Charles WIjaya memeluk Islam sejak tahun 1999. Baginya, menjadi Muslim merupakan anugerah yang paling disyukurinya. | DOK IST

Oase

Charles Wijaya, Perjalanan Menjemput Hidayah

Berbagai keberkahan terjadi dalam hidup Charles sesudah ia memeluk Islam.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

Keputusan untuk beriman bisa datang dari beragam konteks. Ada yang berpegang teguh pada agama kedua orang tuanya sejak dini. Ada pula yang beragama dengan terlebih dahulu berusaha menemukan makna kebenaran dalam hidupnya. 

Bagi Charles Wijaya, konteks yang kedua itu terasa lebih relevan. Sebab, ia memeluk Islam dengan keputusannya sendiri tatkala dewasa. Saat masih anak-anak hingga beranjak remaja, pria keturunan Tionghoa itu tumbuh besar di keluarga non-Muslim. 

Momen ketika Charles mengucapkan dua kalimat syahadat untuk pertama kalinya memang terjadi saat hendak menikah. Bagaimanapun, ia memastikan, kebulatan tekadnya untuk berislam bukan karena pernikahan. Bertemu dengan dan, akhirnya, menjadi suami dari Nuryana adalah jalan baginya untuk menerima hidayah Ilahi.

Mulanya, Charles diterima bekerja pada sebuah perusahaan yang berpusat di Jakarta Barat. Setelah beberapa lama di sana, atasannya ingin agar ia ikut dalam proyek ekspansi perusahaan. Maka ia pun ditugaskan berkantor di Palembang, Sumatra Selatan. 

Di kota itulah dia pertama kali berjumpa dengan Nuryana. Dari sekadar perkenalan, berubah menjadi rasa suka. Ia mengenal perempuan ini sebagai pribadi yang bersahabat, sederhana, mandiri, dan penyayang. 

Hingga suatu saat, Charles memutuskan untuk melamarnya. Melihat dirinya sebagai seorang non-Muslim, pihak keluarga Nuryana sempat menunjukkan penolakan. Hal itu justru menjadi awal baginya untuk mengenal Islam. 

Saat itu, ia tidak pernah memandang skeptis agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia ini. Sebab, toh ada sanak familinya yang Muslim. Keluarga besarnya memang multikultural. Perbedaan keyakinan bukanlah sebuah masalah.

 
Keluarga besarnya memang multikultural. Perbedaan keyakinan bukanlah sebuah masalah.
 
 

Sebagai contoh, salah seorang pamannya adalah Muslim. Beberapa saudara ayahnya menganut Kristen atau Katolik. Sejak kecil, Charles dibesarkan dengan keyakinan Buddha. Namun, kedua orang tua memasukkannya ke sekolah swasta Nasrani. 

 

Maka sedari dini, ia terbiasa melihat sisi kesamaan dari fakta keberagaman. Dalam persepsinya, semua agama mengajarkan kebaikan. Perihal akidah, tentu berbeda-beda satu sama lain. 

Saat coba-coba mengenal lebih dekat ajaran Islam, Charles mendapatkan keterangan yang cukup menarik hatinya. Ternyata, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa sebaik-baik orang ialah yang bermanfaat bagi sesama. Pesan Rasulullah SAW itu sangat cocok dengan prinsipnya selama ini. Lelaki kelahiran Jakarta itu memandang, dalam hidup diri ini haruslah menebar manfaat seluas-luasnya.

“Sehingga saya menilai, tidak masalah bagi saya untuk memeluk Islam. Toh Islam juga mengajarkan kebaikan,” ujar Charles kepada Republika beberapa waktu lalu.

 
Saya menilai, tidak masalah bagi saya untuk memeluk Islam. Toh Islam juga mengajarkan kebaikan.
 
 

 

Setelah merenungi tentang hal itu, ia pun mantap memeluk Islam. Ia lalu menghubungi Nuryana. Wanita itu kemudian mengabarkan kepada kerabatnya. Maka disusunlah jadwal untuk mereka menemui seorang ustaz.

Hari yang dinantikan pun tiba. Di hadapan dai tersebut, Charles mengutarakan niatnya untuk berislam. Pada hari itulah, Kamis, 18 November 1999, untuk pertama kalinya ia mengucapkan dua kalimat syahadat: “Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah.” 

Tidak sekalipun Charles menyesali keputusannya ini. Baginya, urusan agama merupakan yang paling penting dalam hidup. Apa pun ujian yang datang menerpa, jangan sampai melepas keyakinan.

Di kantor tempatnya bekerja saat itu, terasa nuansa favoritisme. Ada kecenderungan bahwa hanya mereka yang mulus jalan kariernya mesti berdarah Tionghoa dan non-Muslim. Sesaat sebelum menjadi Muslim, Charles menjabat sebagai kepala cabang di Palembang. Apakah sesudah berislam jabatan itu lepas dari tangan? Ia tidak ambil pusing.

Nuryana pun mengetahui tentang kemungkinan turun jabatan atau bahkan pemecatan yang dihadapi sang calon suami. Charles mengatakan kepada calon istrinya itu, nafkah bisa dicari di mana saja dengan cara yang baik dan halal. Tidak mesti bertahan pada perusahaan tertentu. Nuryana tersenyum dan berjanji, akan menerima keadaan lelaki itu walaupun nanti kariernya terhambat “perbedaan agama".

Sebagai mualaf, Charles memilih nama baru, yakni Wahyu Hidayat. Beberapa saat sesudah momen syahadat, ia pun mengundang calon istrinya itu untuk menemui kedua orang tuanya. Pada mulanya, pembahasan tentang agama coba dihindarkan. Agenda utama hanya meminta izin ayah dan ibunya agar berkenan melamarkan Nuryana untuknya.

 
Saat mengobrol, tahulah mereka bahwa calon istri saya itu Muslim. Ayah tanya, apakah saya sudah memeluk Islam?
 
 

 

“Orang tua saya waktu itu belum mengiyakan. Saat mengobrol, tahulah mereka bahwa calon istri saya itu Muslim. Ayah tanya, apakah saya sudah memeluk Islam?” kata Charles mengenang saat-saat itu.

Dengan lugas, ia menjelaskan bahwa kini dirinya telah berislam. Tidak ada perubahan suasana pertemuan sesudah pengakuan itu terucap. Kedua orang tuanya hanya mengangguk dan lanjut membahas tanggal lamaran.

Charles bersyukur karena tidak sampai mengalami penolakan, pengucilan, atau bahkan pengusiran. Sebab, dalam beberapa kasus orang-orang mualaf kerap diintimidasi pihak keluarga untuk kembali pada agama lama.

Ia merasa, alasan di balik sikap bapak dan ibunya itu boleh jadi karena watak multikultural keluarga besar. Alhasil, perbedaan agama bukanlah soal yang patut dibesar-besarkan bagi mereka.

“Lagi pula, ini merupakan jalan hidup yang telah saya pilih sebagai seorang dewasa. Tentu harus bertanggung jawab atas pilihan ini, harus dapat hidup dengan pribadi sebaik-baiknya,” ucapnya.

Tiga bulan sesudah ia berikrar syahadat, prosesi lamaran pun digelar. Resmilah Charles dan Nuryana menjadi sepasang suami istri. Bukan hanya kabar pernikahan, tetapi juga keislamannya yang tersebar di lingkungan kantor. Perusahaan tempatnya bekerja lalu membuat kebijakan baru. 

Charles ditarik “pulang” ke Jakarta. Ia membayangkan, kariernya akan merosot drastis atau posisinya kembali menjadi pekerja biasa. Ternyata, apa yang dikhawatirkan tidak terwujud. 

Di kantor pusat, Charles naik jabatan menjadi manager. Itu atas rekomendasi dari bosnya yang, sebelum mengundurkan diri, telah melihat potensi pada diri mualaf tersebut. Bos ini merasa sayang bila kemampuan managerial bawahannya itu tidak dapat ditunjukkan secara maksimal hanya karena perbedaan agama.

Charles bersyukur. Ia bukan hanya bertahan dengan tempatnya bekerja. Jabatannya bahkan naik level. Dan, di kantornya hanya ada dua orang manager yang Muslim.

 
Baginya, hidayah adalah perkara yang personal. Tidak bisa seseorang dipaksa memeluk agama tertentu.
 
 

Untuk menghindari gesekan dan menjaga keharmonisan, Charles tak pernah membahas soal agama ketika berkumpul. Baginya, hidayah adalah perkara yang personal. Tidak bisa seseorang dipaksa memeluk agama tertentu. Namun, ketika Allah sudah menakdirkan seorang insan untuk menerima cahaya petunjuk-Nya, maka tak ada yang bisa menghalangi.

Maka dari itu, dirinya sangat terinspirasi oleh kandungan surah al-Kafirun. Salah satu ayat surah itu menegaskan, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” Inilah bentuk toleransi yang sesungguhnya. 

Pengalaman umrah

Karena karier yang semakin membaik, kondisi ekonominya pun meningkat. Charles kemudian menyisihkan hartanya untuk berziarah ke Tanah Suci. Tak tanggung-tanggung, ia berangkat umrah bersama dengan istri, kedua anak, dan mertuanya.

Pada 2018, dia dan rombongan bertolak menuju Arab Saudi. Sesampainya di Masjidil Haram, ada perasaan haru saat melihat Ka’bah dari dekat. Rasanya bahagia sekali bisa memboyong keluarga untuk shalat bersama di sana.

Sebuah pengalaman cukup berkesan baginya. Siang itu, ia hendak mengikuti shalat zhuhur berjamaah di Masjidil Haram. Tak sengaja, dirinya bersenggolan dengan seorang jamaah dari negara lain.

photo
Perjalanan umrah di Tanah Suci menjadi slaah satu pengalaman yang paling berkesan bagi Charles Wijaya. - (DOK IST)

Seperti kebiasaan orang pada umumnya, hati akan mendumel saat mengalami hal-hal yang kurang mengenakkan. Itu pula yang dilakukan Charles. Saat berpapasan tadi, ia sempat mencium bau badan yang kurang sedap dari jamaah tersebut.

“Saya dalam hati berkata, kenapa kok orang ini bau sekali? Dan ternyata, bau itu terus mengikuti saya seharian walaupun orangnya sudah pergi jauh. Akhirnya, saya beristighfar, memohon ampun kepada Allah karena telah berkomentar buruk dalam hati,” tuturnya.

Saat hendak shalat Ashar, barulah bau itu menghilang. Inilah sebuah pelajaran berharga baginya. Terhadap saudara seiman, janganlah menyimpan prasangka buruk.

Satu hal lagi. Charles memiliki keingintahuan yang besar. Di Masjidil Haram, dia terpana ketika menapaki lantai. Menurut rumor yang pernah didengarnya, lantai masjid suci itu terasa dingin karena di bawahnya terdapat aliran air dari pipa yang tersambung 

Tanpa berharap pembuktian, ternyata Allah memperlihatkan apa yang ingun diketahuinya. Keesokan harinya Charles melihat ada pembongkaran lantai. Dan, di bawah lantai itu tak dijumpainya satu pun pipa air tersambung atau pancaran air mengalir. 

Maka, menurut Charles, dinginnya lantai Masjidil Haram—walaupun di tengah siang hari terik—adalah sebuah tanda kekuasaan Allah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat