Nasional
DPR Dinilai tak Prioritaskan RUU Urgen
Kinerja DPR dinilai hanya sekadar ingin menjawab tuntutan secara kuantitatif.
JAKARTA—Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai capaian legislasi DPR pada 2021 tak bisa dibanggakan. Peneliti Formappi Lucius Karus menilai dari sisi kuantitatif, capaian delapan rancangan undangt-undang (RUU) dari 37 RUU Prioritas 2021 bisa dibilang menggembirakan.
Terutama jika dibandingkan dengan capaian 2020 yang hanya tiga RUU dari 37 daftar RUU Prioritas. Namun, dari delapan RUU yang disahkan pada 2021, tiga RUU tentang Pengadilan Tinggi yang isinya sama hanya keterangan tempat saja yang berbeda.
“Jadi jelas ketiga RUU tentang Pengadilan Tinggi di tiga wilayah itu sesungguhnya berisi satu substansi saja. Jadi riilnya sih mestinya bisa dibilang capaian DPR hanya enam RUU saja,” tutur Lucius kepada Republika, Ahad (2/1).
Ia menambahkan, yang lebih membuat DPR tak perlu terlalu bangga karena delapan RUU yang disahkan, adalah hampir semuanya tak begitu urgen. Lucius menilai, justru DPR mengabaikan aspirasi masyarakat yang menunggu kehadiran RUU urgen seperti RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Penanggulangan Bencana, hingga RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Formappi menilai, kinerja DPR hanya sekadar ingin menjawab tuntutan secara kuantitatif. “Mereka tak ingin menanggung rasa malu jika tak bisa menorehkan capaian lebih banyak dari yang dicatat pada tahun sebelumnya,” tegasnya.
Capaian kinerja legislasi DPR ini juga dikritik Ketua DPP Partai Nasdem Bidang Hubungan Legislatif, Atang Irawan. Ia mengatakan fungsi legislasi DPR tak mengalami perubahan signifikan. "Jika berkaca ke belakang maka dapat dikatakan bahwa Prolegnas masih mengalami potret buram," ujar Atang lewat keterangan tertulisnya, Jumat (31/12).
Miris menurutnya, banyak RUU yang memiliki relasi kuat dengan pemenuhan hak konstitusional rakyat justru tidak ditetapkan sebagai undang-undang. Beberapa di antaranya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Hukum Adat.
"Sebaiknya tarik-menarik kepentingan dan perbedaan pandangan menjadi kekuatan pokok dalam perumusan, pembahasan, dan penetapan RUU yang berimplikasi kepada perlindungan hak-hak fundamental rakyat," ujar Atang.
Ia menyarankan agar pemerintah sebaiknya membentuk pusat/badan regulasi nasional. Tujuannya, agar dalam segi formal peraturan perundang-undangan tidak berakibat munculnya disharmoni, tertata dengan baik, dan lebih efektif. "Potret buram orkestrasi politik legislasi nasional 2021 sebaiknya menjadi catatan strategis di tahun 2022, sehingga tidak perlu terlalu banyak daftar deretan RUU yang pada ujungnya juga tidak selesai dengan maksimal," ujar Atang.
Sementara, Ketua DPR Puan Maharani menjanjikan komitmen DPR mempercepat pengesahan RUU TPKS. "Banyak sekali terjadi kasus-kasus kekerasan seksual dan hal ini menjadikan DPR RI semakin berkomitmen agar RUU TPKS dapat segera disahkan," ujar Puan.
Puan menegaskan kembali bahwa DPR mengupayakan agar RUU TPKS segera bisa disahkan menjadi undang-undang dalam waktu dekat. Adapun pengesahan RUU TPKS disebutnya hanya tinggal persoalan teknis waktu. Selanjutnya, ia berharap pemerintah cepat memproses surat presiden setelah RUU TPKS ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR. Pasalnya, Badan Legislasi (Baleg) sudah menyelesaikan pembahasan drafnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.