Kisah Dalam Negeri
Asal-usul Putusan Kongres Pemuda Disebut Sumpah Pemuda
Putusan Kongres Pemuda Indonesia Kedua itu sudah disusun Yamin dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama.
OLEH PRIYANTONO OEMAR
Tabrani mengaku berkirim surat kepada M Yamin pada 1930. Surat itu ditulis di Jerman pada 1930, diperkuat oleh Djamaludin Adinegoro, memprotes sebutan Sumpah Pemuda yang digunakan untuk menggantikan Ikrar Pemuda.
“Hendaknya jika masih dapat, sebutan ‘Sumpah’ diganti dengan ‘Ikrar’ , jadi bukan ‘Sumpah Pemuda’, tetapi ‘Ikrar Pemuda’. Sebab … sumpah hanya terhadap Tuhan,” tulis Tabrani seperti dimuat dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda yang diterbitkan pada 1974. Jawab Yamin, kata Tabrani, “Terlambat, tidak mungkin diubah lagi.”
Putusan Kongres Pemuda Indonesia Kedua itu sudah disusun Yamin dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Saat itu, Yamin menyebutnya sebagai Ikrar Pemuda. Tapi, saat itu naskah Ikrar Pemuda tak dibacakan dalam Kongres karena ada persoalan nama bahasa persatuan. Yamin menginginkan bahasa Melayu, Tabrani menginginkan bahasa Indonesia--bahasa yang disebut Yamin belum ada.
Rumusan Yamin adalah: “Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu”. Barang yang akan dijunjung memang sudah ada, karena bahasa Melayu sudah ada di Nusantara beratus tahun sebelumnya. Yamin telah menjelaskan panjang lebar mengenainya dalam sidang umum kongres itu.
Rumusan yang dipakai untuk diajukan ke Kongres Pemuda Indonesia Kedua tetap menggunakan kata “menjunjung”. Apa yang akan dijunjung jika barangnya, bahasa Indonesia, belum ada? Tapi, rumusan itulah yang tetap dipakai: “Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Saat itu naskah Ikrar Pemuda tak dibacakan dalam Kongres karena ada persoalan nama bahasa persatuan. Yamin menginginkan bahasa Melayu, Tabrani menginginkan bahasa Indonesia.
Saat berbicara pada hari pertama Kongres Pemuda Indonesia Kedua, rupanya Yamin sudah berubah pikiran mengenai bahasa Indonesia. Dalam pidatonya —dokumentasi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunnen en Wetenschappen, 29 Oktober 1929, kini tersimpan di Perpusnas— Yamin menyebutkan,
“Bahasa Indonesia boekan barang jang masih diharap-harap, djadi sebagai barang jang manakalanja akan didjatoehkan dari langit. Itoe tidak benar. Telah beratoes-ratoes tahoen bahasa Indonesia bertempat di tanah Indonesia ini, tempatnja itoe ditentoekan oleh karena bahasa itoe sendiri dan oleh keadaan jang ada di sini. Sebeloem orang Eropah datang di sini bahasa Indonesia soedah ada seperti bahasa jang seperti sekarang di tanah Asia Selatan, djadi boekan pengharapan atau perboeatan baroe. Pendeknja, bahasa Indonesia boekan sekali-sekali soeatoe bahasa jang masih diharap-harap, melainkan barang jang soedah ada. Barang siapa jang berani menindakkan barang jang soedah ada itoelah tandanja hendak meroesakkan kita; barangkali karena tiada mengetahoei akan kekoeatan jang tersimpan dalamnja, barangkali djoega karena takoet akan tenaga jang boleh timboel dari padanja.”
Sepertinya, Yamin menyadari kesalahannya ketika menyebut Tabrani sebagai “tukang melamun” saat Tabrani mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada 2 Mei 1926. Saat itu, Yamin bilang tak ada bahasa Indonesia. Tabrani ngotot jika tidak ada ya diadakan.
Tabrani telah memunculkan wacana penerbitan bahasa Indonesia sejak Januari 1926. Awalnya, ia hanya menyebut bahasa Indonesia, pada 16 Januari 1926. Lalu pada 6 Februari 1926, ia memberi penjelasan sedikit.
Tabrani telah memunculkan wacana penerbitan bahasa Indonesia sejak Januari 1926. Awalnya, ia hanya menyebut bahasa Indonesia, pada 16 Januari 1926.
“Bangsa dan pembatja kita minta bahasa Indonesia. Dari itoe pemerintah diwadjibkan —jaitoe djika pemerintah soenggoeh maoe mementingkan keperloean kita dan bekerdja bersama2 kita— meoeraikan segala berita-beritanja dalam bahasa Indonesia (Melajoe-gampang) dan bahasa Belanda. Soedilah apa kiranja pemerintah mendengarkan soeara kita ini. Kita menanti!” tulis Tabrani.
Ia terlihat jengkel kepada Volksraad yang selalu mengirim laporan sidang dalam bahasa Belanda. “Pers Tionghoa-Melajoe dan pers bangsa kita bangsa kita banjaklah. Djadi apakah ta’ sepantasnja berita-berita Volksraad itu disiarkannja djoega dalam bahasa Indonesia? Jaitoe bahasa jang sehari-hari diseboetnja bahasa Melajoe-gampang?” kata Tabrani.
Saat membuka Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Ketua Panitia Kongres Sugondo Djojopuspito pada 27 Oktober 1928 menyampaikan kepada hadirin bahwa bahasa Indonesia sudah dibahas dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama.
Koran Darmokondo melaporkan pidato Sugondo pada Rabu, 31 Oktober 1928, “Laloe beliaoe bitjarakan comite Tabrani —Jeugdcongres— di tahoen 1926, bahasa tjita-tjita persatoean Indonesia oentoek Indonesia Raja…. Beliaoe berseroe bahasa pertjerai-beraian itoe wadjiblah diperangi, agar kita bisa bersatoe.”
Pada saat Kongres Indonesia Muda di Solo pada Desember 1930, Jusupadi Danuhadiningrat dari Komisi Besar Indonesia Muda menyinggung sumpah di Kongres Pemuda Indonesia Kedua. “Dari Djakarta, moelailah kemenangan kita. Boekankah diitoe hari lahir lagoe Indonesia Raja, lagoe jang kita akoe sebagai lagoe kebangsaan? Boekankah diitoe hari kita poetri dan poetra Indonesia bersoempah: ….”
Sutan Takdir Alisjahbana pada 1931 juga menyebut putusan kongres itu dengan sumpah. “Soempah pemoeda-pemoeda bangsa kita beberapa tahoen jang laloe ialah soeatoe kedjadian jang penting dalam sedjarah Indonesia, jang kelak akan dapat dihargai oleh ahli sedjarah dengan sepenoeh-penoehnja,” tulis Sutan Takdir di majalah Perserikatan Kaum Jurnalis edisi 1 November 1931, seperti yang disebut Tabrani dalam pengantar edisi terjemahan Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.