Nasional
Polisi Pembanting Mahasiswa Ditahan
Kondisi mahasiswa yang dibanting polisi di Tangerang berangsur membaik.
OLEH EVA RIANTI, HAURA HAFIZHAH
MFA (21) mahasiswa yang dibanting oleh Brigadir NP saat aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati Tangerang pada Rabu (13/10) lalu tengah dirawat di RS Ciputra, Panongan, Tangerang, Banten. Mahasiswa asal UIN Banten tersebut dikabarkan sempat mengalami muntah-muntah dan pegal pada sejumlah bagian tubuhnya.
Hal itu disampaikan oleh Tedi Agus yang merupakan teman MFA yang turut menjaga MFA di rumah sakit. Berdasarkan keterangan dari Tedi, MFA sempat mengalami kondisi yang cenderung menurun pada Kamis (14/10) petang, sehingga harus rawat inap di RS Ciputra.
"Kalau kondisi tadi pagi karena bangun tidur terus masih kerasa sakit kata dia (MFA) di bagian leher, pundak, sama punggung, terutama leher sama kepala sih. Kemarin malam sempat muntah-muntah," ujar Tedi saat dihubungi Republika, Jumat (15/10).
Namun, Tedi menuturkan, kondisi MFA berangsur membaik pada Jumat (14/10) siang, seiring dengan perawatan medis yang dijalaninya. "Kalau tadi siang sekitar jam 13.30 WIB sudah mulai membaik," lanjutnya.
View this post on Instagram
Berdasarkan penuturan Tedi, MFA sempat agak kesulitan dalam berkomunikasi lantaran tengah menahan rasa nyeri pada beberapa bagian tubuhnya. "Komunikasi masih lancar sedikit kesusahan juga karena emang nahan nyeri aja. Sekarang sudah mulai biasa lagi," jelasnya.
Berdasarkan foto yang dibagikan kepada Republika, tampak MFA tengah berbaring di atas kasur rumah sakit sambil matanya terpejam. MFA mengenakan alat infus di tangan bagian kiri. Dia mengenakan alat bantu penyangga tulang leher berwarna cokelat serta masker berwarna hitam.
Tedi mengatakan, MFA hanya bisa dikunjungi oleh satu orang saja dari pihak keluarga di ruangannya, sesuai arahan dari pihak rumah sakit. Sejauh ini perawatan dari pihak rumah sakit dinilai baik.
"Kalau perawatan dari rumah sakit cukup bauk karena memang difasilitas sama pihak pemda. Yang boleh nungguin cuma satu orang itu pun keluarganya, saya komunikasi pun tadi kita video call," jelasnya.
Sebelumnya, aksi demonstrasi bertepatan dengan hari ulang tahun (HUT) Kabupaten Tangerang terjadi di kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang pada Rabu (13/10) berakhir ricuh hingga terjadi saling dorong antara aksi massa dari sejumlah mahasiswa dengan pihak keamanan. Pada malam harinya, anggota polisi yang membanting mahasiswa menyampaikan permintaan maaf atas kejadian tersebut.
Polri mengakui aksi kekerasan anggotanya terhadap seorang mahasiswa saat unjuk rasa ricuh di Tiga Raksa, Tangerang, sebagai bentuk pelanggaran prosedural. Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Mabes Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan, Brigadir NP--anggota polisi pelaku kekerasan--saat ini sedang menjalani proses penegakan sanski atas pelanggaran yang dilakukan.
Polda Banten sejauh ini melakukan penahanan terhadap oknum Brigadir NP yang merupakan anggota Satreskrim Polresta Tangerang. Hal itu dilakukan buntut dari tindakannya membanting seorang mahasiswa, MFA (21 tahun) dalam aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati Tangerang pada Rabu (13/10) lalu.
Kabid Humas Polda Banten AKBP Shinto Silitonga mengatakan, sejak Rabu (13/10), NP telah diperiksa secara maraton oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri dan Bidpropam Polda Banten. Dia menyebut, sesuai perintah Kapolda Banten, penanganan dan pemberkasan terhadap NP sudah diambil alih sejak kemarin, Kamis (14/10).
"Saat ini NP telah dilakukan penahanan di ruang tahanan khusus oleh Bidpropam Polda Banten," ujar Shinto dalam keterangannya, Jumat (15/10). Atas perbuatannya, NP dikenakan pasal berlapis dalam aturan internal, sehingga Brigadir NP akan menerima sanksi lebih berat.
Shinto menegaskan, pihaknya memastikan Brigadir NP bakal ditindak tegas sesuai perbuatan bersifat represif yang dilakukannya. "Kesalahan dalam sebuah prosedur pengamanan itu harus dilakukan penindakan sehingga pasti kita tidak akan membiarkan adanya kesalahan teknis dalam prosedur pengamanan di manapun di wilayah Banten," ungkapnya.
Terkait penanganan kesehatan korban MFA, Shinto menjelaskan, MFA telah dibawa ke RS Ciputra Tangerang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih optimal. "Kondisi Faris (MFA) sampai dengan siang ini dalam keadaan stabil dan baik," ungkapnya.
Faris ditangani tim dokter profesional dari RS Ciputra untuk medical recovery. "Faris tidak hanya terhadap dampak trauma peristiwa Rabu lalu, tapi juga penyakit lain berdasarkan hasil observasi intensif terhadap Faris," ujarnya.
Shinto menyebut, upaya pemulihan kesehatan MFA menjadi konsentrasi, sehingga MFA dipastikan mendapat pelayanan kesehatan yang baik.
Aksi smackdown oknum kepolisian terhadap mahasiswa berinisial MFA (21 tahun) berpotensi sebagai pelanggaran HAM. Karenanya, permintaan maaf oknum polisi Brigadir NP itu harus juga diproses secara hukum.
"Tindakan tersebut tidak dibenarkan dengan alasan apa pun. Apalagi, hal itu, dilakukan oleh penegak hukum. Meski pelaku telah memberikan klarifikasi dan menyampaikan permintaan maaf, hal itu tidak menghapus pertanggungjawaban pelaku," kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri kepada Republika, Jumat (15/10).
Karenanya, ucap dia, respons cepat Mabes Polri dan Polda terhadap kasus tersebut menjadi penting. Harus ada akuntabilitas dengan memproses dugaan pelanggaran HAM, baik dari sisi etik maupun dugaan pidanya.
"Jangan sampai ada impunitas karena hal itu akan mencoreng institusi Polri dan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap polisi," tegas dia.
View this post on Instagram
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengkritik pedas aksi oknum kepolisian yang membanting seorang mahasiswa di Tangerang hingga viral. Aksi kekerasan tersebut tak bisa diselesaikan lewat permintaan maaf saja.
Usmad menyatakan, aksi membanting peserta demo tergolong tindakan kekerasan berlebihan. Ia merasa aksi itu pantas diganjar oleh hukum yang berlaku.
"Membanting seorang peserta aksi damai seperti yang terlihat dalam rekaman video jelas merupakan penggunaan kekerasan yang berlebihan. Pelanggaran seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan permintaan maaf saja," kata Usman dalam keterangan pers yang diterima Republika, Jumat (15/10).
Usman meminta petinggi kepolisian menindak tegas oknum personelnya itu. Ia mengusulkan sang pelaku kekerasan terhadap mahasiswa dibawa ke meja hijau agar mendapat ganjaran hukuman setimpal. "Pihak berwenang harus segera menyelidiki kejadian ini secara menyeluruh, independen, dan tidak memihak. Dengan bukti-bukti hasil investigasi itulah, pelaku harus diadili di pengadilan umum yang adil dan terbuka bagi masyarakat," ujar Usman.
Usman juga mengungkapkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat bukan sesuatu yang hanya terjadi sekali. Dalam rangkaian demonstrasi terhadap revisi UU Otsus Papua yang terjadi pada Juli dan Agustus lalu, Amnesty International menemukan bukti penggunaan kekuatan secara berlebihan yang diduga dilakukan aparat keamanan terhadap demonstran.
"Selama rangkaian demonstrasi tolak Omnibus Law pada Oktober 2020, Amnesty juga mencatat setidaknya 402 dugaan kasus kekerasan polisi di 15 provinsi," ucap Usman. Usman menilai aksi kekerasan oleh oknum polisi bakal terus berlangsung bila tak ada sanksi tegas.
"Kejadian seperti ini akan terus berulang jika setiap insiden dianggap selesai dengan permintaan maaf atau sanksi administratif saja. Jika Polri ingin dilihat masyarakat sebagai institusi humanis, maka pelaku harus melalui proses hukum yang adil, dan langkah-langkah nyata harus diambil untuk mencegah kejadian serupa," tutur Usman.
Dihubungi terpisah, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyayangkan aksi oknum kepolisian yang membanting seorang mahasiswa di Tangerang. Kompolnas mendesak semua personel kepolisian diberi pengarahan dan pembekalan pengetahuan mengenai HAM.
"Kasus di Tangerang ini harus menjadi refleksi bahwa anggota di lapangan masih harus dibekali pengetahuan tentang HAM dan penanganan demonstrasi," kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti kepada Republika, Jumat (15/10).
Poengky meminta, pola pikir personel kepolisian diperbaiki dalam menghadapi aksi unjuk rasa. Personel polisi harus bertindak bijaksana.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.