Tema Utama
'Sajadah Panjang' Persyarikatan Muhammadiyah
Sejarah Muhammadiyah dimulai sejak dakwah tajdid KH Ahmad Dahlan.
OLEH HASANUL RIZQA
Pada bulan ini, Persyarikatan Muhammadiyah memperingati milad ke-109. Organisasi Islam yang mengusung semangat tajdid itu terus meningkatkan perannya dalam mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa.
109 Tahun Muhammadiyah
Sajadah yang pendek mungkin masih bisa dipakai, tetapi tidak akan optimal bagi orang yang menggunakannya. Misalnya, saat ia bersujud. Alas itu paling-paling hanya menjadi tempat tumpuan dahi. Berbeda apabila sajadah berukuran lebih proporsional. Penggunanya akan lebih nyaman ketika mendirikan shalat di atasnya.
Penyair Taufiq Ismail mengibaratkan usia sebagai sajadah. Dalam sajaknya, “Sajadah Panjang”, alas itu dibayangkan terbentang “dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan.” Di atasnya, setiap insan beriman melaksanakan ibadah—“tunduk dan sujud”—kepada Allah Ta’ala.
Pengertian ibadah di sini tidak hanya shalat. Sebab, segala laku kehidupan—apabila diniatkan ikhlas lillahi ta’ala—sejatinya merupakan pengabdian kepada-Nya. “Wa maa khalaqtul jinna wal insa illaa liya’buduun,” ‘Tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku’ (QS az-Zariyat: 56).
“Sajadah panjang” Persyarikatan Muhammadiyah kini telah mencapai 109 tahun. Sejak pertama kali dibentangkan oleh KH Ahmad Dahlan, “sajadah” ini menjadi tempat ibadah bagi puluhan juta orang atau bahkan lebih banyak lagi. Wangi kebaikan yang terpancar darinya menyebar ke segala arah. Tidak hanya komunitas Muslimin, tetapi juga seluruh warga bangsa dan bahkan dunia.
Wangi kebaikan yang terpancar darinya menyebar ke segala arah. Tidak hanya komunitas Muslimin, tetapi juga seluruh warga bangsa dan bahkan dunia.
“Sajadah panjang” Muhammadiyah bermula dari Yogyakarta, tanggal 18 November 1912 Masehi atau bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah. Waktu berdiri, namanya masih menggunakan ejaan kala itu: Moehammadijah.
Menurut Prof Haedar Nashir dalam bukunya, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010), entitas ini berwujud organisasi atau persyarikatan. Mengutip “Berita Tahoenan” (1927), makna sjarikat atau syarikat (serikat) yang terkait dengan Muhammadiyah itu berarti “bersjarikat oentoek memenuhi kewadjiban Agama, jang moesti dipikoel bersama-sama (fardloe kifajah).”
Kata Muhammadiyah secara kebahasaan berarti ‘pengikut Nabi Muhammad SAW.’ Kalau mengikuti bahasa Arab, dapatlah ia ditulis Muhammadiyyah--dengan dua huruf ‘ya’ nisbah. Akan tetapi, Haedar mengatakan, penetapan Muhammadiyyah (dengan satu huruf ‘y’) tidak berarti bahwa para pendirinya tidak memahami aspek lingual. Justru, mereka sangat mahir berbahasa Arab. Nama Muhammadiyyah dipilih atas dasar, penulisan demikian dinilai sudah menyatu dengan rasa keindonesiaan.
Secara maknawi, penggunaan nama Muhammadiyah dimaksudkan untuk menghubungkan gerakan ini dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad SAW. Haedar menuturkan, Kiai Ahmad Dahlan memilih nama tersebut setelah mendengarkan usulan dari kerabat sekaligus sahabatnya, ketib anom Keraton Yogyakarta kala itu: Muhammad Sangidu. Selanjutnya, sang kiai mendirikan shalat istikarah sehingga mantaplah hatinya untuk memilih nama tersebut.
Istilah Muhammadiyyah dapat ditemukan dalam khazanah keilmuan Islam, seperti kitab tafsir Ibnu Katsir. Sang mufasir tatkala menafsirkan Alquran surah Ali Imran ayat 110 memaparkan sebagai berikut. “Yahbaru ta’ala an hazdihi al-ummat al-Muhammadiyah bi anna-hum khaira al-ummam.” Artinya, “bahwa Allah mengabarkan dengan ayat ini tentang umat Muhammad, yaitu mereka sebagai umat yang terbaik.”
Beberapa pekan setelah lahirnya, tepatnya pada 20 Desember 1912, dalam sebuah rapat terbuka di Gedung Loodge Gebauw Maioboro, Yogyakarta, Persyarikatan Muhammadiyah kemudian dideklarasikan. Namun, sambung Haedar, waktu itu pemerintah Hindia Belanda tidak langsung mengakuinya secara sah.
Rezim kolonial masih bersikap hati-hati dan penuh kecurigaan terhadap organisasi Islam ini. Dengan bantuan Boedi Oetomo dan melalui proses panjang nan berliku-liku, akhirnya Muhammadiyah memperoleh pengesahan dari otoritas kala itu, berdasarkan Besluit Nomor 81 tanggal 22 Agustus 1914.
Tujuan Muhammadiyah, seperti termaktub dalam anggaran dasarnya, mengalami perubahan redaksional seiring dengan dinamika zaman. Bagaimanapun, substansinya tetap tegar. Bahkan, beberapa kata kunci tetap ada di sana, semisal kata “memajukan”, “menyebarluaskan”, dan “menggembirakan".
Dalam pandangan penulis yang juga aktivis Islam Djarnawi Hadikusuma, ketiga kata tersebut memiliki makna yang sangat mendalam. Putra pahlawan nasional Ki Bagoes Hadikoesoemo itu menjelaskan, Muhammadiyah lahir ketika umat Islam sedang dalam posisi yang lemah dan didera kemunduran dalam banyak bidang kehidupan. Sebab, kaum Muslimin kala itu tidak atau belum mengerti hakikat ajaran agamanya sendiri.
Maka dari itu, Muhammadiyah mengungkapkan dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni. Persyarikatan ini pun menganjurkan kepada umat Islam agar giat mempelajari substansi agama. Di samping itu, kaum ulama diajak untuk terus menyebarluaskannya dalam suasana yang maju dan menggembirakan.
Sang Pencerah
Kelahiran Muhammadiyah tidak terpisahkan dari pemikiran, sikap, dan langkah dakwah ulama besar yang berjulukan Sang Pencerah. Dialah KH Ahmad Dahlan. Sang alim lahir pada 1 Agustus 1868 M dengan nama Muhammad Darwisy.
Ayahnya, KH Abu Bakar, merupakan seorang ahli agama Islam yang mengajar di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Secara nasab, garis silsilahnya sampai pada Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, seorang Wali Songo.
Tatkala berusia 15 tahun, Darwisy muda berangkat ke Tanah Suci. Kesempatan ini tidak hanya dimanfaatkannya untuk berhaji, tetapi juga menuntut ilmu. Selama lima tahun, pemuda yang sangat cerdas ini mengaji kepada ulama-ulama di Masjidil Haram. Begitu kembali ke Tanah Air pada 1888, dirinya berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Saat berusia 35 tahun, KH Ahmad Dahlan bertolak lagi ke Jazirah Arab. Dua tahun lamanya suami dari Siti Walidah itu belajar ilmu-ilmu agama di sana. Dalam masa inilah, putra daerah Yogyakarta tersebut banyak berinteraksi dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Imam besar Masjidil Haram ini berperan besar dalam memperkenalkan gagasan modernisme Islam dari Mesir kepadanya.
Ulama dari Sumatra Barat itu memiliki banyak murid. Di samping Kiai Ahmad Dahlan, ada pula antara lain KH Hasyim Asy’ari—yang kelak mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu karakteristik pengajaran Syekh Ahmad Khatib ialah menghindari taklid. Alhasil, santri-santrinya diarahkannya untuk selalu mendayagunakan akal secara sungguh-sungguh.
Saat berusia 35 tahun, KH Ahmad Dahlan bertolak lagi ke Jazirah Arab. Dua tahun lamanya suami dari Siti Walidah itu belajar ilmu-ilmu agama di sana.
Sebagai seorang ahli fikih, sang syekh cenderung pada “warna” Islam tradisional. Bagaimanapun, paman Haji Agus Salim itu sudah banyak membaca risalah terkait modernisme Islam, semisal yang dicetuskan Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, serta Rasyid Ridha. Para muridnya pun diimbau untuk juga membaca gagasan-gagasan mereka.
Respons yang muncul berlainan antarmurid satu sama lain. Kiai Ahmad Dahlan, umpamanya, cenderung tertarik pada ide-ide modernisme Islam. Adapun Kiai Hasyim tidak begitu antusias untuk menerapkannya begitu kembali ke Jombang, Jawa Timur.
Tiba di Tanah Air, Kiai Ahmad Dahlan tidak langsung mendirikan sebuah organisasi. Ada proses sebelum itu. Menurut Haedar, sang kiai kerap berinteraksi dengan kawan-kawan dari organisasi Boedi Oetomo. Di antaranya ialah R Budiharjo dan R Sosrosugondo. Mereka tertarik dengan masalah agama yang diajarkan alumnus Makkah itu.
Kiai Dahlan juga menerima saran dari siswanya di Kweekschool Jetis tempatnya mengajar. Acap kali ketika datang ke rumah sang kiai, mereka menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kiai Dahlan tidak hanya diurus oleh dirinya seorang, melainkan sebuah organisasi. Dengan begitu, kesinambungan tetap akan ada walaupun suatu ketika dirinya wafat.
Mengutip sejarawan UGM Adaby Darban, gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah juga timbul dari keinginan Kiai Dahlan untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Lembaga pendidikan itu didirikannya pada 1 Desember 1911.
Adaby menambahkan, institusi itu merupakan rintisan lanjutan dari “sekolah” yakni kegiatan Kiai Dahlan dalam menyebarkan syiar Islam di tengah masyarakat. Cikal bakalnya ialah majelis ilmu yang rutin digelar di beranda rumahnya.
Dari sana, pengajaran kemudian berpindah ke sebuah gedung milik ayah Kiai Dahlan. Para murid menggunakan meja dan papan tulis, serta duduk di atas kursi. Ulama lulusan Masjidil Haram ini tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga umum kepada mereka.
Menurut Djarnawi, hal lain yang mendorong Sang Pencerah untuk membentuk Muhammadiyah ialah panggilan hati nurani setelah mendalami firman Allah, yakni surah Ali Imran ayat 104. Arti ayat itu, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.”
Tugas amar ma’ruf nahi munkar itu akan lebih efektif bila dilakukan secara kolektif, bukan orang per orang.
Tugas amar ma’ruf nahi munkar itu akan lebih efektif bila dilakukan secara kolektif, bukan orang per orang. Dan, yang memayunginya ialah sebuah organisasi sehingga keberlangsungan dakwah akan terus terjaga melalui kaderisasi.
Sejak 1912 hingga Kiai Dahlan wafat, Muhammadiyah terus berkembang cukup pesat. Walaupun masih bergerak di Yogyakarta dan sekitarnya, pada periode itu ada banyak pergerakan yang berhasil diwujudkan.
Sebut saja, pendirian sekolah (1911), badan penerbitan Majalah Soeara Moehammadijah (1915), Sopo Tresno yang akhirnya menjadi cikal-bakal ‘Aisyiyah (1914) kepanduan Hizbul Wathan (1918), serta Panti Asuhan dan Penolong Kesengsaraan Omeoem (PKU) yakni satu bulan sebelum Kiai Dahlan meninggal pada 1922.
View this post on Instagram
Melalui Muhammadiyah, tabligh yang dilakukan para dai—baik lelaki maupun perempuan—menjadi terorganisasi. Mereka datang ke beragam masyarakat untuk menyiarkan Islam, merintis pembangunan masjid atau mushala, dan lain-lain. Bahkan, visi besar sudah digagas pada masa itu.
Menurut catatan Haji Sudja’, penulis buku biografi Riwajat Hidup KHA Dahlan Pembina Muhammadijah Indonesia (1989), wacana pendirian universitas Muhammadiyah disampaikan M Hisjam selaku ketua Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah Bagian Pendidikan dalam rapat anggota Muhammadiyah istimewa pada Juni 1920.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.