Petugas pemikul jenazah mengenakan alat pelindung diri (APD) memakamkan jenazah dengan protokol Covid-19 di TPU Kihafit, Leuwigajah, Kota Cimahi, Ahad (22/8/2021). Tantangan imunitas yang memudar bertemu dengan risiko kemunculan varian baru Covid-19. | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Dialektika

Mencegah Gelombang Ketiga Covid-19

Tantangan imunitas yang memudar bertemu dengan risiko kemunculan varian baru Covid-19.

OLEH YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; MELI TRIANA DEVI, Peneliti IDEAS; FEBBI MEIDAWATI, Peneliti IDEAS; FAJRI AZHARI, Peneliti IDEAS

Pasca Juli kelabu ketika serangan Covid-19 varian Delta telah mengharu-biru jutaan anak negeri, Indonesia menunjukkan pemulihan yang sangat luar biasa. Setelah mengalami kelumpuhan sistem kesehatan, krisis obat dan oksigen, hingga antrean di pemakaman, Indonesia kini pulih dengan cepat dan sangat meyakinkan.

Bila di puncak gelombang kedua kasus aktif pernah mencapai 574 ribu, kasus harian 56 ribu, dan kematian harian menembus 2.000 kasus, maka kini secara luar biasa kasus aktif telah jauh menurun di bawah 25 ribu, kasus harian di bawah 1.000, dan kematian harian di bawah 50 kasus.

Kinerja penanggulangan pandemi dan pemulihan Indonesia yang luar biasa ini berkebalikan dengan kondisi pandemi di negara-negara tetangga yang selama ini dikenal memiliki kinerja yang jauh lebih baik dari Indonesia. Kasus harian Covid-19 Indonesia telah lebih rendah dari Malaysia sejak 18 Agustus 2021 dan dari Vietnam sejak 27 Agustus 2021.

Dan terkini, secara fenomenal, kasus harian Covid-19 Indonesia bahkan telah lebih rendah dari negara-negara yang selama ini dikenal sebagai wilayah “zero Covid-19”: lebih rendah dari Singapura dan Australia berturut-turut sejak 26 dan 30 September 2021.

Ilusi herd immunity

Pemulihan pandemi Indonesia yang sangat menjanjikan ini kemudian memunculkan euforia sebagian kalangan masyarakat dan bahkan berspekulasi bahwa Indonesia kini telah mencapai herd immunity, terutama di daerah-daerah dengan tingkat vaksinasi tinggi seperti DKI Jakarta.

Turunnya kasus harian Covid-19 secara tajam memang terjadi beriringan dengan akselerasi vaksinasi. Dengan penduduk yang telah mendapat vaksin pertama dan kedua berturut-turut baru di kisaran 35 dan 20 persen dari total penduduk, herd immunity jelas masih jauh dari tercapai. 

Andai pun vaksinasi berjalan cepat dan optimal, herd immunity tetap sulit diraih jika tidak bisa dikatakan mustahil. Sebagai misal, dalam skenario varian Delta dengan menggunakan asumsi daya penularan virus (R0) 6,5, setidaknya dibutuhkan tingkat efikasi vaksin 90 persen dengan cakupan vaksinasi 94 persen populasi. 

Hipotesis lain dari kinerja tinggi pemulihan pandemi Indonesia adalah besarnya herd immunity yang diperoleh bukan dari vaksin, tapi dari paparan virus di masa lalu. Spekulasi ini mendapat dukungan dari beberapa temuan empiris.

Survei serologi di DKI Jakarta pada Maret 2021 menemukan sekitar setengah penduduk Jakarta pernah terinfeksi Covid-19. Terkini, Universitas Washington mengestimasi sekitar 29 persen penduduk Indonesia pernah terinfeksi Covid-19. 

Survei kami pada Agustus 2021 menemukan hal serupa: tingginya tingkat infeksi dari gelombang kedua terutama di Jabodetabek dan wilayah perkotaan. Dalam tiga bulan terakhir, sebanyak 20,8 persen responden di Jabodetabek mengaku pernah terpapar Covid-19.

photo
Pasca Juli Kelabu dan Badai Covid-19 Berlalu. Kasus harian Covid-19 Indonesia dan negara tetangga, Agustus-Oktober 2021. Data diolah IDEAS - (IDEAS/Dialektika Republika)

Lebih jauh, 48,0 persen responden di Jabodetabek mengaku ada anggota keluarga inti mereka (anak, istri-suami, ayah-ibu, adik-kakak) yang pernah terpapar Covid-19 dalam tiga bulan terakhir.

Meski demikian, jalan menuju herd immunity tetaplah terjal. Fakta yang semakin sulit dibantah adalah imunitas populasi yang berasal dari vaksin maupun infeksi Covid-19 sebelumnya tidaklah bertahan selamanya. Fenomena reinfeksi juga menunjukkan bahwa imunitas dari paparan virus di masa lalu juga tidak bertahan selamanya.

Survei IDEAS pada Agustus 2021 menunjukkan bahwa dalam tiga bulan terakhir, sebanyak 40,7 persen responden di Jabodetabek mengaku ada di antara responden, keluarga, kerabat, atau tetangga/teman dekat mereka yang sudah pernah terpapar Covid-19 sebelumnya kembali terpapar Covid-19 (reinfeksi) di gelombang kedua.

Dari survei yang sama, sebanyak 69,2 persen responden di Jabodetabek juga mengaku mengetahui ada di antara responden, keluarga, kerabat atau tetangga/teman dekat responden yang sudah mengikuti vaksinasi, tapi tetap terpapar Covid-19 pada gelombang kedua yang lalu.

Temuan ini menegaskan bahwa vaksin yang kini tersedia bukanlah transmission-blocking vaccine, sehingga tidak cukup mampu mencegah orang terinfeksi dan menyebarkan virus ke orang lain.

Bukti lebih jauh kini terjadi di banyak negara dengan tingkat vaksinasi tinggi. Berbagai negara dengan vaksinasi tinggi kini mengalami lonjakan kasus Covid-19 yang sangat signifikan, terutama dari serangan varian Delta. Beberapa negara yang selama ini bahkan terkenal sebagai wilayah “zero Covid-19” seperti Singapura dan Australia mengalami lonjakan kasus tertinggi sepanjang pandemi, meski telah melakukan vaksinasi ke populasi secara masif.

Singapura dan Australia yang selama ini menerapkan restriksi perbatasan yang ketat, termasuk pembatasan penerbangan internasional dan intervensi kesehatan publik yang kuat mengalami lonjakan kasus ketika mulai melonggarkan restriksi seiring vaksinasi dan penerimaan risiko endemis dari Covid-19.

photo
Pengalaman Terinfeksi Virus di Tengah Gelombang Kedua. Pengalaman ketidamanan masyarakat di tengah pandemi yang tak terkendali. Data diolah IDEAS - (IDEAS/Dialektika Republika)

Lupa Juli kelabu

Seiring kondisi pandemi yang kian terkendali, pemerintah dengan percaya diri kini terus melonggarkan pembatasan berbagai aktivitas sosial ekonomi, mulai dari pembukaan mal dan tempat usaha, normalisasi ibadah keagamaan, pertemuan tatap muka di semua jenjang sekolah, pembukaan tempat wisata, hingga mengizinkan event olahraga, musik, dan resepsi pernikahan skala besar.

Pelaksanaan PON XX di Papua dan pembukaan Bali untuk wisatawan asing menandai kepercayaan diri tinggi pemerintah atas situasi pandemi.

Seiring pelonggaran berbagai pembatasan aktivitas, mobilitas masyarakat meningkat dengan cepat, bahkan terlihat euforia seperti yang ditunjukkan dalam fenomena revenge traveling. Meningkatnya kembali mobilitas masyarakat secara signifikan ini ironisnya terlihat beriringan dengan semakin melemahnya disiplin protokol kesehatan.

Munculnya berbagai klaster Covid-19 mulai dari penyelenggaran pertemuan tatap muka sekolah hingga dari arena PON XX menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan.

Pemerintah dan masyarakat seolah lupa bahwa Covid-19 masih ada dan kita hanya baru beberapa bulan yang lalu merasakan getirnya serangan virus ini. Begitu pendek ingatan bangsa ini yang pada Juni – Agustus 2021 lalu dihantam gelombang kedua Covid begitu keras.

photo
Jalan Terjal Herd Immunity. Lonjakan kasus Covid-19 di negara-negara dengan tingkat vaksinasi tinggi. Data diolah IDEAS - (IDEAS/Dialektika Republika)

Di puncak gelombang kedua, rumah sakit tumbang disesaki kasus aktif hingga menembus 500 ribu orang. Pemakaman tak henti dipenuhi antrean ambulans seiring kematian harian yang melonjak hingga 2.000 kasus. 

Pada “Juli Kelabu” begitu mencekam suasana negeri ini, dipenuhi kematian demi kematian akibat serangan virus. Sepanjang Juni – Agustus 2021, terdapat 2,3 juta kasus positif Covid-19 dengan lebih dari 82 ribu kematian.

Andai kita mampu mencegah tragedi “Juli Kelabu” kasus positif dan kematian akibat Covid-19 akan turun hingga setengahnya.

Situasi pandemi ke depan masih sangat dinamis, ketidakpastian masih sangat tinggi. Lengah dan berpuas diri adalah sebuah kesalahan fatal, terlebih bagi negeri yang baru saja dihantam kerasnya serangan virus gelombang kedua. Risiko terbesar adalah munculnya varian baru, terutama varian yang mampu menghindari kekebalan dari vaksin dan menjadi resisten terhadap vaksin.

Namun, jalan untuk kembali ke kehidupan normal tidak sepenuhnya tertutup dalam waktu dekat. Menekan tingkat kesakitan dan kematian akibat virus dan karenanya membuat dampak pandemi menjadi terkendali akan membuat kita bisa menerima beban pandemi, terutama dengan indikator tingkat kematian nol, dan kembali ke kehidupan normal.

Kesenjangan vaksinasi

Vaksinasi massal tidak akan bisa menghapus pandemi secara keseluruhan. Karena itu akan selalu terdapat risiko virus akan terus menyebar hingga sebagian besar populasi terpapar. Namun vaksinasi tetap krusial untuk menekan risiko kesakitan dan kematian akibat Covid-19. Sehingga, meski kita tidak dapat menghapus transmisi virus secara keseluruhan, tapi tingkat proteksi populasi ini akan membuat dampak dari pandemi adalah terkendali. 

DKI Jakarta menjadi satu-satunya wilayah di Indonesia saat ini dengan tingkat vaksinasi yang sangat tinggi, mendekati 100 persen. Penduduk yang telah mendapatkan vaksinasi penuh (vaksin kedua) sudah berada di kisaran 80 persen.

Penduduk yang telah mendapatkan vaksin pertama bahkan telah menembus 100 persen. Namun demikian, mengingat vaksin untuk penduduk usia 0 - 12 tahun belum tersedia, maka vaksinasi universal untuk seluruh penduduk DKI Jakarta tetap belum akan terjadi dalam waktu dekat.

Dengan tingkat vaksinasi yang sangat tinggi ini, DKI Jakarta kini mengalami pemulihan pandemi yang sangat menjanjikan. Tingkat positivity rate DKI Jakarta yang pada Juli 2021 lalu rata-rata menembus 40 persen, kini jatuh di bawah satu persen, jauh di bawah ambang batas WHO yang lima persen.

Kematian harian yang pada puncak gelombang kedua rata-rata di atas 120 kasus, kini telah mendekati nol. Beban pandemi di Ibu Kota kini telah menjadi sangat terkendali. Namun demikian, transmisi virus masih terus terjadi. 

photo
Tragedi Gelombang Kedua. Serangan varian Delta dan lonjakan kematian Covid-19, Juni-Agustus 2021 - (IDEAS/Dialektika Republika)

Vaksinasi massal mampu mengendalikan dampak virus dengan menekan angka kesakitan dan kematian, tapi tidak dengan penyebarannya. Karena transmisi virus dapat terus terjadi meski di tengah tingkat vaksinasi yang tinggi, maka potensi ledakan kasus tetap akan terus mengintai.

Meski vaksin sangat membantu mencegah fatalitas akibat virus, tapi vaksin yang kini tersedia tidak cukup mampu mencegah orang terinfeksi dan menyebarkan virus ke orang lain. 

Tantangan besar lain adalah struktur geografis dari herd immunity. Upaya vaksinasi sebelumnya menunjukkan imunitas cenderung akan terkonsentrasi secara geografis. Meski suatu daerah telah memiliki tingkat vaksinasi tinggi, seperti DKI Jakarta, tapi jika daerah sekelilingnya tidak memiliki hal yang sama, sehingga penduduk akan bercampur, maka potensi ledakan wabah tetap tidak akan hilang.

Hingga kini, kecepatan vaksinasi antar daerah di Indonesia sangat beragam. Kesenjangan yang tinggi terjadi antar wilayah maupun di dalam satu wilayah. DKI Jakarta adalah satu-satunya provinsi dengan tingkat vaksinasi tinggi, dengan penduduk telah mendapat vaksinasi penuh di atas 80 persen.

Sebagian besar provinsi memiliki tingkat vaksinasi yang rendah, dengan penduduk telah mendapat vaksinasi penuh di bawah 20 persen. Kesenjangan di dalam wilayah juga sangat tinggi. Di Papua, penduduk dengan vaksin pertama di Kabupaten Merauke telah lebih dari 70 persen, tapi di Kabupaten Lani Jaya baru di kisaran satu persen.

Dari herd immunity ke endemi

Dengan virus yang akan terus bersama kita dalam waktu yang panjang ke depan, maka fokus kebijakan adalah menurunkan tingkat infeksi sehingga akan memutus rantai penyebaran virus. Dengan mutasi virus akan lebih berpotensi terjadi pada pandemi yang tidak terkendali, maka mencegah transmisi virus sejak awal adalah signifikan.

Pelonggaran pembatasan secara bertahap dan berhati-hati, diiringi dengan kedisiplinan terhadap protokol kesehatan yang tinggi, menjadi kata kunci yang klasik tapi terlalu sering tidak dipatuhi.

Meski beban pandemi kian terkendali, tapi ledakan kasus akan menginfeksi penduduk usia rentan dan penduduk yang tidak divaksin karenanya berpotensi menumbangkan sistem kesehatan. Maka, tanpa disiplin terhadap protokol kesehatan yang memadai, dan dengan tertutupnya peluang meraih herd immunity dari vaksinasi massal, kita akan kembali kepada lingkaran siklus pemulihan dan intervensi pembatasan sosial tak berujung.

photo
Kesenjangan Vaksinasi Antar Daerah. Vaksinasi massal dan struktur geografis herd immunity, 5 Oktober 2021 - (IDEAS/Dialektika Republika)

Hanya setelah memastikan bahwa transmisi virus tidak akan terjadi dan ledakan kasus tidak lagi mengintai, barulah kita dapat membicarakan skenario transisi dari pandemi ke endemi. Negara-negara yang mengalami ledakan kasus akibat varian Delta, seiring kini melandainya kurva, diperkirakan akan mencapai fase endemi lebih cepat, sebagai hasil dari tingkat imunitas yang lebih tinggi baik dari vaksinasi maupun dari infeksi virus yang masif. 

Dengan tingkat kesakitan dan kematian akibat Covid-19 dari populasi yang telah memiliki imunitas setara atau bahkan lebih rendah dari penyakit seperti flu dan penyakit lainnya, maka Covid-19 akan menjadi endemi di mana masyarakat akan terbiasa hidup dengannya.

Jika skenario endemi ini berjalan lancar, maka tantangan akhirnya adalah mempersiapkan sistem kesehatan untuk mengelola dan menekan angka keparahan dan kematian.

Vaksinasi yang optimal, cepat, dan merata menjadi kunci di sini. Tantangan besar di sini adalah tingkat proteksi vaksin yang memudar seiring waktu. Tantangan imunitas yang memudar ini bertemu dengan risiko kemunculan varian baru yang ketidakpastiannya masih akan tinggi ke depan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat