Tema Utama
Hasan al-Bashri dan Pelita Ilmu Kota Basrah
Hasan al-Bashri dikisahkan mengalami pencerahan sebelum berkhidmat di jalan sufi.
OLEH HASANUL RIZQA
Dalam sejarah peradaban Islam, ada banyak tokoh yang menjadi pelita ilmu pada masa sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di antara mereka ialah Syekh Hasan al-Bashri.
Ulama yang menghabiskan sisa usianya di Basrah, Irak, itu berasal dari generasi tabiin. Sejak kecil hingga tumbuh dewasa, dirinya belajar dari banyak sahabat Rasulullah SAW.
Karena itu, akhlaknya pun mengikuti keteladanan mereka. Seperti diungkapkan seorang sahabat Rasul SAW, Abu Burdah, “Aku belum pernah melihat lelaki yang (sifatnya) mirip para sahabat Nabi SAW walaupun tidak termasuk (segenerasi) dengan mereka, kecuali al-Hasan.” Kedalaman ilmu dan keluhuran budi pekerti berpadu dalam diri anak asuh ummul mu`minin Ummu Salamah tersebut.
Reputasi Hasan al-Bashri mulai mengemuka sejak kepindahannya dari Madinah al-Munawarrah ke Basrah. Kala itu, lelaki tersebut baru berusia 15 tahun. Sejarah membuktikan, kota di sekitar Sungai Eufrat dan Tigris itu menjadi saksi perjalanan hidupnya sebagai seorang alim. Bagaimanapun, motif awal hijrahnya tidak melulu berkaitan dengan rihlah keilmuan.
Seperti diceritakan Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya, Hasan al-Bashri sebelum dikenal sebagai seorang ulama-sufi berprofesi sebagai pedagang. Ada banyak komoditas yang dijualnya, tetapi yang paling utama ialah perhiasan, semisal mutiara atau permata. Bisnisnya berkembang pesat. Pamornya sebagai pengusaha sukses pun masyhur hingga ke luar negeri.
Pada suatu ketika, Hasan melakukan perjalanan bisnis dari Irak hingga ke wilayah Romawi Timur atau Bizantium. Sesampainya di kota tujuan, ia disambut para pejabat lokal, termasuk seorang menteri. Keesokan harinya, sang menteri mengajaknya untuk turut serta dalam rombongan kerajaan.
View this post on Instagram
“Jika engkau suka, kita akan pergi ke suatu tempat,” kata pejabat Bizantium itu.
“Baiklah,” jawab Hasan tanpa ragu.
Maka seharian itu, pengusaha asal Basrah tersebut membersamai kelompok kecil yang dipimpin sang perdana menteri. Setelah berjam-jam lamanya, mereka akhirnya tiba di padang pasir. Rombongan ini berhenti kira-kira 100 meter dari titik tujuan, yakni sebuah kemah yang berukuran sedang.
Dari kejauhan, sudah tampak betapa “istimewa” tempat tinggal semipermanen tersebut. Hasan diberi tahu tentang tenda itu. Tali temalinya terbuat dari sutra. Adapun pancang-pancangnya yang menancap ke tanah berbahan dasar emas.
Perdana menteri yang menemaninya itu lantas memintanya tetap berdiri, tidak langsung menuju ke kemah tersebut. Selang beberapa waktu kemudian, datanglah sekelompok pasukan. Mereka terlihat mengelilingi tenda unik itu. Komandannya tampak berkata-kata sejenak ke arah dalam kemah, lantas memimpin anak buahnya lagi untuk pergi.
Tak lama kemudian, datanglah kira-kira 500 orang cendekiawan. Rombongan alim ulama itu juga melakukan tindakan yang persis seperti para prajurit tadi. Setelah urusannya selesai, mereka pun beranjak pergi. Selanjutnya, Hasan menyaksikan kaisar dan para pengawalnya mendekati kemah tersebut.
Sesudah mereka semua hilang dari pandangan, sang perdana menteri mempersilakan Hasan untuk mendekati tenda itu. Ternyata, di dalamnya terdapat sebuah kuburan. Pada nisannya tergurat keterangan, inilah tempat peristirahatan terakhir bagi seorang pangeran yang wafat dalam usia muda.
“Apa maksud dari semua yang terjadi barusan?” tanya Hasan.
Perdana menteri itu pun menjelaskan kepadanya. Rombongan prajurit dan komandan militer tadi memang rutin menyambangi makam sang mendiang. Si jenderal sering kali berkata di tepi kuburan itu, “Wahai putra mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa engkau terjadi di medan pertempuran, kami tentu akan mengorbankan jiwa dan raga demi menyelamatkanmu. Namun, maut yang engkau rasakan datang dari Dia (Tuhan) yang tidak sanggup kami perangi, tidak kuasa kami tantang.”
Adapun para cendekiawan yang datang sesudahnya berkata di hadapan kuburan tersebut, “Malapetaka yang menimpa dirimu ini datang dari Dia yang tidak dapat kami lawan dengan ilmu pengetahuan maupun filsafat.”
Sementara, kaisar yang berziarah tadi ialah bapak sang almarhum. Di dekat kuburan putranya itu, sang raja kerap berujar, “Wahai cahaya hati Ayah! Jikalau seluruh pasukan, kaum cerdik-pandai, dan harta benda yang Ayah miliki bisa menghalangi engkau dari kematian, sungguh sudah pasti Ayah lakukan sejak dahulu. Namun, (maut) yang menimpamu sudah ditakdirkan oleh-Nya.”
Cerita dari perdana menteri Bizantium itu sangat menggugah hati Hasan. Begitu kembali ke kota asalnya, lelaki kelahiran Hijaz ini bertekad untuk tidak lagi menyibukkan seluruh waktunya pada urusan duniawi. Ia bersumpah untuk hidup sederhana serta menenggelamkan dirinya dalam ibadah kepada Allah SWT.
Jalan sufi
Setelah mengalami pencerahan batin, Hasan semakin intens menuntut ilmu-ilmu agama. Di Basrah, ada banyak sahabat Nabi SAW yang menjadi gurunya. Seorang di antaranya yang sangat berpengaruh ialah Imran bin Hushain.
Sahabat Rasulullah SAW itu dikenal sebagai periwayat banyak hadis. Imran dan ayahnya masuk Islam sejak peristiwa Khaibar pada 629 M. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, lelaki dari suku Khuzai itu diutus sang amirul mukminin untuk menjadi kadi dan pengajar agama bagi penduduk Basrah.
Imran wafat pada 673 M. Hasan, yang kala itu berusia 30 tahun, tampil sebagai pengganti almarhum dalam membimbing umat Islam setempat. Masyarakat sangat menghormatinya. Khalayak umum, baik rakyat biasa maupun penguasa, memandangnya sebagai seorang cendekiawan paling saleh di seluruh Basrah.
Salah satu tokoh generasi at-tabiit taabi’in Rauh bin Ubadah menukil kesaksian tentangnya, “Pernah ada seorang Muslim menyampaikan cita-citanya, ‘Seandainya saja aku mampu bersikap zuhud seperti zuhudnya Hasan al-Bashri, taat kepada Allah seperti ketaatan yang ditunjukkan Ibnu Sirin, rajin beribadah seperti rajinnya Amir bin Abdu Qais, paham ilmu agama seperti fakihnya Sa’id bin al-Musayyib, serta gemar berzikir seperti Mutharrif bin Syikhkhir.’ Lantas, kami (generasi at-tabiit taabi’in) mengamati bahwa semua tabiat baik itu secara sempurna ada pada diri Syekh Hasan al-Bashri.”
Di Irak, Hasan mendirikan sebuah tarekat sufi. Ajarannya kemudian menginspirasi berbagai bentuk tasawuf yang muncul pada masa-masa sesudahnya. Bagi kaum salik pada abad pertengahan, ulama besar dari Basrah tersebut merupakan sumber ilmu dan hikmah yang luar biasa.
Seorang yang mengakui kebesarannya ialah Fariduddin Attar. Sastrawan-sufi dari abad ke-12 itu merangkum banyak cerita tentang Hasan al-Bashri dalam kitabnya, Tadzkiratul Auliya. Selarik kisahnya mengenai pertobatan sang syekh asal Basrah tersebut saat mengadakan rihlah di Bizantium, seperti yang telah diuraikan di atas.
Kisah ajaib
Narasi lainnya yang juga disampaikan melalui buku tersebut ialah sebuah pengalaman Hasan al-Bashri. Kala itu, sang mursyid membimbing seorang Majusi untuk masuk Islam. Lelaki yang semula kafir tersebut bernama Simeon. Hasan mengenalnya sebagai seorang tetangga yang tekun beribadah di kuil api.
Sampai suatu ketika, Simeon yang saat itu sudah berumur 70 tahun mengalami sakit. Keadaannya kian parah. Sakaratul maut seolah-olah membayang di depan mata.
Hasan dan beberapa warga lantas menjenguknya. Sang syekh memandangnya dengan penuh simpati. Sebab, tetangganya itu selalu senang berbuat baik. Karenanya, ingin sekali mengajaknya untuk memeluk Islam.
Awalnya, Simeon ragu karena berdasarkan pengalamannya, ada banyak Muslim yang hipokrit. Sebagai contoh, mereka menganggap akhirat lebih utama daripada dunia, tetapi sehari-hari hanya mengejar duniawi. Tokoh-tokoh Islam pun selalu berceramah tentang kematian sebagai sesuatu yang tak terelakkan, tetapi kaum Muslimin seperti tidak melakukan persiapan apa pun untuk menghadapi maut.
Sekarang, katakanlah orang-orang Muslim bertindak seperti yang engkau gambarkan, tetapi bagaimana keadaanmu sendiri? Mereka mengakui keeasaan Allah, sementara engkau menghabiskan sepanjang usia dalam penyembahan api.
“Sekarang, katakanlah orang-orang Muslim bertindak seperti yang engkau gambarkan, tetapi bagaimana keadaanmu sendiri? Mereka mengakui keeasaan Allah, sementara engkau menghabiskan sepanjang usia dalam penyembahan api,” kata Hasan.
Setelah merenung, akhirnya Simeon tergugah. Hatinya condong pada tauhid. Masih berbaring lemas di atas ranjangnya, ia berbisik ke telinga Hasan. Lelaki tua itu rupanya meminta sang syekh agar menuliskan untuknya sebuah surat jaminan. Isinya ialah bahwa dengan memeluk agama Islam dirinya bisa selamat di akhirat.
Hasan menuruti permintaannya itu. Di atas secarik kertas, tercantum keterangan bahwa Simeon telah berislam. “Sesudah aku mati, kuburkanlah aku dan selipkan surat itu di tanganku.” Tidak lama kemudian, setelah menyampaikan pesan tadi sang mualaf mengembuskan nafas terakhir.
Hasan dan sejumlah orang mengurus jenazahnya secara Islam. Wasiat sang almarhum pun ditunaikan secara baik.
Ketika malam tiba, Hasan mengalami mimpi berjumpa dengan Simeon. “Bagaimana keadaanmu?” tanya sang alim kepadanya.
“Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu,” kata Simeon, “berkat ridha-Nya, Allah memberikan kepadaku banyak karunia yang tidak mungkin kujelaskan dengan kata-kata. Maka kini ambil saja surat jaminan itu. Aku tidak memerlukannya lagi.”
Segera setelahnya, Hasan terjaga dari tidur. Betapa terkejutnya ia. Sebab, surat yang tadi pagi diselipkannya di jemari almarhum kini sudah berada di tangannya.
Berjumpa dengan Perempuan Sufi
Hasan al-Bashri wafat pada tahun 110 Hijriyah atau 728 M. Kepergiannya ke alam barzakh menyisakan duka bagi kaum Muslimin, khususnya warga Kota Basrah, Irak. Hingga tutup usia, sang ulama-sufi telah mengajarkan banyak ilmu dan hikmah. Legasinya terus berpengaruh bahkan hingga berabad-abad kemudian.
Hasan diketahui hidup sezaman dengan seorang sufi dari kalangan perempuan, yakni Rabiah al-Adawiyah. Juan Eduardo Campo dalam Encyclopedia of Islam (2009) menjelaskan, kemungkinan kedua orang alim itu tidak pernah berjumpa satu sama lain.
Bagaimanapun, beberapa legenda kerap mengisahkan mereka. Tidak hanya saling bertemu. Keduanya bahkan diceritakan hampir menjadi sepasang suami-istri.
Dalam Tadzkiratul Auliya, Fariduddin Attar mengisahkan, suatu ketika Rabiah mengirimkan kepada Hasan tiga benda, yakni sepotong lilin, jarum, dan sehelai rambut. Dalam suratnya, perempuan itu berkata, “Seperti lilin, biarkan dirimu terbakar. Jadilah seperti jarum, yang bekerja selalu walau tidak memiliki apa-apa. Apabila kedua hal itu sudah engkau lakukan, maka seribu tahun akan pendek seperti sehelai rambut.”
Dalam surat balasan, Hasan menanyakan langsung kepadanya, “Apakah engkau ingin kita menikah?”
Rabiah menjawab: “Ikatan pernikahan hanya untuk mereka yang memiliki keakuan. Adapun keakuanku telah lenyap karena aku telah menghilang dan hanya ada melalui Dia (Allah). Diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam bayang-bayang kuasa-Nya. Engkau harus meminta diriku kepada-Nya, bukan kepadaku.”
Suatu ketika, Hasan mendapati Rabiah di tepi danau. Sang sufi lalu melemparkan sajadahnya ke atas air danau, serta mengajak perempuan itu untuk shalat di atasnya. Ternyata, karamah Rabiah lebih luar biasa. Wanita itu melemparkan sajadahnya ke udara dan naik ke atasnya.
“Kemarilah Hasan, shalatlah di tempat orang-orang tak bisa melihat kita,” katanya.
Di lain waktu, mursyid dari Basrah itu menanyakan kepada Rabiah, darimana dirinya mendapatkan pencerahan batin. “Aku merelakan semua hal yang telah kuperoleh kepada-Nya,” jawab perempuan-sufi itu.
“Bagaimana engkau mengenal-Nya?” tanya Hasan lagi. “Engkau lebih suka bertanya, tetapi aku lebih suka menghayati.”
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Hasan al-Bashri, Ahli Hikmah dari Basrah
Hasan menjadi ulama yang paling masyhur di Basrah.
SELENGKAPNYA