Oase
Jalan Kembali pada Islam
Anton Kristiono yang pernah murtad ini menyadari kerinduannya akan Islam.
OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI
Perjalanan hidup seorang insan sering kali berliku. Hal itu dibenarkan Anton Kristiono. Lelaki yang kini berusia 38 tahun itu mencontohkan kisahnya sendiri. Dalam hidupnya, ia pernah murtad, tetapi kemudian berislam kembali dengan tekad dan keyakinan yang lebih mantap.
Pria yang saat ini aktif membina para mualaf itu menuturkan pencarian jati dirinya. Ia mengaku, keluarganya tergolong religius. Bahkan, kakek dari pihak ibundanya merupakan seorang ulama di Malang, Jawa Timur. Ketokohannya diakui masyarakat lokal sehingga namanya dijadikan nama sebuah jalan, yakni, Jalan KH Parseh Jaya.
Anton menceritakan, latar dirinya menjadi murtad saat itu bermula dari ayahnya yang kawin lagi. Poligami yang dilakukan bapaknya itu, lanjutnya, tidaklah sesuai syariat Islam. Akibatnya, suasana di rumah tidak lagi kondusif. Kedua orang tuanya lalu bercerai pada 1995.
Anton, yang saat itu masih berusia 12 tahun, akhirnya menjadi anak broken home. Keadaan itu berdampak pada kondisi psikisnya. Saat itu, konsentrasinya cenderung mudah buyar.
Akhirnya, murid kelas dua madrasah tsanawiyah itu terpaksa putus sekolah. Karena merasa tidak betah di rumah, dirinya lebih suka berkumpul dengan anak-anak yang juga tidak bersekolah. Jadilah Anton muda waktu itu sebagai seorang anak jalanan.
Saat itu keputusannya untuk menggelandang tidak didorong faktor ekonomi, semisal ketiadaan biaya untuk terus bersekolah. Ia hanya merasa, kedua orang tua telah mengecewakannya. Dalam pandangannya waktu itu, apa gunanya lagi menuruti kemauan mereka? Lebih baik hidup dengan penuh kebebasan.
Ia ingat, sebelum menjalankan keputusannya—hidup di jalanan—dia cenderung berislam secara sinkretisme. Bukan dengan kemauannya sendiri, melainkan arahan dari orang-orang terdekatnya.
Sebagai contoh, saat masih belia dirinya pernah diajak berziarah. Namun, tujuannya bukan untuk mengingat kematian, melainkan mendapatkan “aura” keahlian dari si mayat.
Saat masih belia, dia pernah diajak berziarah. Namun, tujuannya bukan untuk mengingat kematian, melainkan mendapatkan “aura” keahlian dari si mayat.
Bahkan, sempat pula Anton muda disuruh melakukan puasa mutih. Selama dua tahun, ia hanya makan nasi putih, singkong, dan minum air putih. Pada tahun kedua, ia diajari ilmu “kebal".
Sempat dirinya berpikir, Nabi Muhammad SAW saja tidak kebal saat mengikuti berbagai medan jihad, semisal Perang Uhud. Gigi beliau sampai-sampai tanggal karena diserang musuh.
“Saya juga waktu itu diminta memandikan keris dan barang lain yang diagungkan. Namun, lambat laun saya meninggalkan hal tersebut. Jadi, saya pernah murtad, tetapi tidak syirik,” ujarnya kepada Republika, baru-baru ini.
Aktivis organisasi mualaf Ibrahim Alhanif Centre dan Forum Arimatea Jabodetabek itu menambahkan, satu momen penting dalam hidupnya terjadi pada 1998. Saat itu, dia berjumpa dengan seorang penganjur ajaran sekte. Orang tersebut memperkenalkannya pada sebuah agama non-Islam yang—dalam pemahaman sekte ini—mempercayai adanya satu Tuhan.
Mengenai Nabi Isa, sosok mulia itu dianggapnya sebagai manusia sehingga tidak berhak disembah. Bagaimanapun, aliran keagamaan yang berasal dari Amerika Serikat abad ke-18 itu tetap menampik kenabian Rasulullah Muhammad SAW.
Anton muda sempat tertarik. Tambahan pula, ia sudah terlanjur kesal dengan poligami yang dilakukan ayahnya. Dalam bayangannya waktu itu, apa yang dilakukan bapaknya adalah seturut dengan ajaran Nabi SAW sehingga dia merasa wajar membenci Rasulullah SAW. Padahal, belakangan ia memikirkan lagi, poligami yang diperbuat sang ayah jauh dari tuntunan Islam.
Maka mulai saat itu, Anton meninggalkan agama Islam. Ia pun semakin intens berinteraksi dengan para penganjur sekte non-Islam tersebut. Selama murtad, ia mengaku, tidak pernah melakukan ibadah yang menyembah benda-benda empiris, semisal patung.
Intinya, tetap keyakinannya bahwa hanya ada satu Tuhan, tetapi yang dinafikannya ialah kenabian Rasulullah Muhammad SAW.
Kembali berislam
Anton merahasiakan keyakinan barunya dari keluarga, terutama ayah dan ibu kandungnya. Ketika kembali ke rumah, ia tetap menunjukkan diri masih Muslim. Misalnya, shalat sesudah azan berkumandang atau ikut berpuasa saat Ramadhan.
Yang tidak mereka ketahui, ia telah memiliki orang tua angkat, yakni pihak yang mengajarkannya sekte tersebut. Dari orang tua asuh itu, Anton menerima kesempatan untuk bersekolah lagi. Bagaimanapun, jurusan yang diambilnya berfokus pada syiar aliran non-Islam tersebut.
"Saya bahkan menjadi pembimbing mahasiswa yang meneliti tentang agama tersebut,” ucapnya mengenang.
Secara finansial, kehidupannya mulai membaik dari bulan ke bulan, tahun ke tahun. Keadaan itu ternyata tidak juga menenteramkan batinnya. Hatinya kian terasa kosong walaupun terus berusaha ditutup-tutupi.
Sejak 2001, Anton mulai tertarik pada topik perbandingan agama. Ia kian rajin mengkaji kitab-kitab, yakni Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan juga Alquran. Namun, pengaruh dari lingkungannya tetap saja kuat. Bahkan, pada suatu hari ia kedapatan sedang membakar semua mushaf Alquran dan kitab-kitab hadis yang dimilikinya sejak masih anak-anak.
Sejak 2001, Anton mulai tertarik pada topik perbandingan agama. Ia kian rajin mengkaji kitab-kitab.
Ayah dan ibu kandungnya lantas mengetahui hal itu. Keduanya sangat sedih begitu menyadari, putranya itu sudah keluar dari Islam. Mereka pun mencari-cari cara agar Anton kembali menjadi Muslim.
Tanpa diminta pun, sebenarnya Anton saat itu sedang melakukan pencarian spiritual. Ia yakin betul, agama yang benar pastilah menenangkan batin individu yang memeluknya. Dan, saat itu batinnya masih saja resah.
“Pernah saya tinggal menumpang dengan seorang fotografer yang ternyata anggota ormas Islam tertentu. Melihat ID card (kartu keanggotaan) dia, sempat muncul rasa rindu untuk kembali ke Islam walaupun saya tidak tertarik dengan organisasi dia,” kenangnya.
Tiga tahun sudah dirinya menekuni bidang perbandingan agama. Memasuki 2005, ia menyadari, ajaran Islam sangatlah logis. Kebenaran nyata ada di dalamnya, terutama pada aspek tauhid. “Saya tidak menemukan satu kesalahan pun dalam Alquran,” ucapnya mengingat lagi momen itu.
Entah mengapa, pikirannya hanyut memikirkan makna semua kalimat yang diucapkan sang muazin. Tentu, ia memahami arti teks azan karena pengetahuannya akan bahasa Arab.
Rupanya, masih perlu waktu beberapa tahun lagi baginya. Hingga suatu hari pada 2008, Anton sedang berjalan-jalan sendirian di sebuah kompleks perumahan di Malang. Tiba-tiba, pada petang itu azan berkumandang dari arah masjid.
Entah mengapa, pikirannya hanyut memikirkan makna semua kalimat yang diucapkan sang muazin. Tentu, ia memahami arti teks azan karena pengetahuannya akan bahasa Arab.
Setelah azan usai, seperti tak terasa langkah kakinya mengarah ke masjid tersebut. Tepat pada 28 November 2008, Anton mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid al-Haq, Malang, Jawa Timur.
Bersyukur
Sejak kembali menjadi Muslim, Anton memilih nama baru baginya, yakni Muhammad Sulthon Abdullah. Ia mengaku, tidak sulit untuk beradaptasi lagi dengan ajaran agama tauhid. Yang selalu disyukurinya ialah, Allah SWT masih memberikannya jatah usia untuk kembali memeluk Islam.
Yang juga membuatnya bahagia, ternyata kedua orang tua angkatnya turut menjadi mualaf. Hingga kini silaturahim terus terjaga antara dirinya dan mereka.
Anton memutuskan untuk hijrah dari Jawa Timur ke Ibu Kota. Di Jakarta, ia terus berupaya hidup mandiri. Tidak hanya sibuk bekerja mencari nafkah. Dia selalu mengalokasikan waktu untuk turut dalam geliat dakwah, khususnya yang menyasar kalangan mualaf.
Warga Bintaro, Tangerang Selatan, ini terus aktif di berbagai komunitas Islam. Di antaranya ialah, Forum Masjid Bintaro Jaya dan Sekitarnya (Forsil MBS), Forum Masjid dan Musholla Bumi Serpong Damai (FMMB), dan Majelis Masjid az-Zikra Gunung Sindur.
Sempat pula lelaki ini bergiat di Pesantren Mualaf Dompet Dhuafa (DD) pada 2018-2019. Namun, pandemi Covid-19 membuatnya tidak bisa lagi meneruskan keaktifannya di sana. Organisasi DD cukup berkesan baginya. Sebab, di sanalah dia menemukan jodoh. Bersama istrinya, ia kini telah dikaruniai satu anak.
Kini bersama rekan-rekanya saling membahu membina para mualaf terutama bersama Ko Aziz Loe sang pendiri TMI (Tionghoa Muslim Indonesia), juga terkadang safari dakwah bersama Ko Aziz Loe.
Ada kalanya, beberapa mualaf memiliki kendala ekonomi begitu menjadi Muslim. Umpamanya, orang-orang yang diputus komunikasi oleh keluarga asal.
Pengalamannya berada dalam proses pembinaan terhadap orang-orang yang baru masuk Islam. Ia mengatakan, tugas pendamping mualaf sangatlah krusial. Kadang kala, yang harus dipikirkan para mentor tidak hanya aspek pemahaman mereka terhadap ajaran Islam.
Ada kalanya, beberapa mualaf memiliki kendala ekonomi begitu menjadi Muslim. Umpamanya, orang-orang yang diputus komunikasi oleh keluarga asal.
Pada poin inilah, Anton mengingatkan tentang faedah zakat. Salah satu golongan (asnaf) yang berhak menerimanya ialah kaum mualaf. Dengan memberikan zakat untuk mereka, diharapkan hati mereka melembut, dapat terus fokus untuk mengkaji ajaran Islam secara kaffah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.