Opini
Diet Karbon dan Pangan Lokal
Masing-masing kita bisa berkontribusi untuk menekan gas rumah kaca dengan diet karbon.
KHUDORI; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
Utusan lebih dari 100 negara berkumpul di Glasgow, Skotlandia, guna mengikuti Conference of the Parties (COP-26). Konferensi yang berlangsung hingga 12 November 2021 itu, berambisi membangun kesepakatan bersama untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran.
COP-26 berambisi meraih empat kesepakatan: menyelamatkan bumi dengan emisi nol karbon demi mencegah suhu bumi agar tidak naik di atas 1,5 derajat Celsius, melindungi masyarakat dan habitat alam terdampak, mobilisasi pendanaan dari negara maju ke negara berkembang untuk menanggulangi perubahan iklim, dan kolaborasi serta kerja sama antarpihak baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat sipil.
Diakui atau tidak, penurunan gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global terfokus pada sektor energi. Maklum, energi menjadi sumbu pengungkit yang menjamin ekonomi tumbuh berkesinambungan.
Selain itu, energi menjadi kontributor utama (70 persen) GRK. Berkaca dari Laporan Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim ke-6 (IPCC AR6), Agustus lalu, suhu rata-rata udara meningkat 1,1 derajat Celsius dari zaman pra-industri.
Artinya, satu dekade mendatang perlu ambisi besar agar kondisi iklim tak membahayakan manusia. Di sisi lain, komitmen para pihak menurunkan GRK, sejauh ini tak terlalu ambisius. Bahkan 70 negara belum berkomitmen sampai kini.
Dihadapkan pada situasi semacam itu, usaha penyelamatan bumi dari kehancuran sebaiknya digeser ke komitmen individu. Masing-masing kita bisa berkontribusi untuk menekan GRK dengan diet karbon.
Satu dekade mendatang perlu ambisi besar agar kondisi iklim tak membahayakan manusia.
Salah satu yang terbuka luas dilakukan adalah dalam konsumsi pangan. Langkah ini bisa dimulai dengan memeriksa ulang bagaimana makanan berpindah dari lahan pertanian hingga ke garpu di meja makan kita.
Selama ini, kita sering abai berapa ratus, bahkan ribuan kilometer makanan “jalan-jalan” dari tempat tumbuh hingga disantap di mulut. Kian jauh makanan “jalan-jalan” kian tidak berkelanjutan dan tidak ramah lingkungan makanan yang kita santap.
Ini karena jejak karbon (food miles) akibat perjalanan yang kian jauh membuat aliran makanan (produksi-distribusi-konsumsi) kian tak ramah lingkungan. Semakin jauh makanan “jalan-jalan” kian banyak bahan bakar, terutama BBM fosil, yang dibakar.
Lokalitas bisa jadi solusi karena membuat rantai pasok lebih pendek. Perjalanan pangan dari produsen ke konsumen, lebih cepat. Aspek kesegaran dan higienitas terjawab sekaligus. Rantai pasok lebih pendek juga menekan biaya transaksi dan pasar kian efisien.
Lokalitas bisa jadi solusi karena membuat rantai pasok lebih pendek.
Ujung-ujungnya, balas jasa kepada pihak dalam rantai pasok, termasuk petani, kian baik. Lokalitas juga identik dengan sumber daya lokal.
Ketika impor terputus atau logistik terganggu oleh pembatasan karena pandemi Covid-19, konsumen Indonesia bertumpu pada pangan produksi lokal, yang berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Ini berkah bagi gerakan diversifikasi pangan.
Sejumlah survei, antara lain oleh Nielsen dan McKinsey (2020), menemukan perubahan menarik. Tatkala pendapatan menurun dan akses makin terbatas, konsumen mengalihkan kebiasaan makan di luar jadi masak di rumah.
Pola belanja pangan kian selektif. Mereka berbelanja bukan lagi karena dorongan keinginan atau berat tubuh ideal, tapi lantaran kebutuhan kesehatan. Belanja pangan sumber protein, lemak, buah, sayuran dan produk segar naik drastis.
Belanja pangan sumber protein, lemak, buah, sayuran dan produk segar naik drastis.
Belanja telur naik 26 persen, daging 19 persen, daging unggas 25 persen, serta buah dan sayur 8 persen. Belanja rempah-rempah seperti jahe, kunyit, kapulaga, serta minuman herbal yang diyakini menaikkan imunitas tubuh juga naik drastis.
Yang menarik, dalam membeli aneka kebutuhan pangan, konsumen menimbang aspek higienitas, kesegaran bahan, keamanan, dan lokalitas (bukan impor). Dibandingkan negara lain, konsumen Indonesia amat memperhatikan keempat aspek tersebut.
Menimbang Covid-19 selalu bersama umat manusia, ada peluang perubahan pola belanja dan konsumsi ini jadi praktik berkelanjutan. Jika terjadi, membuka peluang bagi aneka produk pangan domestik. Ini juga berkontribusi menurunkan (diet) pembakaran karbon.
Menimbang Covid-19 selalu bersama umat manusia, ada peluang perubahan pola belanja dan konsumsi ini jadi praktik berkelanjutan.
Sejarah Indonesia mencatat gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku, Papua), jagung (Jateng, Jatim, Nusa Tenggara), cantel atau sorgum (Nusa Tenggara), talas, dan ubi jalar (Papua) sebagai pangan baku warga selama bertahun-tahun.
Selama berpuluh-puluh tahun, sistem pangan lokal dan khas itu menopang kedaulatan dan ketahanan pangan warga, sampai sistem ini koyak oleh kebijakan pangan yang bias beras.
Semua paham, mengalihkan kebiasaan bertahun-tahun, termasuk dalam pola makan, bukanlah hal mudah. Kebiasaan itu tercipta melalui proses adaptasi panjang. Kini, dipaksa pandemi Covid-19, ada peluang perubahan pola makan berlangsung lebih cepat.
Momentum ini mesti dimanfaatkan dengan meracik peta jalan sistem pangan lokal. Jika ini bisa dieksekusi, kedaulatan pangan akan tegak sekaligus kita berkontribusi diet karbon.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.