Dialektika
Menimbang Pembelajaran Tatap Muka 100 Persen
Pemerintah bersiap melangkah lebih jauh dengan adopsi pembelajaran tatap muka secara penuh.
OLEH YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; NURI IKAWATI, Peneliti IDEAS; MELI TRIANA DEVI, Peneliti IDEAS; FEBBI MEIDAWATI, Peneliti IDEAS
Setelah membuka kembali ratusan ribu sekolah dan mengembalikan puluhan juta anak kembali ke sekolah melalui pertemuan tatap muka (PTM) terbatas pada September 2021 lalu, pemerintah kini bersiap melangkah lebih jauh: adopsi PTM secara penuh (100 persen) pada Januari 2022.
Rencana pemerintah membuka sekolah dengan kapasitas penuh ini dimotivasi oleh tingginya tingkat learning loss (hilangnya pengalaman dan capaian belajar) selama 18 bulan pembelajaran dengan belajar dari rumah (BDR). Banyaknya klaster sekolah yang muncul selama pelaksanaan PTM terbatas serta ancaman serangan Covid-19 gelombang ketiga seiring kemunculan varian Omikron, tidak menyurutkan nyali pemerintah untuk melakukan eksperimen berisiko tinggi ini.
Adopsi PTM 100 persen direncanakan hanya dilakukan di wilayah dengan status risiko pandemi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 1 dan 2, serta cakupan vaksinasi minimal 80 persen baik murid maupun guru. Pembukaan sekolah dengan kapasitas penuh juga tetap mengharuskan penegakan protokol kesehatan, termasuk pengaturan tempat duduk dan durasi belajar maksimal enam jam.
Pada “Dilema BDR dan PTM”, Republika, 11 November 2021, kami telah menyampaikan temuan survei yang menguatkan konsensus bahwa BDR dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) adalah pengganti yang jauh dari sepadan dari pembelajaran normal di sekolah dengan PTM. Meneruskan BDR secara penuh adalah pilihan yang tidak bijaksana dan merugikan peserta didik secara signifikan. Namun, adopsi PTM secara penuh adalah pilihan berisiko tinggi untuk penyebaran virus dan juga bukan sesuatu yang sangat diinginkan dan diminta oleh peserta didik.
Untuk mendalami pilihan-pilihan pembelajaran ideal di masa pandemi, IDEAS melakukan survei tatap muka dengan protokol kesehatan pada Agustus-September 2021 yang lalu terhadap 98 kepala sekolah, 515 guru dan 826 peserta didik dari 114 satuan pendidikan setingkat SD-SMP yang tersebar di sembilan provinsi.
PTM di tengah wabah
Sejak September 2021, pasca serangan virus gelombang kedua dan penerapan PPKM, pemerintah mendorong adopsi PTM terbatas di seluruh sekolah yang berada di wilayah dengan status risiko PPKM Level 1-3. Secara menarik, survei kami menemukan sebagian besar sekolah, yaitu sebesar 67,3 persen, sejak lama telah mengadopsi PTM dengan derajat berbeda-beda, terlepas dari status risiko pandemi wilayahnya. Bahkan 9,2 persen responden sekolah telah mengadopsi pembelajaran dengan PTM secara penuh (100 persen PTM) setidaknya sejak Juni 2021.
Preferensi sekolah yang besar terhadap PTM, bahkan sejak awal pandemi, mengindikasikan kesulitan yang dihadapi sekolah untuk mengadopsi BDR dan keterbatasan kemampuan melakukan PJJ. Sedemikian besar resistensi terhadap BDR bahkan ketika gelombang kedua melanda, status risiko wilayah yang memburuk tidak mampu menghentikan adopsi PTM.
Dari 67,3 persen responden sekolah yang mengadopsi PTM, setidaknya sejak Juni 2021, berturut-turut 41,8 persen dan 14,3 persen di antaranya berlokasi di wilayah PPKM Level 3 dan 4 pada 26 Juli – 2 Agustus 2021. Dan pada periode waktu yang sama, dari 9,2 persen responden sekolah yang telah menerapkan PTM secara penuh, seluruhnya berlokasi di wilayah PPKM Level 3. Seiring gelombang kedua yang berpuncak pada Juli 2021 dan penerapan PPKM, PTM terbatas hanya diperbolehkan di wilayah PPKM Level 1 dan 2.
Kemampuan mengajar dan diversifikasi metode pengajaran dalam PJJ oleh sekolah dan guru adalah sangat bervariasi, dan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain, kemampuan teknologi informasi guru, kepemilikan gawai hingga akses jaringan internet. Hal ini membuat sekolah dan guru di wilayah perkotaan secara umum memiliki keunggulan dalam PJJ.
Hasil survei kami menunjukkan, sekolah yang lebih cenderung mengadopsi BDR memiliki guru dan peserta didik yang lebih siap untuk pembelajaran PJJ. Penutupan sekolah karenanya memberi dampak negatif jauh lebih besar kepada si lemah: sekolah di daerah tertinggal dan peserta didik dari kelompok miskin. Semakin lama sekolah ditutup, semakin besar kesenjangan pendidikan dan semakin besar learning loss yang ditanggung oleh si miskin.
Dengan ketimpangan antar sekolah yang lebar dalam kemampuan PJJ, maka adopsi PTM sejak awal oleh banyak sekolah di masa pandemi, jauh sebelum kebijakan pembukaan kembali sekolah diterapkan, dapat dipandang sebagai upaya sekolah untuk menyelamatkan kualitas pembelajaran peserta didiknya (survival strategy).
Dengan keterbatasan kemampuan PJJ dan proses pembelajaran daring yang seringkali tidak efektif, adopsi PTM bahkan sejak awal pandemi menjadi pilihan rasional bagi sekolah untuk menjaga capaian belajar peserta didik.
Dengan keterbatasan kemampuan PJJ dan proses pembelajaran daring yang seringkali tidak efektif, adopsi PTM bahkan sejak awal pandemi menjadi pilihan rasional bagi sekolah untuk menjaga capaian belajar peserta didik.
Pengalaman PTM oleh sekolah di masa pandemi secara menarik menunjukkan pola yang mirip dengan fitur PTM terbatas. Dalam ketentuan PTM terbatas, satu rombongan belajar hanya 50 persen kapasitas kelas, dua kali pertemuan dalam satu pekan dan durasi belajar dua jam.
Hasil survei kami menunjukkan bahwa sekolah hanya melakukan PTM secara tidak penuh dan dengan kehati-hatian yang tinggi. Dari 515 responden guru, sekitar 30 persen di antaranya tidak melakukan PTM dan 34 persen melakukan PTM antara 1 -10 kali per bulan.
Frekuensi tertinggi adalah 6 – 14 kali per bulan atau 2 – 3 kali per pekan, yaitu sebesar 44,7 persen. Selain jumlah PTM yang moderat, durasi PTM juga terbatas. Sekitar 60 persen responden guru hanya melakukan PTM 1 – 3 jam per hari, dan sekitar 30 persen tidak melakukan PTM.
PTM bersyarat mulai diizinkan untuk satuan pendidikan di wilayah zona hijau pada Juli 2020 dan di wilayah zona kuning pada Agustus 2020. Memasuki Januari 2021, PTM diperbolehkan di semua zona sepanjang pemerintah daerah memberikan izin dan satuan pendidikan memenuhi semua syarat berjenjang.
Dengan kata lain, banyak sekolah telah lama mengadopsi PTM terbatas dan terbiasa dengannya terlepas dari status risiko pandemi wilayah di mana sekolah mereka berada.
Learning loss
Berbagai studi menghasilkan konsensus terjadinya penurunan kualitas pendidikan Indonesia secara signifikan di bawah BDR yang diterapkan sejak awal pandemi. Pelaksanaan BDR yang cenderung tidak efektif dan ketimpangan kemampuan PJJ daring yang lebar antar sekolah dan peserta didik, telah menciptakan learning loss (hilangnya pengalaman dan capaian belajar) dan juga learning poverty (hilangnya kemampuan belajar) pada peserta didik, dengan dampak negatif terbesar dialami oleh peserta didik dari kelompok sosial-ekonomi terbawah.
Hasil survei kami, dalam persepsi responden peserta didik, menunjukkan arah kesimpulan yang serupa: pengalaman dan capaian belajar peserta didik jauh menurun di masa pandemi. Sebelum pandemi, 85,2 persen responden peserta didik mengaku mendapatkan 3 - 6 mata pelajaran (mapel) per hari.
Selama pandemi, 91,4 persen responden mengaku hanya mendapat 1 – 3 mapel saja per hari. Secara keseluruhan, mapel yang diterima peserta didik menurun dari rata-rata 3,7 mapel per hari sebelum pandemi menjadi 2,2 mapel per hari di saat pandemi.
Temuan ini konsisten dengan persepsi responden guru. Sebelum pandemi, 80,5 persen responden guru mengaku mengajar 3 – 6 mapel per hari. Di masa pandemi, 92,4 persen responden mengaku hanya mengajar 1 – 3 mapel per hari.
Lebih jauh, selama pandemi, 89,7 persen responden peserta didik mengaku menghabiskan 5 – 8 jam per hari untuk belajar. Di masa pandemi, 85,2 persen responden hanya belajar 2 -4 jam per hari.
Secara keseluruhan, waktu belajar peserta didik menurun dari rata-rata 5,6 jam per hari sebelum pandemi menjadi hanya 2,7 jam per hari di saat pandemi. Temuan ini kembali konsisten dengan persepsi responden guru. Sebelum pandemi, 89,5 persen responden guru mengaku menghabiskan 4 – 8 jam per hari untuk mengajar. Di masa pandemi, 95,1 persen guru mengaku hanya mengajar 1 – 4 jam per hari.
Sebelum pandemi, ketimpangan pendidikan banyak disumbang oleh ketertinggalan wilayah dan tingkat pendapatan keluarga. Kesenjangan pendidikan muncul sebagai hasil dari akses dan kualitas pendidikan yang tidak merata.
Learning loss yang muncul sebagai akibat penutupan sekolah, bebannya terdistribusi tidak merata, di mana kelompok miskin menanggung beban learning loss jauh lebih besar.
Pandemi telah memperburuk masalah ketimpangan pendidikan ini di mana kebijakan penutupan sekolah untuk menekan penyebaran virus, telah membuat akses kelompok miskin dan mereka yang tinggal di daerah tertinggal, menjadi semakin sulit. Learning loss yang muncul sebagai akibat penutupan sekolah, bebannya terdistribusi tidak merata, di mana kelompok miskin menanggung beban learning loss jauh lebih besar.
BDR membuat ketimpangan pendidikan Indonesia yang telah lama ada, menjadi semakin melebar. Peserta didik yang tidak memiliki akses memadai terhadap PJJ dan pembelajaran daring, jaringan internet, guru yang berkualitas dan adaptif, orang tua yang mampu mendampingi dan mampu memberikan fasilitas PJJ dan pembelajaran daring yang bermutu, dan sekolah yang memberi dukungan optimal, akan kehilangan kesempatan belajar yang seharusnya mereka dapatkan dalam pembelajaran normal.
Dampak redistributif BDR di masa pandemi adalah mencemaskan: si anak miskin dan rentan semakin jauh tertinggal, semakin rendah keahlian dan ketrampilannya, semakin lemah daya saingnya di pasar tenaga kerja, dan akan semakin sulit memperbaiki kesejahteraannya di masa depan.
Masa depan menjadi semakin suram bagi si lemah dan marjinal. Keuntungan dari bonus demografi pada 2030 – 2040, dimana penduduk usia produktif mencapai 64 persen dari total populasi, dapat berbalik menjadi beban demografi.
Pengganti PTM yang setara
Membuka kembali sekolah adalah keharusan dan tidak terhindarkan di banyak wilayah dengan keterbatasan kemampuan PJJ. Namun dengan merebaknya klaster sekolah seiring PTM terbatas, semakin tingginya mobilitas masyarakat seiring pelonggaran aktivitas sosial-ekonomi, dan ancaman varian baru Covid-19, kebijakan PTM 100 persen adalah eksperimen yang berisiko tinggi.
Eksperimen PTM 100 persen akan menjadi pertaruhan besar dalam lonjakan kasus Covid-19, tidak hanya bagi munculnya klaster sekolah, tapi juga klaster keluarga seiring anak berpotensi besar menjadi carrier (pembawa virus).
Dengan pandemi masih bersama kita dan belum diketahui dengan pasti kapan akan berakhir, alih-alih terburu-buru mengejar PTM 100 persen, memperbaiki dan menyempurnakan pelaksanaan PTM terbatas serta menyiapkan desain BDR yang lebih nyaman, menyenangkan, dan terjangkau, jauh lebih prioritas dan mendesak.
Hasil survei kami menunjukkan, BDR adalah substitusi yang jauh dari sepadan dengan PTM. Dalam pelaksanaan BDR selama pandemi, responden guru banyak menggantungkan diri pada PJJ daring. Metode belajar daring paling populer yang dipilih responden guru adalah diskusi virtual melalui aplikasi WhatsApp Group atau Google Classroom. Pertemuan daring melalui aplikasi Zoom dan Google Meet menjadi pilihan dominan responden guru berikutnya.
PJJ dengan pertemuan daring yang efektivitasnya lebih tinggi, terlihat masih menjadi pilihan yang sulit dan mahal. Diskusi virtual dengan efektivitas rendah menjadi pilihan utama PJJ secara sederhana karena ia jauh lebih terjangkau dan murah baik bagi guru maupun peserta didik.
Lebih jauh, belajar daring semakin tidak efektif ketika frekuensi dan durasinya terbatas. Frekuensi belajar daring per pekan sangat bervariasi mulai dari hanya 1 hari per pekan hingga 6 hari per pekan. Durasi belajar daring per hari adalah minim, dengan mayoritas responden guru menyatakan hanya 2 - 4 jam per hari.
Pelaksanaan BDR yang tidak efektif ini, terutama bagi peserta didik dengan keterbatasan sosial-ekonomi, membuat fokus utama pembelajaran tatap muka seharusnya adalah memulihkan learning loss pada peserta didik miskin dan rentan. Berfokus memulihkan learning loss pada peserta didik yang lemah akan memastikan mereka mampu mengikuti pembelajaran normal sekaligus mengikis kesenjangan antar peserta didik di dalam sekolah.
Mengejar PTM tanpa memulihkan learning loss si miskin hanya akan memperlebar kesenjangan. PTM Terbatas harus beradaptasi dan didesain dengan fokus memulihkan learning loss peserta didik paling lemah. Hal ini dilakukan dengan cara mendorong sekolah dan guru melakukan pemetaan ulang kemampuan peserta didik (diagnostic assessment) dan merancang pengajaran sesuai kemampuan peserta didik yang berbeda (differentiated teaching).
Mengantisipasi kemungkinan terburuk pandemi, menjadi krusial untuk reformasi BDR agar senyaman dan sepadan dengan PTM.
Mengantisipasi kemungkinan terburuk pandemi, menjadi krusial untuk reformasi BDR agar senyaman dan sepadan dengan PTM. Dalam persepsi peserta didik, faktor-faktor utama yang akan membuat BDR lebih menyenangkan adalah adanya komponen PTM meski tidak rutin, diikuti dengan inovasi dalam materi ajar yang lebih menyenangkan, guru yang adaptif dan pendamping belajar yang ramah.
Dengan kata lain, kombinasi PTM terbatas dan BDR yang menyenangkan adalah pilihan yang paling diinginkan peserta didik.
Dalam persepsi guru, faktor utama agar BDR setara kualitasnya dengan PTM adalah pelibatan orang tua/wali murid yang intensif dalam pelaksanaan BDR. Membangun komitmen orang tua/wali dalam menemani anak belajar, dengan dukungan komunitas, tokoh masyarakat dan aparat pemerintah lokal, menjadi salah satu praktik terbaik yang bisa direplikasi.
Faktor krusial berikutnya adalah meningkatkan kemampuan guru menyiapkan bahan ajar yang menyenangkan dan tidak bergantung sepenuhnya pada kuota internet. PJJ tanpa kuota internet dan inovasi pembelajaran berbasis luring untuk mereka yang minim akses pembelajaran daring, menjadi krusial.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.