Kisah Dalam Negeri
Jadi Perdebatan, BPUPKI Bentuk Panitia Penghalus Bahasa
Karena perdebatan soal bahasa ini, akhirnya pada 13 Juli 1945 dibentuklah Panitia Penghalus Bahasa.
OLEH PRIYANTONO OEMAR
Selama sidang BPUPKI/PPKI, bahasa menjadi bahan perdebatan. Panitia Kecil Perancang Hukum Dasar yang diketuai Supomo mengganti istilah ‘hukum dasar’ menjadi ‘undang-undang dasar’.
Menurut Supomo, ketika merancang peraturan resmi yang akan memiliki kekuatan undang-undang, perlu kedisiplinan dalam penggunaan istilah perundang-undangan. “Maka, kita harus memakai istilah-istilah hukum. Di kalangan lain dipakai pula istilah itu, juga untuk mengembangkan bahasa Indonesia,” ujar Supomo di dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945.
Pemakaian istilah itu, kata Supomo, merujuk pada panitia bahasa yang dibentuk Jepang. “Barang kali Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya mengetahui bahwa di Jakarta ini ada suatu panitia --untuk menetapkan istilah-istilah hukum. Panitia itu anggota-anggotanya diangkat oleh PYM Gunseikanbu, dalam panitia mana saya jadi ketua,” ujar Supomo.
Supomo melanjutkan, “Menurut pertimbangan panitia, hukum dapat disalin dalam bahasa belanda dengan perkataan recht, artinya hukum itu bisa tertulis atau bisa tidak tertulis. Jadi, segala recht yang tertulis dan yang tidak tertulis dapat disalin dengan perkataan hukum, tetapi undang-undang adalah justru hukum yang tertulis. Oleh karena itu, kita memakai perkataan undang-undang dasar dan bukan hukum dasar. Kalau kita berkata hukum dasar, kita memakai perkataan itu sebagai recht tadi, baik tertulis maupun tidak tertulis, tetapi di sini kita membicarakan hanya hukum tertulis, ialah Undang-Undang Dasar.”
Ketika di sidang BPUPKI Juni 1945 Sukarno menyebut dasar-dasar negara dengan nama Pancasila. Nama itu diusulkan seorang teman ahli bahasa --tak disebut namanya. Sebelumnya, Supomo menyebutnya sebagai Pancadharma. “Sila adalah asas atau dasar,” ujar Sukarno, “dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal abadi.”
Demi pengembangan bahasa Indonesia itulah, Wongsonegoro mengusulkan perlunya ahli yang bisa memunculkan istilah baru --yang mempunyai arti yang selaras dengan tujuan pendirian negara sebagai bangsa timur. Sehingga, kata Wongsonegoro, “Tidak hanya mengoper perkataan asing yang mungkin isi dan maksudnya lain daripada tafsiran kita.”
Hal itu diperlukan untuk menghindari pengaruh arti teknis dari istilah asing. Wongsonegoro menyebut kasus istilah ‘republik’ yang diambil dari istilah asing. Ketika membahas kata ‘republik’, menurut Ki Bagus Hadikusumo, setan sudah terlibat karena istilah itu sudah “menimbulkan perbantahan dan perdebatan yang dahsyat dan memuncak sekali sehingga menyenangkan musuh”.
Ki Bagus menyarankan agar dicari istilah lain jika istilah ‘republik’ tidak disukai, tapi ia menekankan perlunya mengambil maksud dan tujuan dari istilah ‘republik’ itu. “Adapun nama ‘republik’ itu dapat juga disebutkan dalam bahasa Indonesianya dengan singkat, ialah ‘kedaulatan rakyat’,” kata Ki Bagus.
Indonesia sebagai nama negara juga dibahas. Di sidang 15 Juli 1945, Soerjohamidjojo mengusulkan diganti Nusantara. “Yang maksudnya mungkin negara yang mempunyai banyak kepulauan. Akan tetapi, bilamana ada nama lain yang lebih tepat, saya pun mufakat juga, asal jangan sampai yang dipakai perkataan asing,” kata Soejohamidjojo, yang menyebut dua negara yang berganti nama: Siam menjadi Muang Thai, Indo-China menjadi Vietnam.
Supomo sebagai ketua Panitia Kecil Perancang UUD menyatakan tak setuju Indonesia diganti Nusantara. Ia tak menjelaskan alasannya, tapi pada sidang 10 Juli 1945, Muh Yamin telah menjelaskan nama Republik Indonesia ketika membahas batas wilayah negara.
”Perkataan ‘Indonesia’ dibuat oleh orang yang mempunyai paham yang mengatakan bahwa Indonesia melingkungi daerah Malaya dan Polinesia,” ujar Yamin. Maksud dari perkataan ini, ketika nama Indonesia lahir pada 1850, dimaksudkan bahwa tanah Malaya dan Papua masuk ke dalam wilayah Indonesia.
Nama wilayah yang dipimpin bupati pun memunculkan perdebatan. Ada yang usul tetap menggunakan nama dalam bahasa Jepang, yaitu tokubetu si. Ada juga yang mengusulkan tetap menggunakan nama dari bahasa Belanda, yaitu haminte (gemeente) dengan alasan provinsi (provincie) juga sudah dipakai.
Ada juga yang mengusulkan kota wilayah, yaitu kota yang memiliki wilayah di luar batas kotanya. Pun ada yang mengusulkan kota agung dan kota istimewa.
Iwa Kusumasumantri menyatakan penamaan harus memiliki arti yang jelas. Ia setuju dengan penyebutan wilayah. Ia tak setuju dengan nama haminte (gemeente). “Nama haminte itu sudah terlalu bau seperti ‘guaminta’. Jadi, itu menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak enak sekali. Dan, lagi perkataan kota bukan perkataan baru, jadi itu juga bisa menimbulkan kekeliruan,” ujar Iwa.
“Kabupaten saja, kepalanya bupati kota,” usul Wiranatakusuma memberi solusi. Untuk sementara, keputusan yang diambil adalah kota. Untuk kepala daerah ini, Wongsonegoro mengusulkan penyebutan kepala atau wali negara.
Kalimat ‘mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia’ juga sempat dibahas di sidang PPKI 18 Juli 1945. Oto Iskandardinata mengusulkan agar ‘pintu gerbang’ dibuang saja.
Namun, menurut Sukarno, pintu gerbang tetap diperlukan. “Mengantarkan rakyat Indonesia ke negara Indonesia, tidak ke depan pintu gerbang? Saya kira tidak keberatan dengan adanya perkataan ‘pintu gerbang’, sebab negara Indonesia belum ada,” jawab Sukarno.
Hatta juga menolak usulan Oto. “Rakyat kita, kita antarkan ke muka pintu gerbang saja. Kalau disebut ‘ke negara Indonesia’, kita melangkah kepada grondwet. Itu bedanya. Sekarang kita bawa rakyat ke muka pintu gerbang saja,” kata Hatta.
Masih banyak yang dibahas terkait bahasa. Misalnya, Pembukaan UUD semula bernama Mukadimah UUD. Di sidang PPKI 18 Agustus 1945, ‘mukadimah’ oleh Sukarno diganti dengan ‘pembukaan’. Bahasa Indonesia semula disebut ‘bahasa kebangsaan’, oleh Oto Iskandardinata dan Radjiman diusulkan diganti dengan ‘bahasa negara’.
Kalimat di Pembukaan UUD 'atas berkat rahmat Allah yang Maha Esa' diusulkan I Gusti Ktut Pudja diganti dengan 'atas berkat Tuhan yang Maha Esa'. Untuk nama Badan Permusyawaratan Rakyat, Parada Harahap usul diganti dengan Majelis Permusyaratan Rakyat. Alasannya, penyebutan singkat ‘Majelis’ lebih enak daripada penyebutan singkat ‘Badan’.
Karena perdebatan soal bahasa ini, akhirnya pada 13 Juli 1945 dibentuklah Panitia Penghalus Bahasa. Anggotanya: Husein Djajadiningrat, Supomo, dan Agus Salim. PF Dahler yang juga anggota BPUPPKI dan pernah menjadi kepala bahasa di Balai Pustaka, tak masuk di dalamnya.
Djajadiningrat pernah memimpin tim peristilahan di Komisi Bahasa Indonesia yang dibentuk Jepang pada Oktober 1942. Komisi Bahasa ini mendirikan Kantor Bahasa yang diketuai Sutan Takdir Alisjahbana. Agus Salim juga pernah menjadi anggota Komisi Bahasa meski hanya sebentar.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.