IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Negeri Tragedi dan Prestasi di Afrika

Rwanda, yang berpenduduk sekira 12 juta jiwa, menyandang banyak prestasi.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

 

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Negara ini bukan Amerika Serikat atau Kanada. Juga bukan Jepang atau negara Eropa. Negara ini ada di Afrika, benua yang sering diidentikkan dengan kemiskinan, ketertinggalan, korupsi, perang saudara, perebutan kekuasaan, kudeta, dan hal buruk lainnya.

Negara ini Rwanda, yang kota-kotanya, terutama ibu kota Kigali, kini bersaing dengan Washington, New York, London, Paris, Tokyo dalam kebersihan, keamanan, ketertiban, kemajuan ekonomi, dan kenyamanan.

Rwanda, yang berpenduduk sekira 12 juta jiwa, menyandang banyak prestasi. Di antaranya, tercepat pertumbuhan ekonominya di Afrika sekitar 9-12,2 persen per tahun. Menjadi tujuan investor dan wisatawan asing.

Pendapatan per kapita warga Rwanda rata-rata naik menjadi 30 kali lipat daripada 25 tahun lalu. Dua tahun lalu, Rwanda meluncurkan satelit komunikasi pertamanya dari Pusat Antariksa Coroa di Guyana Prancis, bagian dari pengembangan sistem pendidikan.

 
Negara ini Rwanda, yang kota-kotanya, terutama ibu kota Kigali, kini bersaing dengan Washington, New York, London, Paris, Tokyo
 
 

Satelit itu sekarang menghubungkan semua sekolah dan daerah terpencil, dengan internet secara gratis. Hanya dalam waktu singkat negara ini menurunkan angka buta huruf. Kini Rwanda negara paling sedikit angka buta aksara di seluruh Afrika.

Di bidang teknologi, Mara Technological Group dari Rwanda meluncurkan dua smartphone pada Oktober 2019, Mara X dan Mara Z. Pengamat menyatakan, ponsel ini mengindikasikan ambisi Rwanda menjadi pusat teknologi regional.

Kemajuan Rwanda hanya ditempuh sekitar 20 tahun, tepatnya sejak Paul Kagame mengambil alih kekuasaan pada 24 Maret 2000. Sebelumnya, negara ini dirundung perang saudara antara suku Hutu yang mayoritas (80 persen populasi Rwanda) dan Tutsi.

Tutsi hidup merumput, bergerak di belakang ternak mereka dan menyeberang dari satu lembah ke lembah lain, mencari padang rumput. Tutsi berpindah-pindah. Berbeda dengan Hutu yang petani, menetap di suatu tempat secara permanen.

Persaingan suku muncul ketika penjajah datang ke Rwanda. Mula-mula Jerman, lalu Belgia. Mereka melancarkan politik pecah belah. Misalnya, mereka memanfaatkan Tutsi buat menekan Hutu. Mereka melihat Tutsi tangguh menghadapi lawan.

 
Sebelumnya, negara ini dirundung perang saudara antara suku Hutu yang mayoritas (80 persen populasi Rwanda) dan Tutsi.
 
 

Namun, tak lama kemudian, mereka mendukung Hutu karena bisa membantu dalam menyediakan yang mereka butuhkan dari produk pertanian. Penjajah lalu memobilisasi Hutu melawan Tutsi, dengan meragukan identitas Rwandanya.

Mereka katakan, Tutsi tidak mempunyai asal usul di negara itu dan hanya mencari padang rumput. Sebaliknya, Tutsi tidak tinggal diam. Mereka melawan. Persaingan dua suku yang dipicu penjajah berlangsung hingga setelah kemerdekaan pada 1962.

Puncaknya pada 1994, ketika pesawat Presiden Rwanda dari suku Hutu, Juvenal Habyarimana, ditembak jatuh. Hutu menuduh Tutsi pelakunya. Perang saudara meletus, kali ini dengan cara sangat berdarah: pembantaian. Orang Tutsi menjadi sasaran pembantaian.

Hanya dalam 100 hari sejak 6 April 1994, hampir satu juta penduduk Rwanda, yang berjumlah 11 juta jiwa waktu itu, tewas dibunuh. Pelakunya ekstremis Hutu. Jasad mereka berserakan di seantero negeri.

Pembantaian terhenti Juli 1994, saat Front Patriotik Rwanda (RPF), yang mayoritas Tutsi dipimpin Paul Kagame menyerang balik dan menguasai Kigali pada 1995. Khawatir terjadi balas dendam, lebih dari dua juta Hutu mengungsi ke negara tetangga.

Setelah RPF mengambil alih kekuasaan, Kagame ditunjuk sebagai wakil presiden. Presidennya Bizi Mungo. Namun, dalam lima tahun berikutnya Rwanda tenggelam dalam kekacauan setelah perang. Pemerintah gagal menemukan solusi.

Mungo mundur, digantikan Kagame pada 2000. Sejak jadi presiden, Kagame, kini 64 tahun, menerapkan hasil perenungannya saat pengasingan di Uganda, bahwa benci akan dibalas benci, dendam akan menyimpan dendam di pihak lain. Ini harus dihentikan.

 
Benci akan dibalas benci, dendam akan menyimpan dendam di pihak lain. Ini harus dihentikan.
 
 

Dua program unggulan ia gariskan: menyatukan rakyat dan mengangkat mereka dari belenggu kemiskinan.

Ia memulai rekonsiliasi dan menerapkan konstitusi baru, yang melarang penggunaan nama Hutu dan Tutsi, serta mengkriminalisasi penggunaan wacana etnis apa pun. Amnesti umum diberlakukan. Rekonsiliasi membuahkan hasil. Pengungsi kembali.

Kemajuan di bidang sosial ini memungkinkan pemerintah membangun dan mengembangkan ekonomi. Presiden Kagame, yang dibantu ahli ekonomi dan pembangunan, mencanangkan Visi 2020 yang mencakup 44 bidang. Hasilnya, menggembirakan.

Ketika ditanya rahasia kemajuan Rwanda dalam waktu relatif singkat. Presiden Kagame menegaskan, "Lupakan dendam!"

 
Ketika ditanya rahasia kemajuan Rwanda dalam waktu relatif singkat. Presiden Kagame menegaskan, "Lupakan dendam!"
 
 

Ia menambahkan, “Jika Anda dapat membuat bandara bebas dari korupsi dan penyuapan, layanan internet negara cepat, prosedur investasi sederhana, dan orang muda berbicara bahasa Inggris, Anda akan mendapatkan negara yang efektif, dan itu akan menarik perusahaan dan investor dari seluruh dunia.”

Dan jangan lupa, ini dari saya, peran perempuan. Di Rwanda, persentase keterwakilan perempuan di parlemen melebihi sepertiga dari jumlah anggota, juga anggota kabinet.

Presiden Kagame mengakui, perempuanlah yang paling mampu menanamkan semangat rekonsiliasi dan toleransi. Mereka tameng yang menolak kekerasan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat