Kabar Utama
Menkeu: Pemulihan Ekonomi Makin Kuat
Pendapatan negara tercatat sebesar Rp 1.699,4 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp 2.310,4 triliun.
JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pemulihan ekonomi dalam negeri makin kuat pada akhir tahun ini. Hal tersebut tecermin dari solidnya kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan meningkatnya kinerja perdagangan.
Sri menyampaikan, perekonomian Indonesia yang menguat telah membuat kinerja APBN membaik. Penerimaan negara tercatat terus mengalami peningkatan, sementara jumlah defisit anggaran berkurang.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, defisit APBN per November 2021 sebesar Rp 611 triliun atau mencapai 3,63 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sri mengatakan, jumlah defisit turun sebesar 5,73 persen dibandingkan dengan November tahun lalu.
“Defisit APBN pada November 2021 sebesar 3,63 persen. Rakyat dibantu APBN, tetapi di sisi lain APBN juga mengalami pemulihan,” kata Sri dalam konferensi pers APBN November 2021 secara virtual, Selasa (21/12).
Defisit terjadi karena jumlah penerimaan negara lebih kecil dibandingkan dengan belanja. Pendapatan negara tercatat sebesar Rp 1.699,4 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp 2.310,4 triliun. Pendapatan negara tersebut berasal dari pajak sebesar Rp 1.082,6 triliun, kepabeanan dan cukai sebesar Rp 232,3 triliun, dan penerimaan bukan negara pajak (PNBP) sebesar Rp 382,5 triliun.
“Ini yang paling penting ditunjukkan oleh pajak yang penerimaannya terus naik dari 15 persen pada Oktober menjadi 17 persen pada November."
Menkeu memperkirakan, realisasi penerimaan negara akan melebihi dari target yang ditetapkan dalam APBN. Hingga November, kata Sri, penerimaan negara dari sektor pajak sudah terealisasi sebesar 88 persen dari target. “Penerimaan yang tumbuh positif menunjukkan aktivitas ekonomi bergerak dan sejalan dengan pemulihan ekonomi,” katanya.
Ia mengatakan, peningkatan penerimaan negara tidak hanya didorong pajak penghasilan (PPh) minyak dan gas yang tumbuh 57,7 persen. Menurut dia, penerimaan pajak terungkit berkat PPh non-migas yang tumbuh 12,6 persen. "Hal itu menunjukkan aktivitas ekonomi tumbuh positif. Pajak pertambahan nilai (PPN) juga tumbuh 19,8 persen, didorong PPN dalam negeri dengan aktivitas ekonomi yang mulai normal," katanya.
Menkeu menambahkan, menguatnya ekonomi Indonesia juga terlihat dari peningkatan kinerja perdagangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus dagang November 2021 tercatat sebesar 3,51 miliar dolar AS, lebih tinggi 35,4 persen dibandingkan dengan November 2020.
Secara kumulatif pada Januari-November 2021, surplus mencapai 34,32 miliar dolar AS yang merupakan capaian tertinggi dalam lima tahun terakhir. "Surplus neraca perdagangan membuktikan ekonomi Indonesia semakin kuat," kata Sri.
Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai penurunan defisit APBN pada November 2021 merupakan capaian yang wajar. Sebab, aktivitas ekonomi sudah mulai dibuka kembali dan ada normalisasi permintaan ekspor dari mitra dagang utama. “Jangan terlalu optimistis dulu melihat pencapaian APBN meskipun terjadi pertumbuhan penerimaan negara, tapi faktornya adalah low base effect," kata Bhima, Selasa (21/12).
Dari sisi penerimaan pajak, lanjut Bhima, jika dibandingkan Oktober 2019, realisasi penerimaan pajak masih lebih rendah. Pada Oktober 2019, realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.173 triliun, sedangkan pada November sebesar Rp 1.159 triliun.
“Artinya, ekonomi belum bisa kembali seperti prapandemi. Butuh waktu untuk pulih secara penuh dan ini yang perlu diperhatikan pemerintah, sehingga jangan lengah,” ucapnya.
Bhima meminta pemerintah juga mewaspadai kenaikan harga komoditas. Pemerintah tak boleh terlena dengan kenaikan harga komoditas sawit dan batu bara yang saat ini menguntungkan pemerintah dengan meningkatnya penerimaan negara bukan pajak. Sebab, kenaikan harga komoditas bisa berimbas pada inflasi dan lonjakan subsidi energi.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyarankan pemerintah untuk menjalankan perdagangan yang terbuka dengan tetap memperhatikan kelancaran rantai pasok dalam negeri. Hal itu ia nilai penting demi mempertahankan surplus neraca dagang yang menjadi salah satu indikator pemulihan ekonomi.
"Pemerintah harus berfokus pada orientasi perdagangan terbuka dengan tidak melupakan kepentingan kelancaran rantai pasok dalam negeri yang dapat mendukung perekonomian di daerah," kata Pingkan.
Pingkan juga meminta pemerintah mempermudah proses impor bahan baku untuk menggerakkan industri. Penurunan nilai impor, terutama untuk bahan baku industri, seharusnya dilihat sebagai sebuah peringatan.
Nilai impor Indonesia pada November 2021 tercatat memiliki valuasi tertinggi sepanjang sejarah dengan mencapai 19,33 miliar dolar AS. Porsi impor terbesar Indonesia masih dipegang sektor migas dengan impor pada bulan November ini mencapai 3,03 miliar dolar AS atau setara dengan pertumbuhan 59,4 persen dari Oktober 2021 dan 178,9 persen secara tahunan. Porsi terbesar ada pada komoditas hasil minyak.
Dari sektor non-migas, impor terbanyak adalah mesin atau peralatan mekanis dan bagiannya serta mesin atau peralatan elektrik dan bagiannya dengan masing-masing mencatatkan valuasi sebesar 2,6 miliar dolar AS dan 2 miliar dolar AS. "Berkurangnya impor juga merupakan salah satu dampak pandemi Covid-19 karena industri mengurangi jumlah tenaga kerja dan juga produksinya. Berkurangnya jumlah tenaga kerja dan produksi tentu juga mengurangi jumlah perdagangan, baik ekspor maupun impor," katanya.
Menurut Pingkan, surplus neraca perdagangan belum tentu menunjukkan performa ekonomi sedang berjalan dengan baik. "Ini harus dilihat secara detail ekspor-impor pada komoditas," ujarnya lagi.
Sejauh ini, Cina masih menjadi negara tujuan ekspor non-migas Indonesia yang terbesar dengan 5,4 miliar dolar AS diikuti Amerika Serikat, Jepang, India, dan Malaysia yang masing-masing valuasinya berada di atas 1 miliar dolar AS. Untuk pangsa ekspor regional, pasar ASEAN masih memimpin dengan 4,1 miliar dolar AS jika dibandingkan dengan pasar Uni Eropa di 1,8 miliar dolar AS.
"Pemerintah perlu terus membuka peluang ekspor pada negara-negara non-tradisional untuk meningkatkan jangkauan ekspor produk Indonesia. Peningkatan daya saing produk juga harus terus dilakukan," kata Pingkan.
Sektor Minerba
Sektor mineral dan batu bara (minerba) memberikan kontribusi cukup besar bagi penerimaan negara. Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), minerba memberikan setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 70,05 triliun sepanjang 1 Januari-10 Desember 2021.
Direktur Penerimaan Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Muhammad Wafid mengatakan, nilai setoran tersebut mencapai 179,14 persen dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 39,1 triliun. "Di tengah tantangan pandemi Covid-19, Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara tetap dapat mencapai target PNBP yang telah ditetapkan," kata Wafid di Jakarta, Selasa (21/12).
Hingga 10 Desember 2021, investasi subsektor mineral dan batu bara telah mencapai 3,5 miliar dolar AS atau 81,3 persen dari target tahun 2021 sebesar 4,3 miliar dolar AS. Pemerintah, menurut dia, terus mendorong terjaganya iklim investasi mineral dan batu bara dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Wafid menyampaikan, realisasi produksi dan pemanfaatan mineral terutama produk nikel, baik dalam bentuk feronikel, nickel pig iron, maupun nikel matte, mengalami peningkatan signifikan hingga Desember 2021. Sementara itu, pemanfaatan batu bara domestik juga mengalami peningkatan. Dari target yang ditetapkan sebesar 625 juta ton, sedangkan angka realisasi mencapai 560 juta ton atau 89,6 persen.
Adapun pemanfaatan batu bara untuk domestik dari target 137,5 juta ton sudah mencapai 121,3 juta ton atau 88,2 persen dari target. "Dan yang terpenting adalah kebutuhan batu bara dalam negeri telah terpenuhi semuanya," ujar Wafid.
Center of Reform on Economics (CORE) mengatakan, sektor pertambangan memang menjadi penopang penerimaan pajak. Sektor pertambangan, seperti komoditas batu bara dan sawit, tumbuh signifikan sepanjang tahun ini.
“Dua komoditas utama Indonesia, batu bara dan sawit mengalami peningkatan yang relatif signifikan. Maka tidak heran, pertumbuhan penerimaan sektor pertambangan menjadi sektor dengan pertumbuhan penerimaan pajak terbesar sampai November 2021,” ujar Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet kepada Republika, Selasa (21/12).
Jika mengukur penerimaan pajak tahun lalu, menurut Yusuf, penerimaan pajak tahun ini relatif lebih tinggi. Hal ini tidak terlepas dari proses pemulihan ekonomi yang memang jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu.
Ia mengatakan, meskipun terjadi gelombang kedua Covid-19 pada medio Juli dan Agustus, hal tersebut ternyata tidak berdampak sangat signifikan terhadap perekonomian. Sebab, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh positif pada kuartal III 2021.
“Penopang pertumbuhan ekonomi kuartal III, ditopang oleh investasi, juga ekspor yang masih bisa tumbuh level yang relatif tinggi. Kenaikan ekspor tentu terdorong oleh meningkatkan harga komoditas,” kata dia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor sepanjang Januari-November 2021 tercatat sebesar 209,1 miliar dolar AS, naik 42,6 persen dari periode sama tahun lalu yang mencapai 146,6 miliar dolar AS. Ekspor migas mencapai 11,1 miliar dolar AS. Adapun di sektor nonmigas, ekspor pertanian mencapai 3,8 miliar dolar AS, ekspor industri pengolahan 160 miliar dolar AS, serta ekspor tambang dan lainnya mencapai 34 miliar dolar AS.
Adapun impor nilainya lebih kecil dari ekspor, yakni 174,8 miliar dolar AS. Berdasarkan penggunaan barang, impor barang konsumsi mencapai 17,6 miliar dolar AS. Sementara itu, impor bahan baku/penolong senilai 131,7 miliar dolar AS dan impor barang modal sebesar 4,2 miliar dolar AS.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.