Tajuk
Tahun Politik 2022
Implikasi dari 2022 sebagai politik adalah: Publik akan disuguhi berbagai manuver elite dan partai politik.
Pemilihan anggota legislatif dan presiden serentak memang masih dua tahun lagi. Begitu juga pemilihan kepala daerah yang bakal diadakan pada paruh kedua 2024. Namun, publik sudah merasakan hangatnya suhu politik sejak pertengahan tahun kemarin.
Lalu, apa yang akan terjadi pada tahun ini? 2022 tidak dimungkiri akan menjadi tahun politik. Selain tentunya adalah tahun harapan pembalikan ekonomi dan tahun harap-harap cemas kelanjutan wabah ini.
Implikasi dari 2022 sebagai politik adalah: Publik akan disuguhi berbagai manuver elite dan partai politik. Media sosial menjadi lebih berisik (noise). Para pendengung alias buzzer berbagai kelompok kepentingan terus membanjiri Facebook, Twitter, Youtube, Whatsapp group dengan karangan-karangan serupa berita. Berita bohong, hoaks, kampanye politik negatif ke para tokoh, akan menghiasi gawai.
Survei politik dan jajak pendapat dipastikan lebih ramai. Baik menteri maupun kepala daerah tetap menjadi sorotan. Partai politik tidak tinggal diam. Pergerakan mereka di daerah diprediksi makin panas. Baliho politik? Sudah pasti. Kita yang berharap bahwa baliho politik akan berkurang tahun ini, siap-siap gigit jari.
Implikasi dari 2022 sebagai politik adalah: Publik akan disuguhi berbagai manuver elite dan partai politik.
Ada beberapa faktor yang bisa memuluskan 2022 sebagai tahun politik. Pertama, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu bersama pemerintah harus mengambil keputusan soal jadwal pemilu yang pasti. Kalau keputusan itu sudah disepakati, tahapan pemilu malah sudah di depan mata.
Perhitungan KPU, tahapan awal Pemilu 2024 bisa segera dimulai kurang dari 30 hari lagi. Begitu banyak persoalan logistik, infrastruktur pemilu, teknologi informasi, serta sumber daya manusia yang harus segera dilakukan untuk memuluskan 2024.
Faktor kedua, Pemilu 2024 posisinya cukup unik. Untuk pertama kalinya, representasi tokoh tua yang bakal maju akan memudar. Kecuali Menhan Prabowo Subianto, yang sudah digadang-gadang lagi maju bersama Ketua DPR Puan Maharani, tidak ada lagi tokoh politik tua yang turun ke gelanggang.
Kontestasi akan diisi oleh tokoh muda. Entah itu dari menteri macam Erick Thohir dan Airlangga Hartarto atau kepala daerah, seperti Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawansa, atau tokoh publik yang digadang-gadang. Namun, tidak berarti tokoh muda ini bisa lepas begitu saja dari cengkeraman oligarki politik saat ini.
Suka tidak suka, politik Indonesia, masih dikuasai oleh kelompok tertentu. Calon pemimpin yang benar-benar independen bisa saja muncul, tapi sukar mencuat.
Faktor ketiga, pagebluk Covid-19 membuat situasi ketidakpastian amat tinggi. Publik pastinya akan tersedot pada usaha memperbaiki kondisi perekonomian mereka.
Para petani, peternak nelayan, pedagang pasar, penggali pasir, tukang bangunan, buruh, pemilik toko kelontong, penjual sayur, karyawan yang dirumahkan, generasi milenial, dan lain sebagainya ini akan memfokuskan untuk memulihkan dapur mereka. Politik justru berada paling belakang dari daftar prioritas mereka. Karena itu, mencari strategi komunikasi politik yang tepat, yang seolah peduli pada kehidupan mereka, menjadi amat krusial.
Lalu, bagaimana publik harus bersikap pada tahun politik ini? Paling banter kita akan menjadi penonton, lagi. Seperti pemilu yang sudah sudah.
Kemudian, ada faktor Anies Baswedan. 2022 adalah tahun terakhir Anies menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Masa jabatannya habis Oktober 2022. Lha, kalau dua tahun sebelum pemilu tidak lagi menjabat, lalu Anies bakal ngapain?
Inilah pertanyaan politik yang paling ditunggu jawabannya tahun ini. Harus diingat: Anies Baswedan sejauh ini belum menjadi anggota partai politik mana pun. Apakah Anies akan masuk parpol? Apakah Anies akan melanjutkan kampanye politik dengan dukungan publik secara independen? Siapa yang cocok mendampingi Anies di 2024?
Lalu, bagaimana publik harus bersikap pada tahun politik ini? Paling banter kita akan menjadi penonton, lagi. Seperti pemilu yang sudah sudah. Tapi seharusnya, kita sudah belajar dari 2014, 2017, 2019, perpecahan politik hanya terjadi di para pemilih.
Karena, toh, elite politik sudah berangkulan dan bagi-bagi kepentingan. Ini tentu saja jangan terulang. Kita harusnya sudah menjadi pemilih yang jauh lebih cerdas, lebih bijak, lebih dewasa. Fokus pada rekam jejak dan janji politik yang terukur. Ingat, sudah tiga kali pemilu emosi publik diobok-obok oleh elite politik. Sudah cukuplah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.