Warga menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di Warunggunung, Lebak, Banten, Ahad (24/10/2021). | ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Opini

Eksklusivisme Parpol di Desa

Parpol sering digunakan sejumlah orang sebagai medium merealisasikan kepentingan jangka pendek.

RIZA MULTAZAM LUTHFY, Peneliti Desa dan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Sejumlah tokoh dan elite politik mengisyaratkan munculnya beberapa partai politik (parpol) yang siap bertarung dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Di luar parpol lama, kontestasi politik lima tahun sekali tersebut bakal disemarakkan parpol baru. Salah satunya, Partai Ummat yang telah menerima surat pengesahan dengan diterbitkannya SK Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Menjelang digelarnya ajang demokrasi paling dinanti itulah, parpol beramai-ramai beradu visi dan misi. Mereka berlomba menarik simpati dan dukungan publik dengan menampilkan ikon atau lambang tertentu.

Basis pemilih

Selama ini, orang di pedesaan menjadi target sekaligus magnet utama parpol. Agar mendapat pengakuan publik, parpol kerap mengaku dekat orang desa. Itulah mengapa, program yang dicanangkan kerap dihubungkan dengan kepentingan orang desa.

 

 
Selama ini, orang di pedesaan menjadi target sekaligus magnet utama parpol.
 
 

 

Apalagi, berkaca pada pengalaman sebelumnya, mayoritas basis pemilih parpol pada Pemilu 2019 berada di desa.

Data menunjukkan, 60 persen pemilih parpol adalah orang desa. Menurut catatan historis, pendekatan terhadap orang desa merupakan salah satu strategi yang pernah ditempuh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam upaya memenangkan pemilu.

Bagi kalangan akar rumput, daya tarik PKI cukup melejit karena gencar menawarkan isu-isu populis di desa. Kondisi perekonomian yang kembang kempis dimanfaatkan PKI untuk mengangkangi lawan-lawan politiknya.

Merujuk Deliar Noer, dkk (1999: 145-146), setelah kekalahan telak kaum nasionalis dan kaum Islam pada Pemilu 1955, parpol berbondong-bondong terjun ke desa. Langkah ini diwujudkan, antara lain melalui mobilisasi massa.

Pada awal mobilisasi, misalnya di Malang dan Kediri, PKI memetik keuntungan. Merosotnya perekonomian nasional mengakibatkan banyak orang desa didera krisis ekonomi dan politik. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan mereka merapat ke PKI.

Politik hukum

Kedekatan orang desa dengan urusan politik tak mungkin dilepaskan dari rezim berkuasa. Berdasarkan fakta historis, terdapat perbedaan arah kebijakan pemerintah antara satu masa dan masa lainnya.

 

 
Kedekatan orang desa dengan urusan politik tak mungkin dilepaskan dari rezim berkuasa. Berdasarkan fakta historis, terdapat perbedaan arah kebijakan pemerintah antara satu masa dan masa lainnya.
 
 

 

Suatu rezim pemerintahan mempunyai paradigma dan cara pandang berlainan terhadap keterlibatan orang desa dalam urusan politik. Perbedaan yang dimaksud cukup menonjol pada masa Orde Lama dan Orde Baru.

Pemerintah Orde Lama menginginkan orang desa mengenal parpol, sekaligus berusaha mewujudkan harapannya melalui parpol. Bagi Sukarno, keberadaan parpol di desa merupakan keniscayaan.

Merujuk catatan Budi Winarno (2003: 195), pertumbuhan parpol merupakan salah satu hal yang ingin dicapai pada masa pemerintahan Sukarno.

Pemerintah saat itu memberikan perhatian besar terhadap keberadaan parpol guna memastikan instrumen demokrasi tersebut mampu mengartikulasikan keinginan massa melalui dewan perwakilan pada level pusat, provinsi, kabupaten, hingga desa.

Hal di atas bertolak belakang dengan pemerintah Orde Baru, yang berhasrat menjauhkan orang desa dari gelanggang politik. Orang desa diharapkan selalu memfokuskan diri pada program pembangunan yang tengah digalakkan pemerintah.

Sayangnya, apa yang dilakukan pemerintah bersifat kontradiktif. Di satu sisi, pemerintah menghalangi parpol menjadikan orang desa sebagai basis pemilih atau konstituennya, tapi di sisi lain, pemerintah justru menancapkan tiang berdirinya Golongan Karya di desa.

Representasi wong cilik

Pada dasarnya, pembentukan parpol merupakan sarana mewujudkan prinsip dan nilai demokrasi di Indonesia. Ini berarti, parpol semestinya bersedia menampung partisipasi masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi.

 
Para pakar dan akademisi menilai, adanya pergeseran dari demokrasi ke oligarki di tubuh parpol.
 
 

Parpol diharapkan sebisa mungkin mampu menyerap aspirasi beragam elemen masyarakat. Coraknya yang partisipatif memungkinkan semua orang mempunyai hak dan peluang yang sama untuk menyampaikan pendapat.

Sayangnya, keberadaan sejumlah parpol cenderung bercorak elitis dan eksklusif. Parpol sering digunakan sejumlah orang sebagai medium merealisasikan kepentingan jangka pendek. Dalam dasawarsa terakhir, parpol dalam kondisi mengkhawatirkan.

Para pakar dan akademisi menilai, adanya pergeseran dari demokrasi ke oligarki di tubuh parpol.

Tak heran apabila parpol lebih tepat dianggap perusahaan pribadi atau keluarga yang mengutamakan kepentingan sekelompok orang, daripada fungsinya melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, termasuk orang desa.

Dengan demikian, parpol tidak berada dalam kepemilikan rakyat, tetapi dikuasai segelintir orang dengan modal sosial, ekonomi, serta politik yang kuat.

Atas dasar itulah, peninjauan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur parpol merupakan keniscayaan. UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik seharusnya bersifat lebih partisipatif.

Norma-norma yang berpihak pada kepentingan elite, sekaligus mengesampingkan kepentingan rakyat mendesak direvisi. Ini usaha menghilangkan citra eksklusif yang telanjur melekat pada sebagian besar parpol.

Ke depan, parpol diharapkan bukan lagi menjadi cerminan para elite yang haus kekuasaan, melainkan representasi wong cilik yang merindukan perlindungan dan kesejahteraan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat