Opini
Perempuan Penjaga Bumi
Pengarusutamaan peran perempuan dalam memitigasi dan memulihkan krisis ekologi adalah modal sosial-ekologi yang penting.
KISWANTO; Mahasiswa Doktoral Ilmu Lingkungan Undip
Bumi adalah perwujudan “Ibu Pertiwi”, simbolisasi ini menempatkan kedudukan bumi sebagai kerahiman yang penuh kasih. Ia menjadi pelindung bagi segenap isinya termasuk manusia.
Bumi dalam pandangan kosmologi timur dipahami berdasarkan prinsip feminin di mana adanya suatu hubungan dialektis dan koeksistensi yang saling melengkapi.
Hubungan antara penciptaan dan perusakan, penyatuan dan perpecahan menjadi siklus pergerakan dinamis alam semesta. Sebagaimana Shiva (1988; 1998) tulis, dalam filsafat India hubungan tersebut ialah antara prakriti (alam) dan purusha (manusia).
Hubungan antara prakriti dan purusha saling memelihara dan bukannya terpisah. Ini berbeda dengan pandangan Barat (pasca-era pencerahan dan revolusi industri), yang memosisikan kedua entitas tersebut terpisah bahkan salah satunya mendominasi.
Bumi dalam pandangan kosmologi timur dipahami berdasarkan prinsip feminin di mana adanya suatu hubungan dialektis dan koeksistensi yang saling melengkapi.
Kalangan ekofeminisme menempatkan perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam. Mereka berpendapat, terjadi hubungan konseptual, simbolis, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi.
Ekofeminisme berusaha menunjukkan hubungan antara semua bentuk opresi manusia, tetapi juga memfokuskan pada usaha manusia sendiri untuk mendominasi alam. Dalam penegasan ini, bumi merupakan sumber penghidupan bagi semua makhluk hidup.
Sama halnya dengan perempuan yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia melalui siklus kelahiran. Hal ini yang menjadi landasan bahwa perusakan terhadap hutan-hutan sama halnya dengan opresi terhadap penindasan kaum perempuan.
Secara mendasar kesadaran penguasa dan pengambil kebijakan masih belum berpihak terhadap keseimbangan gender dan keseimbangan ekologi. Sehingga dalam kebijakan terhadap air, tanah dan hutan pun, perempuan tidak dilibatkan.
Penjaga alam
Peran perempuan dalam menjaga ekologi sering disimbolkan sosok sang dewi. Masyarakat Jawa memaknai bahwa dewi sebagai sumber penjaga ekosistem dalam siklus ekologi. Bahkan sejak berabad lamanya, perempuan bertindak sebagai penyedia kehidupan.
Peran perempuan dalam menjaga ekologi sering disimbolkan sosok sang dewi. Masyarakat Jawa memaknai bahwa dewi sebagai sumber penjaga ekosistem dalam siklus ekologi.
Tak heran di dalam kebudayaan Timur khususnya di Jawa, kita mengenal Dewi Sri yang tugasnya mengatur ketersediaan pangan dan kemakmuran.
Sistem pangan dibuat berdasarkan siklus ekologi sehingga mampu berproduksi sendiri dan berkelanjutan karena sumber daya yang didaur ulang secara internal menyediakan masukan yang diperlukan biji, kelembapan dan hara tanah, serta pengendalian hama (Shiva, 1988; 1998).
Namun, sistem ketahanan pangan ini kian terpinggirkan dengan hadirnya paradigma pertanian ilmiah yang membawa gangguan siklus ekologi dalam memproduksi pangan. Ini menggusur peran signifikan perempuan dalam pengelolaan dan pemeliharaan bumi.
Peran perempuan Dayak Mali dalam menjaga alam mereka, ibarat ibu merawat anak. Terdapat ikatan psikologis yang kuat antara perempuan dan alam, di mana adat dan budaya lama masih mereka pertahankan hingga zaman modern saat ini.
Tradisi seperti ini, secara tidak langsung menjaga keseimbangan ekosistem alam; manusia menghormati alam, menjaga hubungan baik dengan alam. Maka, tak dapat dimungkiri tradisi merupakan konsep perlindungan hutan paling sederhana.
Terdapat ikatan psikologis yang kuat antara perempuan dan alam, di mana adat dan budaya lama masih mereka pertahankan hingga zaman modern saat ini.
Tradisi ini menyelamatkan sekitar 7.269 hektare tanah adat. Pemanfaatan yang mereka lakukan masih dengan cara tradisional dan tidak merusak keseimbangan ekologi. Kalimantan Barat memiliki potensi hutan sangat besar, tersebar di setiap kabupaten dan kota.
Namun, segelintir orang berkuasa membiarkan investor merusak tatanan ekologi. Eksploitasi hutan secara besar-besaran sudah semestinya dihentikan.
Perempuan memandang, keadaan ekologi merupakan tempat mereka tinggal. Sebagian besar suku ini mendiami wilayah pedesaan, mereka menjaga betul keseimbangan ekologi di wilayah mereka.
Lebih lanjut isu ekologi adalah satu kesatuan analisis utuh dengan isu gender, keduanya terkait erat. Terdapat hal mendasar yang menjadi akibat dari ketidaksadaran gender dan ketidaksadaran ekologi; kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan.
Krisis ekologi
Pengarusutamaan peran perempuan dalam memitigasi dan memulihkan krisis ekologi adalah modal sosial-ekologi yang penting.
Peran perempuan dalam konservasi alam, menjaga ketahanan pangan, pertanian berkelanjutan berkeadilan gender, penguatan akses dalam pemanfaatan hutan, air, sumber daya alam (SDA) belum mendapat tempat. Termasuk dalam mengambil keputusan.
Pengarusutamaan peran perempuan dalam memitigasi dan memulihkan krisis ekologi adalah modal sosial-ekologi yang penting.
Menurut Khalid (2014), perempuan selalu ditempatkan sebagai kelompok tak berdaya, tak punya pengetahuan.
Pengetahuan perempuan tentang tubuhnya dan hubungannya dengan kekayaan alam, pengetahuan bersama dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupannya, dianggap tidak ada.
Sehingga, perempuan tak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam hampir semua pengambilan kebijakan pembangunan.
Di Indonesia, fakta mencengangkan menunjukkan, sekitar 85 persen petani tak memilik lahan dan perempuan adalah kelompok paling rentan dari berlangsungnya semua krisis ekologi.
Dalam hal ini, pengetahuan perempuan dalam mengelola alam digantikan cara baru yang mengabaikan keberlanjutan ekologi dan mata pencaharian mereka.
Berdasarkan laporan WALHI, sekitar 82,5 persen kehancuran ekologi, perampasan lahan dan konflik sumber daya alam disebabkan korporasi, pemerintah, dan aparat keamanan. Ini tak lain karena paradigma pembangunan yang sama sekali tidak sensitif ekologi bahkan kerap dijumpai bias gender.
Di Indonesia, fakta mencengangkan menunjukkan, sekitar 85 persen petani tak memilik lahan dan perempuan adalah kelompok paling rentan dari berlangsungnya semua krisis ekologi.
Krisis lingkungan hidup dan SDA tidak bisa dilepaskan dari ketidakadilan dan ketimpangan struktur penguasaan SDA, yang selama ini dikuasai korporasi yang difasilitasi negara melalui berbagai kebijakan.
Ini diperparah dengan sama sekali tidak merefleksikan sisi pandang perempuan. Belajar dari beberapa gerakan perempuan di Kalimantan, Bali, dan India bahwa perempuan adalah magnet magis dalam memulihkan krisis sosial-ekologi.
Semisal, peran perempuan dalam konservasi alam, menjaga ketahanan pangan, pertanian berkelanjutan yang berkeadilan gender, penguatan akses perempuan dalam pemanfaatan hutan, air, SDA, dan lain sebagainya.
Permasalahan yang tak kalah penting, mengembalikan peran aktif perempuan dalam membuat dan mengambil keputusan baik dalam pengelolaan pangan, lahan, air, SDA.
Momentum Hari Ibu pada 22 Desember 2021, sebagai penghormatan dan penghargaan kaum perempuan khususnya kaum ibu. Keterlibatan ibu dalam menjaga dan pelindung bumi ini tidak bisa diragukan lagi.
Bahkan, ibulah yang selalu menanamkan nilai-nilai etika lingkungan dalam menjaga bumi ini. Maka itu, dalam tataran praksis, penting pelibatan kaum ibu/perempuan dalam membuat kebijakan pembangunan, minimal di tingkat desa, misal di musrenbang.
Tentunya, ini tidak selesai pada level inovasi teknokratis semata, melainkan bagaimana kaum perempuan bisa kembali lagi ke peran produktifnya tanpa adanya bias androsentris dan dominasi patriarki.
Bumi sebagai rahim dan ibu yang memiliki rahim adalah kekuatan untuk keberlangsungannya energi kreatif kehidupan. Jika peran perempuan itu dimatikan, musnah sudah kehidupan di dunia ini. Selamat Hari Ibu.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.