapura K Shanmugam dan disaksikan langsung Presiden Jokowi dan PM Singapura Lee Hsien Loong. Salah satu poin perjanjian itu yakni saling bertukar para tersangka buron yang seharusnya menjalani penuntutan atau persidangan di negara masing-masing.
Yasonna mengatakan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa berlaku surut terhitung tanggal diundangkan atau retroaktif selama 18 tahun ke belakang. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan maksimal kedaluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP.
“Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura,” kata dia.
Yasonna berharap kedua negara dapat dengan segera meratifikasi atau mengesahkan perjanjian ekstradisi yang ditandatangani. Jika telah diratifikasi, maka lembaga penegak hukum kedua negara dapat memanfaatkan perjanjian ini dalam mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi dan terorisme.
Jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut isi perjanjian tersebut di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.
Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura yang akhirnya ditandatangani ini menjadi ujung perjalanan panjang yang diupayakan pemerintah Indonesia sejak 1998.
Pada 16 Desember 2002, Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri dan PM Singapura Goh Chok Thong melakukan pertemuan bilateral membahas hal terkait pengembangan kerja sama kedua negara di segala bidang. Salah satu hasil pertemuan tersebut adalah tercapainya kesepakatan bahwa Indonesia dan Singapura akan menyusun rencana aksi pembentukan perjanjian ekstradisi.
Pada 27 April 2007, rumusan perjanjian ekstradisi RI-Singapura bahkan telah diteken Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Singapura saat itu Lee Hsien Long. Dalam kesepakatan itu tercantum Singapura boleh melakukan latihan militer di wilayah Indonesia.
Namun, pihak DPR menolak meratifikasi perjanjian ekstradisi karena keberatan dengan perjanjian kerja sama pertahanan yang dinilai mengancam kedaulatan NKRI.
Selanjutnya, pada 8 Oktober 2019 digelar Leaders' Retreat Indonesia dan Singapura guna membahas kembali tentang persetujuan penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia dan Singapura atau Realignment Flight Information (FIR) dan perjanjian kerja sama keamanan.
Leaders' Retreat adalah pertemuan tahunan antara Presiden Indonesia dengan Perdana Menteri Singapura guna membahas kerja sama yang saling menguntungkan kedua negara. Setelah melakukan korespondensi, konsultasi dan perundingan pada 22 Oktober 2021, pemerintah Singapura menerima usulan Indonesia. Akhirnya, perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura ditandatangani di Bintan, Kepulauan Riau pada 25 Januari 2022.
Selain perjanjian ekstradisi, Indonesia dan Singapura menandatangani dua perjanjian kerja sama strategis yang lain. Perjanjian yang dimaksud adalah persetujuan tentang penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia-Singapura (FIR).
View this post on Instagram
Dengan ditandatanganinya perjanjian FIR, maka ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia, terutama di perairan sekitar Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna. Selanjutnya adalah Pernyataan Bersama (joint statement) Menteri Pertahanan RI dan Singapura tentang kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian pertahanan 2007.
Anggota Komisi I DPR, Dave Akbarshah Fikarno Laksono menilai, perjanjian ekstradisi ini memang dibutuhkan. Selama ini, Singapura selalu dianggap menjadi negara tujuan pelarian sekaligus penyimpanan dana oleh banyak buron koruptor.
Dengan adanya perjanjian tersebut, kata dia, maka semua tuduhan itu menjadi terpatahkan. “Yang pasti bisa memberikan keleluasaan bagi penegak hukum untuk melakukan pengejaran dan penindakan,” ujar dia.
Anggota Komisi I DPR Christina Aryani mengakui Singapura beberapa kali menjadi tempat pelarian bagi WNI yang tersangkut masalah hukum di Indonesia. “Agar perjanjian ekstradisi ini dapat berlaku efektif dibutuhkan persetujuan ratifikasi dari legislatif kedua negara, harapan kami proses tersebut akan berjalan lancar sehingga tujuan dari perjanjian ekstradisi ini bisa tercapai optimal,” ujar Christina.
View this post on Instagram
‘Jangan Lagi Alasan Koruptor Susah Dipulangkan’
Penandatangan perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura menjadi tonggak baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Para penegak hukum kini tak lagi bisa beralasan sulit untuk menangkap buron yang kabur ke Singapura. Perjanjian ini harus dijadikan momentum untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi.
“Adanya perjanjian ekstradisi ini maka tidak ada lagi cerita tersangka atau terdakwa atau terpidana korupsi yang lari ke Singapura susah dipulangkan. Semua harus bisa dipulangkan ke Indonesia beserta dengan harta kejahatan mereka,” kata peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainul Rahman, Selasa (25/1).
Menurutnya, kesepakatan itu menjadi proses yang baik bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Perjanjian ekstradisi ini akan menjadi instrumen penting dalam upaya mengembalikan atau menangkap para pelaku tindak pidana korupsi ke Indonesia beserta dengan uang hasil kejahatan mereka atau keuangan negara yang dibawa kabur oleh para buron kasus korupsi.
Zainul mengatakan, pemberantasan korupsi saat ini kerap terhambat lantaran banyak tersangka yang lari ke Singapura. Pemerintah Indonesia biasa terhambat ketika ingin memulangkan para tersangka itu untuk menjalani proses hukum di Tanah Air.
Demikian juga dengan uang hasil kejahatan yang dibawa lari ke Singapura oleh para tersangka atau koruptor. Perjanjian ekstradisi ini, kata dia, sekaligus menjadi kabar baik dalam upaya mengembalikan kerugian negara beserta dengan pelakunya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai bahwa perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura membantu peperangan melawan pidana rasuah. KPK menyebut perjanjian ekstradisi ini menjadi sebuah tonggak langkah maju pemberantasan korupsi tidak hanya bagi Indonesia, namun juga global.
“Melalui regulasi ini artinya seluruh instrumen yang dimiliki kedua negara akan memberikan dukungan penuh terhadap upaya ekstradisi dalam kerangka penegakkan hukum kedua negara, termasuk dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Dia mengatakan, perjanjian ekstradisi tentunya tidak hanya mempermudah proses penangkapan dan pemulangan tersangka korupsi yang melarikan diri atau berdomisili di negara lain. Lembaga antirasuah itu melanjutkan, ekstradisi ini nantinya juga akan berimbas positif terhadap upaya optimalisasi asset recovery atau pemulihan aset.
Menurut Ghufron, tidak dipungkiri bahwa aset pelaku korupsi tidak hanya berada di dalam negeri tapi juga tersebar di berbagai negara lainnya. Dia mengatakan, optmalisasi perampasan aset tersebut bakal memberikan sumbangsih terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Perjanjian tersebut akan menjadi akselerasi progresif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata dia.
Transparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Prestasi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2021 yang naik tipis 1 poin menjadi 38 dari tahun 2020. Indonesia kini berada di posisi 96 dari 180 negara yang disurvei. IPK tersebut mengacu pada sembilan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengatakan, TII memberikan empat rekomendasi untuk perbaikan IPK Indonesia. Pertama, pemerintah harus membatalkan pembatasan yang tidak proporsional terhadap kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul yang diterapkan sejak awal pandemi.
Kedua, mengembalikan independensi dan kewenangan otoritas lembaga pengawas kekuasaan. Ketiga, pemerintah diminta serius dalam menangani kejahatan korupsi lintas negara dengan memperbaiki kelemahan sistem yang memungkinkan korupsi lintas negara yang tidak terdeteksi atau tanpa sanksi.
“Keempat, pemerintah harus menegakkan dan mempublikasikan hak atas informasi sepanjang penanganan pandemi,” kata Wawan.
View this post on Instagram
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.