Resonansi
'Reperkusi' Taliban (I)
Ada dua kecenderungan di Indonesia dalam melihat kemungkinan adanya 'reperkusi' Taliban.
Oleh Azyumardi Azra
OLEH AZYUMARDI AZRA
Apa 'reperkusi' kemenangan Taliban (jilid II) terhadap gerakan Islam di berbagai penjuru dunia Muslim? Jika repercussion adalah dampak atau konsekuensi tak terelakkan, apa Taliban juga bakal menimbulkan 'reperkusi' di Indonesia sekarang dan masa mendatang?
Sejauh ini, ada dua kecenderungan di Indonesia dalam melihat kemungkinan adanya 'reperkusi' Taliban.
Ada kalangan, lembaga atau perseorangan, mengeklaim atau diklaim pengkaji atau pengamat paham dan gerakan radikal, yang memperlihatkan gejala histeria dan paranoid atas kemungkinan 'reperkusi' dan dampak Taliban terhadap peningkatan radikalisme dan terorisme di Indonesia.
Mereka secara simplistis tanpa bukti menyatakan, Taliban yang kembali menguasai Afghanistan sejak akhir Agustus 2021 memberikan momentum kebangkitan kembali gerakan, kelompok, sel, atau individu ekstrem, radikal, dan teroristik di Indonesia.
'Reperkusi' dan dampak Taliban bagi mereka sangat berbahaya. Mereka menyerukan agar pemerintah, tokoh, dan aparat keamanan berhati-hati melanjutkan hubungan dengan Taliban.
'Reperkusi' dan dampak Taliban bagi mereka sangat berbahaya. Mereka menyerukan agar pemerintah, tokoh, dan aparat keamanan berhati-hati melanjutkan hubungan dengan Taliban.
Pandangan kedua lebih berhati-hati dengan mempertimbangkan dinamika historis hubungan Pemerintah RI dan tokoh, lembaga, ormas, dan warga Indonesia dengan kalangan Afghan.
Mereka beralasan, dengan suku-suku atau kabilah yang terlibat konflik dan perang saudara berkepanjangan karena kontestasi kekuasaan, Taliban Jilid II bukan entitas menarik bagi kalangan Muslim militan, ekstrem dan radikal di Indonesia untuk diikuti.
Apalagi, warga Afghan terbelah dalam berbagai kelompok perang, seperti Mujahidin, Taliban, Hazara, Uzbek, Tajik, Baluch, Alqaidah, ISIS-K, Tentara Pembebasan Baluchistan, Barisan Maois Afghan, Organisasi Pembebasan Afghanistan beserta faksi masing-masing.
Setiap kelompok perang—yang sering disebut ‘pejuang’ atau sebaliknya ‘pemberontak’—dipimpin panglima perang (warlords) yang tidak hanya berperang untuk menguasai wilayah, juga guna mengendalikan sumber ekonomi dan keuangan, khususnya pertanian dan daerah yang kaya bermacam mineral.
Dari sekian banyak gerakan etnopolitik dan etnoreligius, bisa dipastikan yang terbesar dan paling dominan pada kurun waktu tertentu adalah Mujahidin.
Berpusat di Pakistan dan dengan bantuan Pakistan dan Amerika Serikat, Mujahidin berhasil mengusir Uni Soviet setelah sekitar 10 tahun bercokol di Afghanistan (1979-1989).
Apakah ada dampak Taliban II (2021 dan seterusnya) terhadap dinamika gerakan Islam di Indonesia atau terhadap kalangan Muslim Indonesia tertentu?
Gerakan yang juga besar dan dominan adalah Taliban yang didirikan pada 1994 di tengah perang saudara di Afghanistan setelah Mujahidin berhasil mengusir Soviet keluar Afghanistan awal 1989.
Taliban yang terus membesar dan menemukan momentum, berhasil mengalahkan pemerintahan Mujahidin (1996). Tergusur dari kekuasaan, Mujahidin melanjutkan perjuangan melawan Taliban dari beberapa lokasi di Pakistan.
Pemerintahan Taliban Jilid I, menguasai Afghanistan sejak 1996 sampai AS dan sekutu melakukan invasi pada akhir 2001.
Serangan militer terhadap Taliban mereka lakukan dengan alasan memburu Alqaidah dan pemimpinnya Usamah bin Ladin yang dianggap Presiden AS, George W Bush, bertanggung atas peristiwa ‘Nine Eleven’ (9/11 atau 11 September 2001) di New York, Virginia, dan Philadelphia.
Apakah ada dampak Taliban II (2021 dan seterusnya) terhadap dinamika gerakan Islam di Indonesia atau terhadap kalangan Muslim Indonesia tertentu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dilihat pergolakan di Afghanistan secara keseluruhan, khususnya yang melibatkan Mujahidin, Taliban I (1996-2001) dan Taliban II (2021 dan selanjutnya).
Untuk melihat kemungkinan dampak Taliban II terhadap Indonesia, perlu dipertimbangkan dampak perlawanan dan pergolakan Mujahidin dan Taliban I.
Sebagian Muslim Indonesia pergi dari Malaysia ke Libya. Mereka menuju Afghanistan atau Libya via Pakistan. Pemerintah Orde Baru tidak memiliki kapasitas dan political leverage mencegah mereka berangkat.
Dampak Mujahidin (dan Taliban I?) juga terkait dinamika Islam dan politik Indonesia masa Orde Baru, khususnya dasawarsa 1980 dan 1990.
Dari sini ada kalangan sempalan (splinter) Muslim Indonesia yang sejak akhir 1980-an melakukan ‘pengasingan diri’ (self-exile) ke luar negeri, khususnya ke Malaysia.
Di negara jiran, mereka membentuk kelompok politik dan pengajian agama. Sebagian mereka tertarik dan pergi ke Afghanistan atas motif jihad melawan komunisme Soviet, yang bertentangan dengan Islam juga telah menduduki negara Muslim, Afghanistan.
Sebagian Muslim Indonesia pergi dari Malaysia ke Libya. Mereka menuju Afghanistan atau Libya via Pakistan. Pemerintah Orde Baru tidak memiliki kapasitas dan political leverage mencegah mereka berangkat.
Kedua kelompok Muslim Indonesia (pergi ke Afghanistan atau ke Libya) bermaksud sekalian mengikuti latihan militer sebagai persiapan kelak melawan Pemerintah Indonesia yang mereka anggap ‘thaghut’.
Tuduhan ini terutama terkait sikap dan kebijakan Presiden Soeharto, yang melakukan apa yang mereka sebut ‘depolitisasi Islam’ sejak awal 1970-an. Selain itu, menurut mereka, pemerintah Orde Baru melakukan berbagai hal untuk mendiskreditkan Islam dan kaum Muslimin Indonesia, misalnya dengan ‘Komando Jihad’.
Mereka juga sangat marah dengan pemberlakuan UU No 8 Tahun 1986, yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.