Opini
Ulama Betawi di Lubang Buaya dan Lawan PKI
Karena G30S/PKI atau Gestapu terjadi di Jakarta, di tanah Betawi, maka tentu ada kisah terkait orang Betawi.
RAKHMAD ZAILANI KIKI; Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi
Karena G30S/PKI atau Gestapu terjadi di Jakarta, di tanah Betawi, maka tentu ada peristiwa, kisah-kisah yang terkait orang Betawi dengan peristwa G30S-PKI, seperti kisah ulama Betawi saya tuliskan ini.
Ulama Betawi pertama yang saya angkat di tulisan ini adalah ulama yang tempat tinggalnya berada di sekitar Lubang Buaya. Sebuah tempat di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur, yang ketika G30S-PKI terjadi menjadi tempat penyiksaan dan pembuangan para korban. Ulama tersebut adalah KH Muh Syakrim dan ayahnya, Abuya KH Muhammad Yusuf.
Menurut anak dari KH Muh Syakrim, KH Ibnu Mulkan, bahwa ayahandanya, KH Mu Syakrim, sebelum G30 S-PKI terjadi, sudah menjadi tokoh masyarakat di daerah Lubang Buaya, KH Muh Syakrim hampir diculik oleh PKI, tapi selamat.
KH Muh Syakrim juga menjadi saksi mata kekejaman PKI pada 1965, terutama melihat langsung penyiksaan beberapa jenderal dan seorang perwira pertama. Beliau juga melihat langsung jenazah para jenderal dan korban lainnya dimasukkan oleh PKI ke dalam sumur tua, Lubang Buaya. Kebetulan rumah-rumah tua yang dekat dengan sumur tua tersebut masih merupakan rumah sanak famili beliau.
Saat KH Muh Syakrim melihat para jenderal dan korban lainnya dimasukkan ke dalam sumur tua, KH Muh Syakrim ditodong pistol oleh seorang Pemuda Rakyat. Pemuda Rakyat adalah sayap pemuda PKI. Dan berkat doa yang beliau panjatkan dan wasilah shalat Subuh berjamaah, KH Muh Syakrim lolos dari lokasi sumur tua, Lubang Buaya.
Saat KH Muh Syakrim melihat para jenderal dan korban lainnya dimasukkan ke dalam sumur tua, KH Muh Syakrim ditodong pistol oleh seorang Pemuda Rakyat.
Pasca gagalnya G30 S/PKI, KH Muh. Syakrim turut membantu membebaskan oang-orang yang dituduh PKI dan terlibat dalam penyiksaan para jenderal dan korban lainnya di sumur tua, Lubang Buaya.
Dan pasca gagalnya G30 S/PKI, Peran Partai NU menjadi penting dalam memberantas orang-orang PKI. Pada 5 Oktober 1965, Pengurus Besar Partai NU di Jakarta mengeluarkan “Resolusi Mengutuk Gestapu”. Suatu surat pernyataan yang berisi sikap resmi NU menanggapi G30S (Gerakan 30 September) dan PKI. Surat tersebut selengkapnya berbunyi (dengan ejaan yang sudah disesuaikan):
RESOLUSI MENGUTUK GESTAPU
Pernyataan PB Nahdlatul Ulama beserta segenap Ormasnya;
MENGINGAT:
1. Pernyataan PB Nahdlatul Ulama beserta beberapa Ormas-nya yang dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober 1965 dan bertalian dengan peristiwa yang digerakkan oleh apa yang dinamakan “Gerakan 30 September”.
2. Bukti-bukti yang berada di tangan yang berwajib bahwa golongan kontrarevolusioner “Gerakan 30 September” telah mempersenjatai Pemuda Rakyat dan anggota-anggota serikat buruh Pekerja Umum/SOBSI.
3. Pernyataan yang telah dikeluarkan oleh berwajib bahwa Pemuda Rakyat dan Gerwani secara khusus telah didatangkan dari jauh untuk dilantik di Lubang Buaya Jakarta, di mana kemudian telah dikubur dalam sumur tua jenazah dari 6 Jenderal dan seorang perwira pertama TNI yang telah menjadi korban kebuasan G30S.
4. Kenyataan bahwa Harian Rakyat organ resmi PKI bukan saja menyiarkan secara besar-besaran aksi-aksi dari gerakan kontra revolusi itu, bahkan juga editorialnya, karikaturnya, serta rubrik-rubrik khusus lainnya menyatakan dukungan yang penuh terhadap gerakan yang mencoba merebut hak prerogatif Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno yang telah mendapat dukungan sepenuhnya dari semua kekuatan revolusioner dalam negeri di dalam menghadapi partai/ormas yang kontra revolusioner.
MENIMBANG:
Bahwa setiap gerakan kontra revolusioner harus secepatnya dikikis habis sampai ke akar-akarnya demi teramankannya jalannya revolusi, demi terlaksananya 5 azimat revolusi serta terpenuhinya Amanat Penderitaan Rakyat.
MEMUTUSKAN:
1. Memutuskan kepada Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pimpinan Besar Revolusi agar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya membubarkan Partai Komunis Indonesia, Pemuda Rakyat, Gerwani, Serikat Buruh Pekerja Umum/SOBSI serta Ormas lainnya yang ikut serta mendalangi dan bekerja sama dengan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”.
2. Memohon kepada Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pimpinan Besar Revolusi agar mencabut izin terbit untuk selama-lamanya semua surat kabar/media publikasi lainnya yang langsung atau tidak langsung telah membantu apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”.
3. Menyerukan segenap umat Islam dan segenap kekuatan revolusioner lainnya untuk memberikan bantuan sepenuhnya kepada ABRI di dalam usahanya untuk melaksanakan perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pimpinan Besar Revolusi menyelesaikan/menertibkan kembali segala akibat yang ditimbulkan oleh “Gerakan 30 September”.
Jakarta, 5 Oktober 1965
PB Partai Nahdlatul Ulama
PP Muslimat Nahdlatul Ulama
PP Sarbumusi
PP Fatayat
PP Lesbumi
PP GP Ansor
PP PMII
PP Pertanu
PP Serikat Nelayan Muslimin Indonesia
Surat pernyataan PBNU beserta segenap ormasnya tersebut meniadi legitimasi yang kuat bagi Partai NU Jakarta untuk mengganyang oang-orang PKI di Jakarta. Salah seorang ulama Betawi yang aktif di Partai NU Jakarta dan memiliki peran penting dalam pengganyangan orang-orang PKI di Jakarta adalah KH Achmad Mursyidi.
KH Achmad Mursyidi adalah ulama Betawi yang lahir di Kampung Bulak, Klender, Jakarta Timur pada 15 November 1915 dari pasangan H Maisin dan Hj Fatimah. Beliau wafat pada 9 April 2003, di usia 88 tahun.
Pendidikannya dimulai di Sekolah Rakyat (SR) di Pulo Gadung, Jakarta Timur, dari tahun 1926 hingga 1930. Kemudian ia mengaji kepada guru Marzuqi Cipinang Muara pada 1930 sampai 1934.
Kemudian mengaji kepada Ajengan Toha di Plered, Purwakarta, Jawa Barat pada 1934 sampai 1935. Setahun setelah selesai mengaji kepada Ajengan Toha, di usia yang ke-21 tahun, ia mendirikan Madrasah Raudhatul Athfal di Kampungnya, Kampung Bulak, Klender.
Di tahun yang sama pula, 1936, ia berumah tangga dengan Hj Asyiah bin Mua'llim H Ghayar. Di tahun ini pula ia meneruskan belajarnya dengan mengaji kepada KH A Thohir Jam'an dan juga mertuanya, Mu'allim Ghayar, bapak dari KH Hasbiyallah dan KH Hasbullah.
Jiwa kepahlawanan dan kepemimpinan KH Achmad Mursyidi mulai kelihatan ketika pada 1945 ia aktif di Menteng 31, markas Angkatan Pemuda Indonesia.
Jiwa kepahlawanan dan kepemimpinan KH Achmad Mursyidi mulai kelihatan ketika pada 1945 ia aktif di Menteng 31, markas Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan mendirikan Barisan Rakyat (ABRA) di Kampung Bulak, Klender.
Pada 1945 hingga 1949, ia terlibat aktif dalam perang mengusir agresi Belanda dan sekutunya. Saat itu, ia menjadi komandan perjuangan rakyat yang mempunyai kewenangan untuk membentuk pemerintahan di tingkat kecamatan atau kewedanan.
Kepahlawanannya dikenal bersama dengan dua rekannya, H Darip dan KH Hasbiyallah, sebagai tiga serangkai dari Klender.
Usai peperangan, pada 1949, ia melanjutkan perjuangan melalui pendidikan dengan mendirikan madrasah Lembaga Pendidikan Islam Al-Falah (LPA Al-Falah).
Ia juga aktif di organisasi Nahdlatul Ulama. Selain pejuang, ia dikenal sebagai politisi ulung. Karena karier politiknya, pada 1957, ia dilantik menjadi anggota DPR hasil pemilu 1955 menggantikan KH Ahmad Djunaidi.
Kemudian pada 1959, ia dilantik kembali menjadi anggota DPR dalam rangka kembali ke UUD 1945, setelah Dekrit Presiden dikeluarkan pada 5 Juli 1959. Pada 1960, kembali ia dilantik menjadi anggota DPR-GR.
Ketika Surat Rersolusi Mengutuk Gestapu yang merupakan pernyataan dari PBNU beserta segenap ormasnya tersebut keluar, KH Achmad Mursyidi sedang menjadi anggota DPR-MPRS dan pimpinan Partai NU Jakarta.
Dengan jabatannya tersebut, KH Achmad Mursyidi mengintensifkan pengganyangan orang-orang PKI, baik melalui perjuangan fisik maupun jalur politik. Seluruh jajaran ormas yang bernaung di bawah Partai NU Jakarta bersatu dengan kekuatan lain mengikis habis sisa-sisa kekuatan G30-S/PKI.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.