Atlet taekwondo putra Kalimantan Timur Reggy Abubakar Mopili (kiri) melepas tendangan ke arah atlet taekwondo putra DKI Jakarta Kenny Rafael Mumpel (kanan) saat pertandingan semifinal Taekwondo kategori Kyorugi kelas -68 Kg putra PON Papua di GOR Politekn | ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

Olahraga

Kumandang Azan di Venue Taekwondo PON XX Papua

Senang rasanya mendengar kumandang azan di tengah perhelatan PON XX Papua.

OLEH FITRIYANTO 

Salah satu yang muncul di benak saya sebelum berangkat ke Papua dari Jakarta adalah soal peribadahan. Saya khawatir sulit menjalankan shalat berjamaah di mushala dan masjid.

Di Jakarta, khususnya di daerah tinggal saya di Mampang Prapatan, kita sangat mudah menjumpai masjid dan mushala. Ini membuat saya lebih mudah menjalankan shalat berjamaah, terutama sejak saya lebih banyak di rumah karena pandemi Covid-19.

Nyatanya bayangan yang terlintas di benak saya tak seperti itu. Memang benar, gampang-gampang susah menemukan mushala atau masjid di Jayapura, lokasi liputan di PON XX Papua. Wajarlah karena memang Islam bukan agama mayoritas di sana. Sepanjang jalan utama dari Kabupaten ke Kota Jayapura lebih banyak dijumpai gereja.

Ditambah dengan padatnya jadwal liputan multi-event seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) membuat jurnalis yang ingin shalat berjamaah di masjid bukan perkara mudah.

Kebanyakan para jurnalis yang berstatus musafir itu melaksanakan shalat di penginapan masing-masing. Baik itu dilakukan saat waktu shalat datang maupun dengan menjamak atau menggabungkan dua shalat dalam satu waktu.

Selain itu, bisa juga kami beribadah di venue pertandingan. Di sana biasanya disiapkan ruangan mushala untuk para peserta, penonton, petugas pertandingan, ataupun para jurnalis yang melakukan liputan.

Dalam catatan Badan Pusat Statistik Papua tahun 2020, jumlah masjid tak bisa dibilang sedikit. Ada 263 masjid berdiri di Jayapura. Jumlahnya memang jauh dari jumlah gereja Protestan dan Katolik sebanyak 487. Kemudian pura dan wihara masing-masing berjumlah tiga.

Walaupun jumlahnya lumayan, lokasi masjid atau mushala tampaknya tak berada di tempat-tempat strategis. Ya, minimal tidak berada di seputar rute liputan kami di PON XX Papua. Sebab, saya tak pernah mendengarkan suara azan berkumandang.

Alhamdulillah, setelah tiga hari di tanah Papua akhirnya saya bisa merasakan lagi shalat berjamaah di masjid. Tepatnya pada Senin (4/10) di GOR Politeknik Penerbangan Kayu Batu, Jayapura.

Saat meliput cabang olahraga taekwondo di tempat calon penerbang Papua ini dididik, kebetulan pertandingan selesai saat waktu Maghrib tiba di Jayapura.

Azan Maghrib pun berkumandang. Ini juga suara azan pertama yang saya dengar selama tiga hari saya di Papua. Kami pun bergegas untuk memenuhi panggilan rukun Islam kedua tersebut.

Beberapa jamaah melakukan shalat sunah rawatib, ada yang berzikir menunggu imam datang. Setelah muazin mengumandangkan iqamah, imam meminta kami mengatur barusan tanpa jaga jarak. Jamaah sebagian besar tidak menggunakan masker.

Suara imam membaca surah al-Fatihah begitu indah dengan bacaan yang tartil, tajwid, dan makhrajul huruf yang terdengar jelas. Setelah salam, jamaah berzikir dan berdoa masing-masing.

Tiba-tiba lampu penerangan dalam masjid mati. Sejumlah jamaah menyalakan senter dari smartphone mereka.

Lampu mati kerap terjadi di area pertandingan, bukan hanya di Jayapura, melainkan juga di daerah lain. Di Mimika, pertandingan basket sempat tertunda karena lampu mati.

Setelah berdoa sejenak, saya pun keluarga meninggalkan masjid. Kembali ke arena taekwondo untuk melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber. Rindu akan shalat berjamaah tuntas sudah pada hari ketiga.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat