Kabar Utama
Tawadhu pada Era 4.0
Sungguh penting bagi kita untuk menjaga sikap tawadhu pada era 4.0 ini.
OLEH A SYALABY ICHSAN
Hidup pada zaman di mana informasi serba terbuka seperti sekarang memacu manusia untuk menyampaikan segenap informasi tentang dirinya. Apa, siapa, dan bagaimana kehidupan pribadi seseorang mendadak amat penting untuk diketahui publik.
Tak jarang, mereka berlomba untuk mempertontonkan barang-barang mahal dari outfit, makanan hingga kendaraan kepada masyarakat. Semua dilakukan demi mendapatkan like, comment, dan subsscribe di media sosial. Sikap riya' dan pamer pun seolah menjadi dogma baru demi viewers yang konon bisa mendulang popularitas dan rupiah.
Apakah gaya hidup mahal yang dipertontonkan ini sesuai dengan apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya? Rasulullah SAW dikenal amat zuhud dalam gaya hidupnya.
Lihatlah bagaimana Nabi SAW berpakaian. Beliau SAW mengharamkan pakaian berbahan sutra dan perhiasan emas bagi pria pada saat pakaian dan perhiasan tersebut dikenakan para raja dan penguasa.
Sebagai pemimpin politik sekaligus agama, pakaian Nabi SAW tidak berbeda daripada orang-orang pada umumnya. Beliau, misalnya, memiliki baju dari bahan kain katun. Lengannya sudah pendek. Ada juga sehelai jubah yang sempit serta baju untuk menutupi badannya. Lebar baju itu sepanjang empat hasta plus dua hasta satu jengkal.
Selain itu, Beliau memiliki baju burdah Yamani yang panjangnya enam hasta, dengan lebar tiga hasta dan satu jengkal. Baju-baju yang bernuansa gagah itu--tetapi tidak berlebih-lebihan mewah-- dipakai Nabi SAW tiap hari Jumat atau dua hari raya.
Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsamain menjelaskan, ada dua hal yang harus diperhatikan dalam masalah pakaian, yakni al-Israf (berlebih-lebihan) dan al-Makhilah (bersikap sombong).
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam masalah pakaian, yakni al-Israf (berlebih-lebihan) dan al-Makhilah (bersikap sombong).
Menurut Syekh Utsamain, al-Israf bersifat relatif karena terkadang suatu pakaian dianggap wajar dikenakan orang yang kaya, tetapi tidak demikian untuk mereka yang tidak punya. Allah SWT berfirman: “Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS ath-Thalaq: 7).
Bagaimana dengan al-Makhilah? Menurut Syekh Utsamain, maksud dari al-Makhilah adalah seseorang mengenakan pakaian dengan maksud menyombongkan diri atau membanggakan diri di hadapan manusia supaya diketahui bahwa ia memiliki pakaian amat mahal. Dalam hal ini menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan sombong.
Lantas, apakah mengenakan pakaian yang bagus dan indah termasuk dalam kategori sombong? Syekh al-Utsamain menjelaskan, hal tersebut tak termasuk dalam derajat berlebihan mengingat Allah Maha Indah dan menyukai keindahan.
Begitu juga dengan makanan. Rasulullah dikenal memiliki pola hidup yang sehat tapi sederhana. Beliau menyukai daging kambing, kurma, madu, susu, dan buah-buahan.
Rasulullah dikenal memiliki pola hidup yang sehat tapi sederhana.
Meski demikian, Rasulullah tak pernah memaksakan untuk memakan sesuatu yang tidak ada di dapurnya. Beliau SAW bahkan lebih suka menahan lapar dengan batu yang diganjalkan di perutnya demi tidak memberatkan umat yang dipimpinnya.
Demikian contoh kehidupan sederhana Rasulullah SAW. Sikap Beliau sungguh jauh dari sikap kebanyakan masyarakat digital saat ini yang penuh dengan keriaan. Tidak sekadar hidup sederhana, Rasulullah bahkan menyuruh kita untuk menyembunyikan amal kebajikan.
Karena itu, sungguh penting bagi kita untuk menjaga sikap tawadhu pada era 4.0 ini. Sebuah istilah yang menggambarkan akhlak nan luhur dengan tidak merendahkan maupun menghinakan diri sendiri.
Syekh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri dalam Minhajul Muslim menjelaskan, sikap ini berlawanan dengan sikap takabur. Ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Dan rendahkanlah hatimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS asy-Syura: 215).
Di sisi lain, Allah SWT melarang kita untuk bersikap sombong. “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong.” (QS al-Isra: 37).
Hakikat tawadhu ialah merasa hina dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran yang merujuk pada Allah SWT. Tawadhu bukanlah rendah diri, melainkan rendah hati.
Orang yang tawadhu tidak akan merasa tinggi hati ketika dipuji. Sebaliknya, dia tidak merasa hina ketika dicaci. Rasulullah SAW pun pernah bersabda, "Barang siapa bertawadhu karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya."
Cukup berat untuk bersikap tawadhu pada era yang menuntut manusia untuk menunjukkan eksistensinya. Semoga Allah Ta’ala menjaga hati-hati kita untuk tetap tawadhu dalam bermedia sosial dan terhindar dari sikap takabur.
Wallahu a’lam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.