Konsultasi Syariah
Apakah Skincare Termasuk Nafkah?
Skincare dan make up bagian dari nafkah yang harus dipenuhi suami selama memenuhi ketentuan.
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamualaikum wr wb.
Skincare dan make up merupakan salah satu kebutuhan perempuan saat ini. Apakah itu termasuk nafkah istri yang wajib dipenuhi oleh suami? Mohon penjelasan Ustaz. -- Neneng, Bogor
Wa’alaikumussalam wr wb.
Skincare dan make up bagian dari nafkah yang harus dipenuhi suami selama memenuhi ketentuan berikut. Pertama, skincare dan make up tersebut digunakan oleh istri untuk kebutuhan yang halal (di rumah atau untuk kebutuhan suami). Seorang istri tampil menarik di depan suami itu menjadi bagian dari adab-adabnya, untuk menjaga ‘afaf suami, dan untuk mengokohkan mawaddah di antara keduanya.
Tetapi, sebaliknya, kebutuhan skincare dan make up ini jika digunakan untuk kebutuhan yang tidak halal, seperti untuk tampil tabarruj di depan publik, baik offline maupun online maka itu bagian dari kebutuhan yang tidak halal dan tidak boleh dipenuhi.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Sebaik-baik wanita (istri) adalah yang menyenangkanmu apabila engkau memandangnya, yang taat apabila engkau memerintahkannya, dan yang menjaga diri dan hartamu saat engkau tidak ada (pergi).” (HR ath-Thabrani).
Kedua, suami mampu menyediakan biaya tersebut, terlebih saat biaya skincare dan make up tersebut jumlahnya tidak sedikit. Oleh karena itu, saat suami tidak mampu menyediakan biaya tersebut, kewajibannya menjadi gugur dan prioritasnya adalah menunaikan kebutuhan keluarga yang lebih mendasar.
Ketiga, dengan kadar lazim dan tidak berlebih-lebihan. Berapa besaran biaya yang dibutuhkan untuk skincare dan make up ini merujuk pada produk sejenis yang digunakan oleh para istri pada umumnya. Keumuman dan kelaziman ini menjadi penting agar tetap dalam batas proporsional, tidak berlebih-lebihan, dan juga tidak kekurangan.
Keempat, sesuai dengan skala prioritas karena kemampuan keuangan keluarga itu berbeda-beda, ada yang standar, surplus, atau bahkan defisit. Oleh karena itu, musyawarah antara suami-istri diperlukan untuk menempatkan kebutuhan skincare dan make up dalam urutan skala prioritas. Berdasarkan prioritas tersebut kemudian kebutuhan skincare dan make up dapat ditimbang perlu dipenuhi atau tidak.
Kesimpulan dan penjelasan tersebut di atas didasarkan pada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menafsirkan cakupan dan kebutuhan apa saja yang termasuk nafkah yang harus dipenuhi oleh suami. Sebagian hanya memaknai nafkah yang dimaksud dengan kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti kebutuhan pakaian, tempat tinggal, makanan, dan sejenisnya. Namun, sebagian yang lain memasukkan kebutuhan-kebutuhan lain, seperti skincare dan make up dalam bahasa saat ini.
Misalnya, al-Fatawa al-Hindiyah Mathalib Ulin Nuha lir Rahibani al-Hambali dan asy-Syarhu Shaghir ad-Dardiri al-Maliki menyebutkan bahwa yang harus disediakan suami adalah kebutuhan kosmetik istri untuk membersihkan kotoran, seperti sisir dan minyak. Namun, kebutuhan kosmetik untuk kebutuhan lain, seperti untuk alis, itu tidak wajib.
Syekh Athiya Saqr menyimpulkan pandangan al-Khatib dalam al-Iqhna’ bahwa kebutuhan yang wajib dipenuhi itu yang terkait dengan kebersihannya, tetapi kebutuhan kosmetik itu tidak wajib. Sedangkan, mazhab Hambali menjelaskan, kosmetik menjadi wajib saat istri meminta.
Namun, menurut Saqr, esensi pendapat para ahli fikih tersebut adalah kelaziman dan keumuman serta yang termasuk kategori muasyarah bil ma’ruf. (Syekh Athiya Saqr, Mausu’athu al-Usroh 3/192 menukil dari al-Iqhna’ 191 dan al-Mughni 970).
Menurut penulis, pendapat para ahli fikih tersebut sangat terkait dengan tujuan berhias untuk siapa dan kondisi seperti apa, juga sangat terkait dengan ‘urf atau tradisi serta kemampuan dan kelaziman. Tegasnya, kebutuhan skincare atau kosmetik para istri itu bagian dari nafkah saat suami mampu menunaikannya dengan besaran biaya yang lazim dan normal.
Oleh karena itu, besaran biaya itu sangat terkait dengan kelaziman masyarakat pada umumnya, bukan pada komunitas tertentu, seperti aktor atau aktris dan sejenisnya. Sebagaimana kesimpulan dasar ini ditegaskan prinsipnya oleh al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi.
Wallahu a’lam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.