Khazanah
Hukum Berwisata ke Tempat Ibadah Non-Muslim
Ulama berbeda pendapat tentang berwisata ke tempat ibadah non-Muslim
Ada sejumlah tempat ibadah yang juga menjadi destinasi wisata. Nah, bagaimana jika itu merupakan tempat ibadah non-Muslim? Bolehkah kita, umat Islam, mengunjunginya untuk berwisata?
Menurut Wakil Ketua Dewan Fatwa PB Al-Washliyah Dr Nirwan Syafrin, para ulama berbeda pendapat dalam memandang hal tersebut.
"Karena ini ruang perbedaan, maka kita harus bisa bersikap lebih lentur. Meski para ulama berbeda pendapat, ada titik di mana mereka sepakat," kata dosen filsafat dan pemikiran Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor itu kepada Republika, belum lama ini.
Ada ulama yang membolehkan secara mutlak berkunjung ke rumah ibadah non-Muslim. Salah satunya adalah Ibnu Hazm, dengan dasar bahwa tidak ada nash Alquran dan hadis yang secara jelas mengharamkan hal itu.
Sementara, Mazhab Hanbali, termasuk Ibnu Taimiyah, yang selama ini dianggap keras dalam hal akidah, berpendapat bahwa masuk ke rumah ibadah non-Muslim hukumnya makruh. "Ada pula ulama yang mutlak mengharamkannya. Pendapat ini dianut oleh Mazhab Hanafi, mazhab yang selalu dianggap rasional. Alasan mazhab ini karena tempat seperti itu adalah tempat berkumpulnya setan," ujar Nirwan.
Pendapat yang mengharamkan ini merujuk pada beberapa dalil Alquran dan hadis. Di antaranya, Allah SWT berfirman, "Jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (Beribadahlah) dengan ikhlas kepada Allah, tanpa mempersekutukan-Nya" (QS al-Hajj ayat 30-31).
Dalil yang juga digunakan oleh mereka yang mengharamkan, yakni seperti dalam riwayat al-Baihaqi bahwa Umar bin Khattab berkata, "Jauhilah musuh-musuh Allah SWT (Yahudi dan Nasrani) pada hari besar mereka ketika mereka berkumpul karena kemarahan (Allah SWT) turun kepada mereka dan aku khawatir itu akan menimpamu dan kalian juga tidak tahu ucapan mereka, kemudian kamu bersikap dengan sikap mereka."
Pendapat lain datang dari kalangan ulama Mazhab Syafi'i. Mazhab Syafi'i berpendapat, hukum mengunjungi rumah ibadah non-Muslim itu haram jika di dalam tempat tersebut ada gambar-gambar atau patung-patung. Namun, jika tujuannya untuk melakukan kajian dan penelitian atau sejenisnya, tidak dipermasalahkan.
Dari berbagai pendapat itu, Nirwan menjelaskan, ada semacam kesepakatan di kalangan ulama bahwa berwisata ke tempat-tempat ibadah non-Muslim hukumnya haram jika memenuhi empat unsur. Pertama, jika tujuannya untuk mengagungkan dan membesarkan tempat-tempat itu. Kedua, jika bersamaan dengan perayaan atau ritual peribadatan mereka.
Ketiga, jika saat masuk ke sana wajib mengikuti syiar-syiar agama mereka, seperti mengucapkan sesuatu atau harus memberi tanda hormat kepada benda-benda tertentu dan sebagainya. Lalu yang keempat, jika menimbulkan fitnah terhadap agama Islam, seperti munculnya dugaan bahwa dengan masuknya seorang Muslim ke sana, berarti menyetujui atau memberikan dukungan kepada agama tersebut. "Dalam kondisi seperti ini (memenuhi empat hal ini), para ulama mengharamkannya," kata Nirwan.
Lalu, bagaimana jika kita berwisata ke candi? Terkait hal ini, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, KH Wawan Gunawan Abdul Wahid, mengatakan, sejatinya boleh saja umat Islam berwisata ke candi-candi di Indonesia, termasuk Candi Borobudur.
“Hukum melakukan wisata itu sendiri pada dasarnya mubah atau boleh, termasuk ke candi. Itu tidak masalah, itu kan persoalan sejarah,” ujar Kiai Wawan.
Hukum melakukan wisata itu sendiri pada dasarnya mubah atau boleh, termasuk ke candi. Itu tidak masalah, itu kan persoalan sejarah
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menjelaskan, Alquran juga telah mengajarkan kepada umat Islam untuk melakukan perjalanan sejarah dan mengambil ibrah atau pelajaran dari perjalanan itu.
“Kalau tiba-tiba hukumnya haram, berarti sudah sekian juta orang yang berdosa melakukan wisata ke Sphinx dan piramida di Mesir ataupun ke pagoda,” katanya.
Di Asia Tenggara ini, dia melanjutkan, banyak sekali peninggalan sejarah Buddha dan Hindu, bahkan peninggalan kepercayaan animisme dan dinamisme. Peninggalkan tersebut berupa tanda-tanda kecerdasan dan temuan kebudayaan mereka.
“Kita berkunjung ke sana, bahkan melakukan penelitian. Kalau jadi dosa, bagaimana masalahnya?” katanya.
Kiai Wawan kemudian mengungkap fakta sejarah pada masa Rasulullah SAW. Menurut dia, selama 13 tahun berdakwah di Makkah, Rasulullah justru memasuki Masjidil Haram yang kala itu masih penuh dengan berhala.
“Bahkan, ada riwayat kalau beliau itu melarang sahabatnya bersikap kasar terhadap berhala itu. Jadi, itu sebuah larangan agar kita tidak menghina, menista, mem-bully, dan mencerca. Kita harus menghormati,” katanya.
Karena itu, menurut dia, tidak ada larangan bagi umat Islam untuk berwisata ke tempat-tempat peribadatan non-Muslim, kecuali jika wisata itu dilakukan untuk beribadah. Misalnya, ketika berkunjung ke pura, umat Islam tidak boleh mengikuti peribadatan mereka.
Dia menambahkan, paradigma berwisata dalam Islam itu justru menjadi kekayaan spiritualitas, yang dapat melengkapi keberagamaan dan kepribadian seseorang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.