Opini
Ambisi Jadi Pusat Ekonomi Syariah
Ambisi menjadi pusat ekonomi syariah dunia sah saja, tetapi pemerintah harus memiliki peta jalan yang jelas.
FAUZIAH RIZKI YUNIARTI, Peneliti Ekonomi Syariah INDEF
Pemerintah Indonesia berambisi menjadi pusat ekonomi syariah dunia. Ini didukung ketahanan ekonomi syariah menghadapi pandemi dan berhasil naik satu peringkat menjadi yang ke-4 di Global Islamic Economy Indicator (GIEI) pada 2020.
Selain itu, potensi Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Apakah dua hal ini cukup untuk mencapai ambisi tersebut?
Pada peringkat tersebut di atas, Indonesia masuk lima besar negara pengguna produk industri halal di dunia dengan nilai konsumsi (makanan/minuman, farmasi, kosmetik, modest fashion, dan media/rekreasi halal) Rp 2.726,36 triliun.
Namun, Indonesia belum lima besar produsen atau pengekspor produk halal. Sayangnya, dalam peringkat sama, keuangan syariah dan wisata ramah Muslim turun meski ini dapat dipahami karena pembatasan selama pandemi Covid-19. Banyak perbatasan negara lain ditutup.
Namun, Indonesia belum lima besar produsen atau pengekspor produk halal.
Untuk keuangan syariah, Indonesia turun satu peringkat. Padahal, Indonesia berambisi menjadi pusat keuangan syariah dunia. Namun, ada harapan bagi bangkitnya keuangan syariah Indonesia, yaitu mergernya tiga bank menjadi BSI dan peringkat pertama dalam Islamic Finance Country Index (IFCI) 2021.
Sebelum menjadi raksasa ekonomi syariah di dunia, menarik untuk melihat apakah ekonomi syariah sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Sayangnya, belum. Ekonomi syariah terdiri atas setidaknya keuangan syariah dan industri halal.
Keuangan syariah terdiri atas keuangan syariah komersial dan sosial. Keuangan syariah komersial, mencakup perbankaan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank. Pangsa pasarnya masih kecil (9,95 persen) dibandingkan aset keuangan nasional.
Keuangan syariah sosial meliputi dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf). Potensi zakat dan wakaf besar (potensi zakat: Rp 327,6 triliun; potensi wakaf uang: Rp 180 triliun), tetapi yang terkumpul kurang dari 5 persen (zakat: 3 persen, wakaf uang: 0,04 persen).
Di sisi lain, industri halal tumbuh cepat dalam hal kawasan industri halal (KIH), tetapi tak bisa dilihat volume transaksinya. Sebab, tak ada database produk industri halal yang beredar dan dipasarkan di Indonesia.
Di sisi lain, industri halal tumbuh cepat dalam hal kawasan industri halal (KIH), tetapi tak bisa dilihat volume transaksinya. Sebab, tak ada database produk industri halal yang beredar dan dipasarkan di Indonesia.
Potensi Indonesia
Potensi Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah dunia cukup besar karena pertama, Indonesia berpenduduk Muslim terbesar. Kedua, peringkat satu dalam hal percaya bahwa agama itu penting. Dalam konteks ini, ekonomi syariah menerapkan nilai-nilai agama.
Ketiga, Indonesia mengalami bonus demografi berarti tingkat konsumsi akan masih terjaga baik beberapa waktu ke depan. Keempat, penduduk Indonesia paling dermawan sedunia, merujuk Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2021.
Sehingga, potensi sektor keuangan sosial syariah (ziswaf) terus tumbuh. Kelima, mayoritas penduduk Indonesia (76 persen) belum memiliki rekening bank, potensial bagi keuangan syariah sebagai penopang sumber pendanaan industri halal.
Rekomendasi kebijakan
Untuk mencapai ambisi di atas, ada lima prioritas. Pertama, mengesahkan RUU Ekonomi Syariah. RUU ini sudah cukup panjang prosesnya. Pengesahan RUU ini menjadi legitimasi atas ambisi pemerintah. Namun, RUU ini masuk prolegnas pun tidak.
Kedua, memasukkan ekonomi syariah ke agenda nasional melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJMN 2020-2024 sudah mencakup beberapa hal terkait ekonomi syariah.
Merujuk peringkat GIEI, konsumsi produk halal Indonesia Rp 2.726,36 triliun, tetapi itu bukan angka riil, melainkan proxy dari data impor produk Indonesia dari negara OKI.
Pencapaian ekonomi syariah di RPJMN melewati target. Ini dibuktikan terlampauinya target jumlah KIH, yakni tiga pada 2024. Namun, pada 2021, Indonesia sudah memiliki tiga KIH. Ketiga, menyusun regulasi tepat terkait KIH. Jangan sampai jumlahnya banyak, tetapi tak efektif.
Keempat, menambahkan harmonized system code (HS code) baru bagi produk halal untuk setiap produk impor dan ekspor sehingga bisa terdeteksi pergerakan/pertumbuhan produk halal. Saat ini, tidak ada database tentang produk halal.
Merujuk peringkat GIEI, konsumsi produk halal Indonesia Rp 2.726,36 triliun, tetapi itu bukan angka riil, melainkan proxy dari data impor produk Indonesia dari negara OKI. Maka itu, terlalu muluk ambisi menjadi pusat halal dunia jika tak punya acuan jumlah transaksi produk halal.
Kelima, meningkatkan sinergi peran keuangan syariah dalam pengembangan industri halal melalui penambahan HS code untuk melihat pembiayaan yang dibutuhkan.
Ambisi menjadi pusat ekonomi syariah dunia sah saja, tetapi pemerintah harus memiliki peta jalan yang jelas.
Tak adanya database produk halal, menyulitkan pemerintah dan pelaku keuangan syariah melacak berapa pembiayaan dari keuangan syariah tersalurkan untuk industri halal, yang dibutuhkan industri halal, yang tersedia untuk digunakan dan yang perlu diisi.
Kelima, memasukkan riset industri halal ke agenda riset nasional melalui Prioritas Riset Nasional (PRN). Perlu ada juga insentif untuk memotivasi penelitian halal berkembang.
Ambisi menjadi pusat ekonomi syariah dunia sah saja, tetapi pemerintah harus memiliki peta jalan yang jelas.
Akan lebih realistis, selangkah-selangkah, misalnya, top produsen produk halal pada 2030, pusat keuangan syariah Asia pada 2030, pusat industri halal dunia pada 2035, pusat ekonomi syariah dunia pada 2045. Mari kita kawal langkah pemerintah mencapai ambisi tersebut.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.