Nasional
Guru Honorer di NTT Belum Dibayar Tujuh Bulan
Presiden Joko Widodo diminta mengeluarkan perpres terkait standardisasi gaji dan tunjangan bagi guru honorer.
JAKARTA – JAKARTA -- Seorang guru honorer di SMKN di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Wilfridus Kado, mengaku hanya mendapatkan gaji Rp 700 ribu per bulan. Namun, hampir delapan bulan terakhir, dia belum menerima gajinya.
"Kita di sini juga hampir mau tujuh-delapan bulan ini juga belum terima honor yang Rp 700 ribu itu," ujar Wilfridus dalam diskusi interaktif daring, Sabtu (27/11).
Menurut dia, pembayaran gaji guru honorer tergantung dari dana yang tersedia. Kalau dananya sudah ada, gaji guru honorer pun langsung dibayarkan.
"Biasanya tergantung dari dana komite, kalau dananya ada berarti langsung bayar per bulan," kata dia. Wilfridus sudah enam tahun mengabdi sebagai guru honorer. Pada 2015, dia hanya menerima upah Rp 400 ribu per bulan. Baru pada 2018, gajinya meningkat menjadi Rp 700 ribu per bulan.
Wilfridus dengan tegas menyatakan, upah tersebut sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena di kampung sendiri, dia dan juga rekan guru honorer lainnya mencari nafkah sampingan dengan setelah pulang mengajar.
"Sangat-sangat tidak cukup. Saya di sini kebetulan di kampung sendiri, pulang sekolah itu makan, setelah makan kita kerja kebun, beternak, di sini," tutur dia.
Sejak enam tahun lalu menjadi guru honorer, Wilfridus telah berjuang demi status guru pegawai negeri sipil (PNS). Dia mengaku selalu mengikuti program pemerintah yang berkaitan dengan seleksi guru PNS, termasuk seleksi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Perjuangan itu dilakukan demi kesejahteraannya sebagai guru untuk mendapatkan upah yang layak. Sebab, menurut Wilfridus, selain nominal yang tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari, gaji guru honorer pun tidak jelas.
Apalagi, hal ini bisa memengaruhi aktivitas mengajar di sekolah yang menjadi tidak maksimal. Sementara, kebutuhan terhadap guru di daerahnya pun belum memadai.
"Karena ini berkaitan dengan upah juga, kalau upah untuk PNS ini kan menjanjikan, kalau honorer ini kan kalau bisa dibilang tidak jelas. Terkadang kebutuhan tidak mencukupi memengaruhi ke sekolah juga, masih mengajar tapi seperti tidak maksimal," ucap Wilfridus.
Bagi dia, Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November kemarin seakan hanya seremonial. Perayaan atau peringatan hari guru pun menurutnya tidak bermakna. "Sampai saat ini saya belum melihat makna itu karena saya lihat upah guru sangat minim di NTT, tidak sesuai dengan standar minimum," kata dia.
Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, meminta Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan presiden (perpres) terkait standardisasi gaji dan tunjangan bagi guru honorer. Desakan ini muncul menyusul mirisnya gaji guru honorer, yang bukan saja kecil tetapi juga menunggak hingga berbulan-bulan.
“Sebenarnya banyak opsi yang bisa dilakukan pemerintah termasuk presiden, salah satunya keluarkan perpres standarisasi gaji guru seluruh Indonesia, itu saja luar biasa, teman-teman (guru) nggak perlu antre berpuluh-puluh tahun menjadi pegawai PPPK atau PNS,” kata Syaiful.
Syaiful yakin, anggaran yang dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencukupi bilamana dilakukan standarisasi gaji dan tunjangan bagi guru honorer. Asalkan kata dia, anggaran untuk belanja pegawai dikurangi atau bahkan dialihkan untuk membantu menaikkan upah guru honorer.
Menurutnya untuk menjamin kesejahteraan guru merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang. Sementara, anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, per tahun itu setara dengan Rp 541 triliun. Tetapi sayangnya ungkap Syaiful, tidak sepenuhnya untuk fungsi pendidikan, anggaran tersebut banyak diperuntukkan untuk belanja pegawai dan urusan lain.
"Ada dalam akun Kemenkeu Rp 150 triliun itu judul akunnya dana yang diperkirakan untuk fungsi pendidikan, kalau direfleksikan lebih detail yang diurus oleh Kemendikbud alokasinya hanya Rp 85 triliun, yang diurus Kemenag Rp 55 triliun sisanya menyebar di semua kementerian, menjadi di angka Rp 350 triliun, saya meyakini ini bisa sepenuhnya (untuk) fungsi pendidikan, tidak harus semuanya Rp 400 triliun saja untuk fungsi pendidikan bisa untuk keluarkan perpres standarisasi gaji dan tunjangan untuk para guru honorer. Sangat bisa," tuturnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.